Tragedi Berdarah Kanjuruan, Arogansi Aparat Penegak Hukum Kian Telanjang


Oleh: Puput Hariyani, S.Si 
(Penulis dan Pendidik generasi)_ 

Duka mendalam tengah dirasakan oleh dunia persepakbolaan Indonesia. Tragedi Berdarah Kanjuruhan, Malang, yang telah merenggut ratusan korban nyawa dan korban luka-luka menjadi raport merah sepanjang kurun waktu 40 tahun terakhir dunia olahraga. 

Dilansir dari Reuters, bencana dunia ini pernah terjadi di 14 negara, sebut saja di Indonesia 2022 menewaskan 129 orang, di Kamerun 2022 menewaskan 8 orang, di Mesir 2012 menewaskan 73 orang, di Pantai Gading 2009 menewaskan 19 orang, di Grana 2001 menewaskan 126 orang, di Afrika Selatan 2001 menewaskan 43 orang, di Guatemala 1996 menewaskan 82 orang, di Perancis 1992 menewaskan 18 orang, di Afrika Selatan 1991 menewaskan 42 orang, di Inggris 1989 menewaskan 96 orang, di Nepal 1988 menewaskan 90 orang, di Belgia 1985 menewaskan 39 orang, di Inggris 1985 menewaskan 56 orang, di Rusia 1982 menewaskan 66 orang. 

Dan Indonesia, menjadi 1 dari 14 negara yang menjadi saksi bisu tragedi yang menyesakkan ini, bahkan menempati rekor dengan jumlah korban terbesar. Tragedi ini jelas menyisakan pilu, pasalnya selain menelan banyak korban juga bisa dipastikan kerugian secara material cukup besar meskipun tidak seberapa jika dibandingkan dengan melayangnya nyawa manusia. Yang lebih disayangkannya lagi adalah mereka rela menjadikan dirinya tameng hingga meninggal untuk saling membela kelompoknya.

Tragedi Kanjuruan sekaligus menunjukkan potret buruk fanatisme golongan yang terjadi berulangkali dan kali ini adalah yang paling parah akibatnya dalam catatan sejarah sebagaimana yang telah diungkap dalam pembahasan sebelumnya. 

Berulangnya kasus kerusuhan dalam pertandingan sepak bola seolah menunjukkan pembiaran negara atas hal ini. Di Indonesia sendiri, kejadian supporter meninggal dalam kerusuhan di Stadion Kanjuruhan bukanlah peristiwa kelam yang pertama terjadi. 

Tempo mencatat terdapat juga sejumlah pertandingan berujung kematian pada tahun-tahun sebelumnya. Pada 2 Agustus 2022 Suporter PSS Sleman tewas saat kerusuhan antarsuporter, pada 17 Juni 2022 dua supporter persib Bandung tewas dalam gelaran Piala Presiden 2022, pada 23 September 2018 Harlingga Sirla tewas usai dikeroyok oknum Bobotoh, dan pada 22 November 2011 dua supporter tewas saat Final Sea Games ke-26. 

Data ini menjadi salah satu pertanyaan publik, lantas di mana keseriusan aparat dalam menyelesaikan kasus serupa, bukankah sudah terjadi berbilang angka? Justru yang lebih tragis lagi adalah tragedy berdarah ini semakin parah. 

Di sisi lain, pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya ini juga menyisakan kesaksian yang cukup mencengangkan kita semua. Berdasarkan penuturan Muhammad Riandi Cahyono, salah satu Aremania yang turut menjadi korban dalam tragedi tersebut, saat turun ke lapangan bersama Aremania lainnya untuk menyampaikan protesnya karena Arema FC kalah dengan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan justru mendapat respon yang kurang baik.

Sebagaimana diwartakan Republika.co.id, bukannya mendapat respons positif, Riandi justru mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi. Banyak Aremania yang dipukul oleh petugas sehingga membuatnya sedih dan kecewa. Ditambah lagi, petugas melakukan penembakan gas air mata ke suporter.

Menurut pengamatan Riandi, gas air mata ditembak ke arah dekat papan skor. Tak hanya di area stadion, gas mata juga ditembakkan di luar stadion. Situasi ini menyebabkan banyak suporter sesak napas hingga jatuh kesakitan. 

