Konversi Kompor Listrik, Siapa yang Diuntungkan?


Oleh Sania Nabila Afifah
Member Muslimah Rindu Jannah

Pemerintah kembali meluncurkan kebijakan yang menyakiti hati rakyat. Saat kondisi ekonomi makin sulit dan pemerintah berdalih kekurangan dana pembiayaan, negara malah meluncurkan program kompor listrik dan mobil dinas listrik.

Dikutip dari KOMPAS.com, (21/9/2022) pemerintah memastikan akan memberikan paket kompor listrik kepada 300.000 penerima. Adapun paket tersebut diberikan secara gratis sebagai implementasi dari program konversi kompor yang menggunakan elpiji 3 kg ke kompor listrik.
Sekjen Kementerian ESDM Rida Mulyana mengungkapkan, paket kompor listrik diberikan kepada masyarakat yang terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

Satu paket terdiri dari kompor listrik dua tungku, satu alat masak, dan satu miniature circuit breaker atau MCB. Satu paket kompor listrik siap pakai itu nilainya seharga Rp 1,8 juta.
"Rencananya tahun ini 300.000 (penerima). Jadi satu rumah itu dikasih satu paket, kompornya sendiri, alat masaknya sendiri, dana dayanya dinaikin,” ujar Rida.

Jelas Program Butuh Biaya Besar dan Butuh Pertimbangan 

Pemerintah harus menimbang kembali program ini, sebab masyarakat yang menjadi sasaran ini adalah rakyat miskin pelanggan listrik 450 Kwh. Daya yang dibutuhkan untuk kompor listrik relatif besar. Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan.

Yang pertama, biaya transisi ke kompor listrik relatif jadi beban baru. Sebab tidak semua kompor listrik  bisa diberikan gratis plus alat masaknya. Kedua, jika pemerintah memang ingin mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil, tapi di hulu pembangkit listrik masih dominan batu bara dan BBM, maka ini tidak sejalan. Jadi sama saja konsumsi listrik naik, maka PLTU yang butuh batu bara semakin tinggi. Beban hanya berpindah dari penghematan di hilir jadi kenaikan, pembelian batu bara dan BBM impor di hulu pembangkit. Ketiga, budaya masyarakat untuk menggunakan kompor listrik butuh waktu lama untuk diubah. Sebab, proses memasak menggunakan lPG itu lebih cepat. Keempat, pemerintah harus mempertimbangkan infrastruktur listrik yang masih terdapat keluhan pemadaman di jam tertentu. Ini perlu jaminan stabilitas aliran listrik, karena jika terjadi pemadaman, maka aktivitas rumah tangga atau pengguna kompor listrik akan terganggu.

Konversi Kompor Listrik Bukan Solusi, Tapi Menambah Masalah Baru

Dikutip dari IPOL.ID, (21/9/2022) Anggota Komisi VII DPR RI Mulan Jameela menyoal program yang sedang dicanangkan pemerintah berupa konversi kompor gas ke kompor listrik. 
Dia menyatakan program itu harus dikaji ulang sebab dinilai bukan menyelesaikan masalah, malah justru memindahkan masalah.
“Ini seperti menyelesaikan masalah dengan masalah baru,” katanya saat mengikuti rapat Komisi VII dengan Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE), Kementrian Perindustrian, Rabu (21/9/2022), di DPR, Senayan, Jakarta.

Penggunaan kompor listrik hanya akan menambah beban hidup masyarakat. Sebab persoalannya bukan pada masyarakat mampu membeli kompor listrik atau tidak. Akan tetapi biaya listrik di negeri ini yang terbilang mahal, ditambah lagi adanya rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik. Sehingga solusi membagikan kompor listrik untuk menyukseskan program ini tidak akan meringankan beban masyarakat. Sebab masyarakat harus menanggung biaya listrik yang mahal tiap bulannya, jika beralih menggunakan kompor listrik. 

