Polemik Batalnya Indonesia Menjadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20




Oleh: Misriyaningsih

Aktivis Muslimah

 

Kabar terbaru polemik batalnya Indonesia menjadi tuan rumah dalam pegelaran akbar internasional U-20 masih ramai dibicarakan masyarakat. Selain karena gelombang penolakan yang besar, FIFA juga menilai Indonesia belum siap menjadi tuan rumah. Hal ini juga buntut panjang dari kasus Kanjuruhan sebagai salah satu alasan batalnya Indonesia menjadi Tuan rumah Piala Dunia U-20.

Memang, hal tersebut sedari awal sudah menjadi prokontra di tengah masyarakat Indonesia. Aksi penolakan dari berbagai kalangan mulai dari ormas Islam, MUI hingga Gubernur Jawa Tengah dan Bali. Di sisi lain seakan tangis anak bangsa pun ramai cuitannya karena seakan mengubur mimpi anak bangsa di kontes ajang internasional dengan sikap pemerintah yang akhirnya FIFA membatalkan Indonesia menjadi Tuan rumah Piala Dunia U-20.

Padahal baik secara politik, agama dan kemanusiaan sudah seharusnya jelas menjadi standar penolakan tersebut. Dari segi politik, Indonesia merupakan negara yang mengecam segala bentuk penjajahan dan ini tercantum dalam konstistusi negara di pembukaan UUD 1945, jadi ketika kita menerima kedatangan tim Israel justru akan mencederai konstitusi bangsa ini sendiri dan sebuah kemunafikan dari pemerintah jika tetap melakukan hal ini. Karena seakan bermuka dua, ingin tetap melakukan perhelatan akbar ini yang dirasa akan menguntungkan dari segi ekonomi yang akan meningkat ketika diadakannya U-20 di negeri ini.

Dari segi agama, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam sudah pasti menolak secara tegas dengan alasan yang kuat yakni karena akidah kita sebagai umat Islam yang meyakini bahwa kaum Muslim di dunia saudara seakidah, Begitu pula tanah Palestina adalah tanah Syam, tanah suci bagi kaum Muslim dan di sana terdapat bangunan suci yakni Masjidil Aqsa yang menjadi tempat dan awal peristiwa penting bagi umat islam yaitu peristiwa Isra Mi’raj.

Kemudian dari segi kemanusian, yang dilakukan Zionis Israel terhadap Palestina bentuk kezaliman yang amat besar. Mereka menjajah, merampok, membunuh, menyerang rakyat Palestina dengan membabi buta, justru ini adalah bukti pelanggaran HAM berat dan contoh jelas tindakan radikalisme dan terorisme yang dilakukan. Seluruh dunia mengecam segala bentuk penjajahan Israel terhadap palestina baik dari Negara mayoritas umat Muslim, namun juga dari negara non-Muslim seperti Irlandia. Namun sikap yang sangat mengecewakan ditunjukkan oleh negara-negara Barat, negara-negara yang selama ini selalu meneriakkan tentang hak asasi manusia (HAM) namun bungkam akan kebiadaban Israel terhadap Palestina.

Indonesia dan Palestina bukan hanya saudara akidah saja namun lebih dari itu hubungannya dalam dunia politik sudah dimulai dari awal kemerdekan Indonesia, Palestina menjadi salah satu negara pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia. Seharusnya ini sudah bisa menjadi alasan terbaik penolakan terhadap kedatangan tim Israel ke Indonesia.

Namun anehnya menanggapi gelombang penolakan ini, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin meminta semua pihak tidak mencampuraduk olahraga dan politik. Hal ini menjadi kontradiktif dengan situasi sekarang bahwa olahraga bisa memengaruhi perpolitikan, seperti standar ganda ketika FIFA melakukan larangan terhadap Rusia ketika melakukan invansi terhadap ukraina.

Di sini FIFA memutuskan semua tim asal Rusia, baik timnas maupun klub, akan dilarang berpartisipasi dalam kompetisi di bawah naungan FIFA dan UEFA hingga ada pemberitahuan lebih lanjut. Sikap inkonsistensi dari FIFA sendiri yang membuat standar ganda yang justru menjadi polemik mencampuradukan olahraga dan politik.

Lalu bagaimana sikap kita sebagai Muslim? Apakah cukup hanya dengan kita mengirim bantuan dana dan sosial ke Palestina? Apakah cukup dengan mengutuk dan menolak kedatangan tim sepakbola Isreal ke negeri ini? Jawabannya sudah pasti tidak cukup. Karena sampai saat ini Israel masih di atas angin dengan tetap menggencarkan serangan-serangan ke Palestina.

Ironinya dunia sampai saat ini seakan bungkam dengan hal ini padahal faktanya penjajahan Israel atas Palestina sudah berlangsung dari 1948 hingga saat ini. Dan solusi yang ditawarkan dunia pun tidak berdampak sama sekali. Umat Muslim saat ini dibatasi geraknya oleh sekat-sekat kenegaraan, seakan tidak bisa bergerak ketika di luar wiilayah kenegaraannya. Lalu siapa yang bisa menghentikan kezaliman Israel?

Hanya Daulah Islam yang bisa menghentikan Israel karena dengan pasukan militernya sangat mampu memerangi Israel dan membebaskan Palestina. Oleh karena itu kaum Muslim membutuhkan Daulah Islam yaitu sistem Islam yang berwujud dengan institusi negara yang akan menjadi perisai bagi kaum Muslim di seluruh dunia. Institusi yang merangkul semua umat Muslim maupun non-Muslim di dunia untuk berada dalam satu kekuasaan yaitu khilafah tanpa adanya sekat-sekat nasionalisme. Hanya khilafah yang terbukti mampu dapat melindung harta, harkat dan martabat umat Muslim dan non-Muslim untuk hidup berdampingan dalam kesejahteraan umum.

Umat Islam seluruh dunia harus disatukan dalam satu daulah dengan seorang khalifah menjadi komandonya. Dengan bersatunya umat Islam, umat akan bangkit menjadi peradaban yang maju dan hidup sejahtera serta stabil. Daulah Islam akan memerangi Zionis Israel dan akan mengambil langkah cepat dan tepat untuk memerangi zionis Israel.

Sudah terbukti Sepanjang rentang peradaban Islam, Khilafah telah mampu membebaskan Palestina. Penaklukan ini terjadi pada tahun keenam belas (XVI) hijriah di bawah komando panglima Sa’ad bin Abu Waqas radiallahuanhu. dan akhirnya sultan Muhammad Al Fatih mampu mewujudkannya. Pada tanggal 29 Mei 1453, al-Fatih sudah menginjakkan kakinya di gerbang masuk konstantinopel. Berakhirlah pengepungan selama 52 hari lamanya dan penantian panjang akan janji Allah selama 825 tahun lamanya. Konstantinopel dibebaskan kaum muslim melalui tangan al-Fatih, Setelah itu, bumi Palestina senantiasa damai. Akankah kita rindu akan hal itu?[]

 

 


Post a Comment

Previous Post Next Post