Potensi Generasi yang Terabaikan


Oleh: Erik sriwidayati, S.Si.

Senin 3 Oktober 2022, Kepolisian RI merilis data terbaru jumlah korban tragedi di Kanjuruhan. Sejumlah 127 korban meninggal dunia, 21 orang korban luka berat, dan 304 orang korban luka ringan. Total korban 450 orang dan dimungkinkan jumlahnya terus bertambah. Korban kerusuhan suporter yang pecah seusai pertandingan Arema FC vs Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10/2022) malam.

Jumlah korban sebanyak ini tentu sangat mengenaskan. Apalagi, rata-rata korban masih berusia muda dan diantaranya terdapat anak-anak. Bahkan tragedi Kanjuruhan ini disebut-sebut sebagai insiden terburuk kedua di sepanjang sejarah liga sepak bola di dunia.

Memang sudah umum diketahui, pertandingan sepak bola cenderung melahirkan fanatisme buta suporternya. Di Indonesia, kisruh sepak bola sudah menjadi hal biasa. Setiap pertandingan sepak bola selalu tidak pernah lepas dari kehadiran aparat yang berjaga-jaga potensi rusuh antar suporter. Hal yang tidak mampu dibaca pihak penguasa dan seperti dianggap sebuah kewajaran. Bahkan untuk kasus di Kanjuruhan, aparat sampai bersiap membawa gas air mata. Padahal, penggunaannya telah dilarang FIFA.

Sepak bola memang tidak sekadar permainan olahraga. Efek dari permainan ini  merasuk ke berbagai aspek kehidupan. Salah satunya aspek ekonomi, bahkan menjadi hal yang sangat dominan. Peminatnya sangat besar dan berpotensi menjadi ajang bisnis atau industri hiburan baru yang menguntungkan bagi para pemilik modal. Pada suasana persaingan, fanatisme buta dan dendam yang menggelora, justru berpotensi besar mendatangkan keuntungan.

Klub-klub sepak bola pun terus bermunculan. Para miliarder nasional maupun internasional termasuk perusahaan milik negara, pejabat, anak pejabat, serta para artis ternama, beramai-ramai menjadi pemilik klub sepak bola atau terlibat dalam bisnis sepak bola. Besarnya profit yang akan mereka raup tentu menjadi perhitungan. Bukan hanya dari penjualan tiket pertandingan saja, tetapi yang lebih besar lagi adalah dari penjualan cendera mata, hak siar televisi, sponsor, bahkan penjualan pemain. Sangat menggiurkan.

Selain itu, liga sepak bola pun melahirkan berbagai profesi baru yang dipersaingkan. Mulai dari bisnis sekolah sepak bola, pelatih, wasit, ofisial pertandingan, komentator, agen pemain, pemandu bakat, wartawan olahraga, akuntan, dokter, bahkan tukang pijat. Yang memprihatinkan, liga sepak bola telah berkembang menjadi lahan bisnis perjudian, mulai dari yang kecil-kecilan, hingga melibatkan perusahaan judi kelas kakap. Global Data pernah merilis sebuah temuan, pada musim 2020/2021 saja industri sepak bola Eropa untung 497,82 juta dolar atau sekitar Rp7,1 triliun dari perusahaan taruhan (startingeleven, 4/4/2022). 

Tidak mengherankan, klub-klub sepak bola ternama dunia, pendanaannya di-support oleh perusahaan-perusahaan judi bermodal besar, semisal Ladbrokes, SportPesa, Betway, dan lain-lain. Sehingga bisa jadi ajang perjudian sepak bola internasional melibatkan mafia pengatur hasil pertandingan. 

Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim kondisi ini memilukan hati. Pasalnya,
jutaan rakyat, terutama generasi muda terobsesi oleh permainan yang sia-sia. Meskipun sepak bola adalah bagian dari olahraga yang asalnya menyehatkan badan, tetapi suporternya sama sekali tidak mendapat manfaat menguatnya jiwa dan raga. Waktu, tenaga, uang dan pikiran, mereka habiskan di stadion-stadion sepak bola. Sibuk mencari berbagai aksesoris mulai dari kaos sampai poster klub kesayangan. Bahkan, nyawa siap mereka pertaruhkan demi membela klub yang dicintainya. Negara pun mendiamkan dan membiarkan generasi muda menjadi rusak karenanya. 

Generasi muda tidak menyadari penjajahan non fisik yang menyerangnya salah satunya industri permainan atau hiburan saat ini. Negeri muslim terbesar ini telah dijajah secara pemikiran hingga tidak menyadari pentingnya mengisi hidup dengan penuh manfaat. Menyadari potensinya yang bisa menyelamatkan negeri ini dari eksploitasi oleh negara-negara besar. Lihatlah betapa tidak ada generasi yang tampak militan, menghalang-halangi UU yang membolehkan eksploitasi besar-besaran SDA dikeruk negara lain. Se-militan mereka membela klub sepak bola. 

Generasi muda kita juga tidak tampak militan menolak budaya asing yang jauh dari nilai ketimuran dan agama. Menerima dengan baik budaya gaul bebas, narkoba dan sebagainya. Generasi kita juga tidak tampak militan menghadapi berbagai produk impor yang mematikan produk dalam negeri. Karena mereka merasa tidak mampu memproduksi dan lebih enak langsung mengkonsumsi.

Potensi yang tersia-siakan. Padahal generasi muda pemilik masa depan negeri ini. Sebuah potensi besar yang tidak pernah diperhatikan penguasa negeri ini.

Sekularisme kapitalisme liberal biang keroknya. Pemisahan agama (baca: Islam) dan kehidupan menyebabkan pemilik modal berkuasa merusak berbagai sisi kehidupan. Saatnya kita buang jauh-jauh. Jika terus dibiarkan tidak bisa dibayangkan apa yang terjadi pada negeri ini.

Post a Comment

Previous Post Next Post