Jika pemerintah nantinya memaksakan konversi kompor listrik   ini, maka pelaku UMKM dan para pelaku usaha lainnya juga adalah pihak yang dirugikan dan tidak menutup kemungkinan harga barang ikut naik. Sehingga mempengaruhi perekonomian masyarakat. Karena itu, penerapan kompor listrik di Indonesia bukan sebuah solusi. 

Siapa yang Diuntungkan?

Dalam hal ini adalah PT PLN sebagaimana diketahui saat ini kepemilikan usaha PT PLN tidak murni dikuasai negara tetapi sudah melibatkan pihak swasta. Pasalnya sejak UU ketenagalistrikkan nomor 20 tahun 2002 disahkan, diterapkan dan link vertikal yang memisahkan.

Proses bisnis PLN menjadi beberapa usaha yaitu pembangkit tenaga listrik, transmisi listrik, distribusi listrik dan penjualan tenaga listrik. Sejak itu pula proyek swastanisasi alias liberalisasi kelistrikan dimulai. Oleh karena itu kebijakan baru pemerintah ini tentu saja hanya menyakiti hati rakyat saat kondisi ekonomi rakyat makin sulit dan pemerintah berdalih kekurangan dana pembiayaan negara. Pemerintah malah meluncurkan program konversi kompor listrik, padahal jelas program tersebut membutuhkan biaya besar ditambah lagi kebijakan ini jelas hanya menguntungkan para pemilik modal yang terjun dalam bisnis kelistrikan. 

Persoalan penggunaan kompor listrik yang diikuti oleh mahalnya tarif listrik negeri ini tidak akan pernah usai,  selama sistem ekonomi kapitalis dan sistem politik demokrasi masih dijadikan sebagai pijakan. Sebab sistem ini telah meliberalisasi sumber daya penghasil listrik sehingga boleh diprivatisasi oleh individu maupun kelompok masyarakat.

Islam Sebagai Solusi

Berbeda bila sistem Islam yang diterapkan. Islam memiliki aturan paripurna karena mengadopsi sistem yang berasal dari Allah Swt. yang menciptakan manusia dan semesta alam ini. 

Dalam pandangan Islam, listrik merupakan milik umum dilihat dari dua aspek.

Aspek pertama, listrik yang digunakan sebagai bahan bakar masuk dalam kategori api yang merupakan milik umum. Rasulullah saw. bersabda, " Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara yakni padang rumput, air dan api" (HR. Abu Daud dan Ahmad). 
Termasuk dalam kategori api tersebut adalah berbagai sarana dan prasarana penyedia listrik seperti tiang listrik dan sebagainya.  

Aspek kedua, sumber energi yang digunakan untuk pembangkit listrik baik oleh PT PLN maupun swasta sebagian besar seperti migas dan batubara yang juga milik umum. Karena milik umum, bahan tambang seperti migas dan batubara haram dikelola secara komersial, baik oleh perusahaan milik negara maupun pihak swasta. Juga haram hukumnya mengomersialkan hasil olahannya sebagaimana listrik. 

Dengan demikian, pengelolaan listrik tidak boleh diserahkan pada pihak swasta. Apapun alasannya negara bertanggung jawab sedemikian rupa, sehingga setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan listriknya baik dari sisi kualitas maupun kuantitas, serta dengan harga murah. Bahkan gratis untuk seluruh rakyat, baik kaya atau miskin, muslim ataupun non muslim. 

Karena itu, jika Khilafah memutuskan kebijakan penggunaan kompor listrik, maka tentu masyarakat tidak akan terbebani. Dengan demikian, hanya sistem pemerintahan Khilafah Islamiyah yang dapat menerapkan konsep kepemilikan Islam dan memposisikan listrik sebagai kebutuhan umat yang wajib dipenuhi negara. Sistem ini pula yang akan menghimpun penguasa yang amanah dan terbebas dari pihak manapun.

Wallahu a'lam bisshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post