Kesaksian juga datang dari Novandra Zulkarnain (20 tahun) dan Aldita Putri yang juga turut menjadi korban. Keduanya sama-sama ikut terinjak sehingga menyebabkan mereka mengalami luka ringan saat tragedi tersebut terjadi. Hal ini bisa terjadi karena mereka panik saat gas air mata ditembakkan ke arah suporter.

Penuturan para korban menunjukkan adanya tindakan represif dari aparat dalam menangani kasus kerusuhan yang terjadi, hal ini tampak pada penggunaan gas air mata, yang sejatinya dilarang penggunaannya dalam pertandingan sepak bola. 

Merespons peristiwa ini, pakar hukum Prof. Suteki menyatakan prihatin dan mengutuk tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan, Malang. Juga turut menyatakan bela sungkawa sedalam-dalamnya kepada seluruh keluarga korban, baik masyarakat umum maupun aparat kepolisian. Ia menilai dalam peristiwa ini terjadi kelalaian polisi dalam hal penggunaan gas air mata dan ini melengkapi wajah bopeng kepolisian RI (Muslimahnews).

Kadiv Advokasi LBH Surabaya, Habibus Shalihin, mengecam kekerasan yang ada di lapangan dalam peristiwa kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang. "Kami menduga bahwa penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use force) melalui penggunaan gas air mata dan pengendalian masa yang tidak sesuai prosedur menjadi penyebab banyaknya korban jiwa yang berjatuhan," kata Habibus, Ahad (2/9) (Republika.co.id).

Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menyebutkan bahwa penggunaan gas air mata oleh kepolisian menyalahi aturan FIFA. "Penggunaan gas air mata di stadion sepak bola sesuai aturan FIFA dilarang. Hal itu tercantum dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations pada pasal 19 huruf b disebutkan bahwa sama sekali tidak diperbolehkan mempergunakan senjata api atau gas pengendali massa," kata Sugeng dalam keterangan tertulisnya, Ahad, 2 Oktober 2022 (Temp.co).

Untuk kesekian kali disampaikan bahwa tragedy berdarah Kanjuruan, Malang ini sangat disayangkan dan disesalkan oleh seluruh pihak. Tragedi ini tidak akan terjadi ketika fanatisme golongan tidak dijadikan acuan dan aparat bertindak tepat dalam menangani persoalan. 

Dalam perspektif hukum, kasus ini sangat jelas bisa diindra bahwa terdapat ratusan korban jiwa dan luka-luka dalam waktu bersamaan, artinya ketika berjatuhan korban pasti ada pelaku yang dapat ditelusuri apakah kejadian ini ada unsur kesengajaan atau kelalaian. 

Menurut Prof Suteki, lalai saja dapat dihukum, apalagi disengaja. Siapa saja yang terlibat dalam perkara ini? Mereka adalah pertama, panitia termasuk PSSI. Kedua, keamanan (polisi). Ketiga, penyulut kerusuhan. Mereka harus dimintai pertanggungjawaban hukum atas meninggalnya ratusan jiwa tersebut. 

Tragedi ini sekaligus menjadi refleksi bagi kita semua, baik rakyat maupun aparat untuk senantiasa saling mengingatkan dalam kebaikan. Menyitir surat Ar Rum 41, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Sudahkah kita berkiblat kepada jalan yang benar sesuai panduan yang Allah turunkan? 

Marilah bersama mengkoreksi amal kita, apakah sudah sesuai tuntunan hukum Islam atau belum, agar Allah senantiasa ridla dalam segala kondisi, baik saat kita sendiri atau bersama-sama sehingga ketika ajal menjemput kita berharap husnul khatimah. Jangan biarkan diri ini berkorban untuk hal-hal receh. 

Berkorbanlah untuk hal besar yang memiliki koneksi akhirat, berorientasi jauh ke depan. Berkorbanlah kita untuk melawan kedzaliman, membela umat, membela agama, membela bangsa dan negara serta membela kebenaran. Dengan demikian hidup kita akan berharga dan bermakna. Wallahu ‘alam bi ash-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post