Rinai Rania


Udara pagi ini masih di 22 derajat celcius, membekukan rasa di tubuh mungilku.

Lereng gunung Arjuna tidak nampak berkabut, semburat sinar surya perlahan menaiki Semeru membuat hangat perlahan.

Selepas subuh, Mbok yang sudah menyiapkan dagangan daun pisang menyuruhku bersiap.

"Nduk, ndang ganti klambi, ayok melok nang pasar, nko pean sing nggowo marang e  mbok sing nggowo sak e"

[Nak, segeralah berganti baju, ayo ikut ke pasar, nanti kamu yang bawa marangnya Mbok yang bawa glangsingnya]

"Nggeh, Mbok" 

Bergegasku mencari baju yang layak untuk kupakai ke pasar, hampir tak ada yang pas ditubuh, semuanya jika tidak kekecilan pasti kebesaran, pakaian kami hanya bertambah tiap setahun sekali, selebihnya adalah pakaian bekas  pemberian para tetangga yang anaknya telah tumbuh besar.

Kuambil rok plisket yang dibelikan ibuku hari raya tahun lalu dan kaos oblong putih yang sudah tak putih lagi, sengaja bagian bawah kaosnya kumasukkan ke pinggang rok agar tak kelihatan memakai 2 kaos karena ukuran yang terlalu besar untuk gadis berusia 7 tahun sepertiku.

Rambut ku kuncir kuda dan memakai sandal jepit bak perahu di kakiku, aku menggulung kain panjang agar bisa dipakai pijakan marang di kepalaku, itu membantu marang tetap tenang dan tak gampang goyang saat berjalan, dan yang terpenting adalah wadah dari anyaman bambu itu tak menyakiti kepalaku.

Aku dan Mbok berjalan menyusuri jalan berbatu, naik turun perbukitan kecil menuju pasar Ketindan, tidak seberapa jauh, hanya sekitar 5 kilometer saja.

Sesampainya di pasar Mbok menurunkan marang dari atas kepalaku.

"Wes, muliho ... iki sangune, nko lek sampek omah, sarapan trus budal sekolah yo.." kata Mbok sambil mengulurkan uang kertas berwarna merah seratus rupiah.

[Sudah, pulanglah... ini uang sakunya, nanti kalo sudah sampai rumah, sarapan dan segera berangkatlah sekolah]

"Nggeh, Mbok"

Tak ada rasa takut, melenggang dan sesekali berlari kecil, jalan berbatu, tanah liat yang licin hampir membuatku tergelincir.

"Aaah" pekik ku

"Innalillahi.."

Seorang perempuan menarik tanganku agar tak jatuh ke belakang, ya.. aku sedang menaiki bukit tempat tinggalku, jadi belakangku adalah jurang yang cukup dalam.

"Matur nuwun, Nyi"

Saya mengenal wanita itu, dia adalah Nyi Badriyah, wanita kaya di kampung Lor.

"Rania ta?" 

"Nggeh, Nyi"

"Teko pasar?"

"Nggih, ngeteraken Mbok"

"Ikiloh  Nduk nko gawe sangu."

Wanita itu mengulurkan uang seratus lima puluh rupiah kepadaku. Yah, jika ditambahkan uang dari Mbok aku bisa membeli semangkok angsle siang nanti. Aku menerima dengan senang hati meski hatiku menangis lirih.

Belas kasih orang-orang seperti Nyi Badriah adalah bentuk ketaatan mereka kepada Allah agar senantiasa menyantuni anak yatim sepertiku, itulah kata Kyai Sahad saat ceramah di masjid maulid kemarin. Mataku meneteskan bulir hangat, ini sangat menyentuh hatiku.

Semenjak Ayah dan Ibuku pergi meninggalkan sejuta kesedihan pada kami, dibawah perlindungan  Mbok, satu-satunya orang yang menjadi keluargaku, aku tumbuh dalam belas kasihan orang-orang dikampung kami.

Mbok dipercaya membersihkan kebun pisang milik Yai Sapi'i yang panjangnya 100 meter mengelilingi balong miliknya, setiap hari bertugas menyiangi daun-daun agar bisa menghasilkan buah yang lebat dan daun itulah yang kami jual kepasar tiap dua atau tiga hari sekali.

Belum juga ku berangkat ke sekolah pagi ini, ada gerimis di bukit Turi, gerimis di antara getah pinus yang semerbak harumnya, gerimis di hati Rania.

(By Joulee)

Post a Comment

Previous Post Next Post