Sukses Jalani Fast Track di FIB Unand, Khofifah Lulus dengan IPK 4


Perjuangan yang sungguh-sungguh akan membuahkan hasil yang memuaskan. Jika hasil tidak memuaskan, saatnya ikhlas di hati dikuatkan. Namun, walau bagaimanapun, barang siapa yang bersungguh-sungguh, akan diberi hasil yang maksimal oleh Yang Maha Kuasa. Begitu yang diyakini oleh gadis kelahiran Pintu Padang, Tapanuli Selatan, pada 5 Februari 2000 ini, Khofifah Aisah Amini.

Motivasi ini membuat dirinya selalu total dalam setiap hal, dan ikhlas untuk apapun hasil. Seperti pencapaiannya menyelesaikan masa studi Sarjana dan Magister sekaligus hanya dalam waktu lima tahun, sangat singkat, disyukuri oleh Khofifah, nama panggilan buah hati dari Nazaruddin dan Netti Hairani ini. 


Tak main-main, mampu menyelesaikan studi Sarjana saat tengah menjalani program Magister, keduanya di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Andalas (Unand), Khofifah berhasil mencapai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tertinggi, 4.  Dengan mengikuti program Fast Track, Khofifah sukses meraih harapannya untuk menjalani masa studi maksimal dalam waktu yang singkat. 


“Privilege yang ditawarkan Fast Track membuat saya tidak punya alasan untuk tidak mengikuti program tersebut. Kesempatan untuk menyandang gelar S-2 di usia yang terbilang muda rasanya sayang untuk disia-siakan. Ditambah lagi, saya memang ingin berkutat di dunia pendidikan. Oleh karena itu, keputusan mengambil program fast track adalah pilihan yang tepat menurut saya,” ungkap Khofifah, diwawancara Sabtu (29/7/2023), hari di mana dia merasakan kebahagiaan atas pencapaian studi Magister-nya, saat dia wisuda. 


Dijelaskan oleh alumnus Sastra Indonesia Unand dan lulusan Magister Linguistik FIB Unand ini, program Fast Track adalah percepatan perkuliahan yang memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk mempersingkat waktu studi dari yang seharusnya empat tahun untuk Sarjana ditambah dua tahun untuk Magister menjadi lebih pendek, yaitu total hanya lima menjalani program Sarjana  dan Magister sekaligus. Program ini ada di FIB, Unand.


“Syarat untuk program Fast Track adalah mahasiswa yang bersangkutan tengah menjalani program S-1, menunjukkan prestasi akademik dengan IPK minimal 3,25, dengan nilai paling rendah B sampai akhir semester 6. Dia juga  haru telah menyelesaikan minimal 120 SKS, dan memiliki nilai TOEFL besar dari atau sama dengan 450. Penerimaan mahasiswa pada program fast track diseleksi secara admnistratif oleh pimpinan fakultas dan jurusan. Kemudian, mahasiswa yang dinyatakan memenuhi persyaratan akademik dan adminstratif ditetapkan sebagai peserta program Fast Track dengan Surat Keputusan Dekan,” terang Khofifah. 


Selanjutnya, ketentuan dari Fast Track, perkuliahan bagi peserta dirancang dengan total waktu masa studi empat semester atau dua tahun, yang terdiri atas maksimal dua semester atau satu tahun penyelesaian program S1 dan minimal dua semester atau satu tahun penyelesaian program S2. Penyelesaian program S-1 yang dilaksanakan selama maksimal dua semester (maksimal sampai semester Vlll) adalah untuk menyelesaikan beban minimum 144 sks atau sesuai dengan beban studi yang ditetapkan oleh program studi S-1 yang diikuti dan peserta program Fast Track berstatus sebagai mahasiswa S-1.


Selanjutnya, penyelesaian program S-2, setelah penyelesaian Program S-1, dilaksanakan selama dua semester, mulai pada semester IX, dengan beban studi akumulatif minimal 35 sks atau sesuai dengan beban studi minimal yang ditetapkan Prodi S-2 bersangkutan termasuk tesis, dan peserta program Fast Track berstatus sebagai Mahasiswa S-2. Dalam masa penyelesaian Program S-1, pada Semester VII dan Semester VIII, peserta program Fast Track dapat mengikuti perkuliahan Program S-2 dengan jumlah beban sks akumulatif (S1 dan S2) maksimal 18 sks, dan KRS untuk perkuliahan pada Program S-2 selama masa penyelesaian program S-1 disetujui oleh Ketua Program Studi S-2 bersangkutan. 


Dengan adanya tuntutan bagi mahasiswa fast track untuk menyelesaian studi S-1 dan S-2 maksimal selama lima tahun, tentunya tantangan tersendiri bagi dirinya dalam mengikuti program tersebut. Sebagai mahasiswa S-1 yang disibukkan dengan tugas kuliah, skripsi ditambah revisi, serta seminar proposal dan komprehensif, dia mengaku merasakan perjuangan tersendiri. Pada waktu yang sama, Khofifah adalah mahasiswa S-2 yang juga disibukkan dengan tugas kuliah yang tak jarang berupa penelitian lapangan, membuat makalah penelitian, dan presentasi setiap minggu.  DIketahui, saat itu, dirinya juga ikut dalam proyek penelitian bersama dosen sewaktu mengikuti program Fast Track.


“Seharian di depan laptop adalah hal yang wajar pada saat itu. Selesai kuliah 3 sks di S-2, kemudian dilanjutkan kuliah 3 SKS di S-1, tanpa jeda, adalah hal yang dijalani setiap minggunya. Bahkan, pada saat menyelesaikan seminar proposal skripsi di S-1, masih dengan outfit sempro, saya langsung mengikuti perkuliahan di S-2. Begitu juga pada saat wisuda S-1, selesai wisuda, keesokan harinya saya sudah harus menyelesaikan tugas Neurolinguistik di S-2. Tidak ada jeda. Begitulah Fast Track,” tuturnya.


Khofifah bersyukur, dalam kondisi itu, keluarga selalu menjadi supporter terdepan untuk program-program positif dirinya, apalagi dalam bilang akademik seperti ini. 


“Tidak akan bisa tanpa mereka,” imbuhnya.


Diakui, pihak kampus juga merupakan pendukung yang luar biasa. 


“Ketua Prodi S-1 Dr. Aslinda dan dosen pembimbing akademik S-1 Prof. Nadra sangat mendukung saya untuk mengikuti program Fast Track. Dengan bimbingan dan arahan dari mereka, saya bisa mengikuti program tersebut. Begitu juga dari pihak pascasarjana prodi Linguistik yang pada saat itu diketuai oleh Prof. Oktavianus. Beliau sangat kooperatif terhadap mahasiswa-mahasiswa yang ingin mengikuti program tersebut. Beliau memberi bimbingan dan arahan kepada mahasiswa sehingga studi dapat dijalankan dengan baik,” ungkap penerap pola makan tinggi serat dan rendah kalori ini.


Khofifah berharap, ilmu yang dia punya dapat berguna bagi banyak orang, yaitu Linguistik. Sejak SMA, dia ingin menjadi pengajar, tepatnya dosen. Menyenangkan baginya untuk membagi ilmu kepada orang lain. Dia juga senang melakukan hal-hal yang bermanfaat bermodalkan keahliannya di bidang bahasa, seperti di kepenulisan, editorial, penerjemahan. Saat ini, di bidang editorial, dia sendiri menyalurkan keahlian di salah satu media massa berbasis online, SumbarFokus.com, sebagai redaktur khusus konten evergreen.  Dalam waktu dekat, dia juga segera mengajar di sebuah international school di Jakarta. 


“Yang pasti, harapan terbesar saya adalah dapat memanfaatkan ilmu dan pendidikan saya dengan sebaiknya. Memanfaatkannya untuk bermanfaat bagi diri saya dan bagi orang lain,” ujar gadis yang kini berhak menyandang gelar S. Hum dan M. Hum di belakang namanya ini.


Diakui Khofifah, dalam menghadapi perjuangan kehidupan, tantangan terbesar yang ia rasakan berasal dari dalam diri sendiri. Rasa jenuh pasti muncul. Bagaimana dia tetap bisa mengontrol diri agar tetap kompeten merupakan satu yang penting diupayakan. 


“Ketika jenuh datang, saya mengatasinya dengan refreshing atau sering juga disebut healing. Melakukan hal-hal menyenangkan dengan orang-orang terdekat adalah salah satu caranya. Intinya, istirahat dulu. Jangan dipaksa. Tapi janji, harus back to track,” sarannya. 


Dia menekankan, tantangan yang datang dari dalam diri sendiri hanya bisa diatasi oleh diri sendiri. 


“Saya punya prinsip yang saya sebut “Dikotomi Kendali”. Maksudnya, ada beberapa hal yang ada dalam kendali kita dan di luar kendali kita. Misalnya, pikiran, perilaku, kegiatan, sikap, keinginan, dan keputusan adalah hal yang ada dalam kendali kita. Di pihak lain, pikiran, perilaku, dan perasaan orang lain; komentar netizen; omongan tetangga; status sosial; reputasi; rezeki; cuasa; dan sebagainya, adalah hal-hal yang ada di luar kendali kita. Jadi, fokuslah pada hal-hal yang ada dalam kendali. Mengenali hal-hal tersebut sangat membantu saya dalam mengontrol diri. Misalnya, dalam menyelesaikan tugas kuliah, bagaimana tindakan saya atas tugas tersebut ada dalam kendali saya; apakah saya mengerjakannya dengan sungguh-sungguh atau bermalas-malasan,” ujarnya. 


Salah satu nilai yang hingga saat ini dia pegang, disebutkan, berasal dari ajaran sang ibu, yang sering mengingatkan bahwa “apa yang menjadi milikmu, tidak akan melewatkanmu”.  Itu sangat membantu dirinya untuk selalu ikhlas dan bersyukur. 


Hal-hal yang saya capai pada saat ini, Alhamdulillah, memang miliki saya, sedangkan hal-hal yang belum tercapai, barangkali bukan milik saya atau mungkin belum waktunya menjadi milik saya. Lahaula walakuata illabillah,” sebut Khofifah. 


Yang sangat dia banggakan dalam keluarganya, harapan keluarga yang ditanamkan dalam kebersamaan mereka adalah bahwa dirinya bisa mencapai cita-citanya sendiri, bukan cita-cita keluarga. 


“Keinginan saya terwujud, bukan keinginan mereka. Harapan saya adalah harapan mereka juga, karena mereka tahu ujung dari segala cita-cita dan keinginan itu adalah untuk membahagiakan mereka,” sebut Khofifah. 


Meski sibuk dengan banyak bacaan, nasihat ibu di grup WhatsApp keluarga tak pernah dia lewatkan. Baginya, keikhlasan dan kepercayaan sang ibu merupakan satu sumber kekuatan, hingga dirinya bisa menempuh kehidupan jauh dari keluarga seperti sekarang ini, yang juga tak berapa lama lagi akan dilakoninya hidup perantauan di Pulau Jawa. Keluarga, baginya, pusat energi yang selalu membuat dia mampu menatap dan menjalani masa depan, sebesar apapun cita-cita dan ke manapun tujuan kaki melangkah.

Post a Comment

Previous Post Next Post