BBM Naik Rakyat Semakin Tercekik


By : Mentari

Sinyal kenaikan BBM jenis Pertamax sudah ditunjukkan oleh pemerintah pada tanggal 1 April 2022. Sinyal positif tersebut disampaikan secara langsung oleh Erick Thohir selaku Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ketika memberikan kuliah umum di Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin Makassar. Erick menyampaikan, Pertamax atau RON 92 tidak lagi diputuskan menjadi Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP). 

Saat ini kenaikan harga jenis BBM Pertamax bukan pertama kali terjadi di era kepemimpinan Jokowi. Dilansir dari tirto.id, mengutip laman Pertamina, daftar harga Bahan Bakar Khusus (BBK) Pertamax terhitung 15 Agustus 2016 lalu mencapai Rp7.350 per liter untuk regional DKI Jakarta. Pada 2017, Jokowi memutuskan untuk menaikkan harga Pertamax pada 1 Agustus sebesar Rp900 per liter, yang sebelumnya Rp 7.350 menjadi Rp 8.250 per liter. Kemudian pada 10 Oktober 2018, harga Pertamax kembali berubah menjadi Rp 10.400 per liter, atau mengalami kenaikan sebesar Rp2.150. Namun, pemerintah memutuskan menurunkan harga Pertamax menjadi Rp 9.850 per liter. Dan pada 1 Februari 2020 pemerintah kembali menurunkan harga Pertamax jadi Rp 9.000.

Sebagaimana diketahui, Pertamina menaikan harga BBM jenis Pertalite, solar dan pertamax. SPBU Vivo menurunkan harga BBM di tengah kenaikan harga BBM yang diumumkan pemerintah. Untuk BBM jenis Revvo 89 yang harga sebelumnya Rp9.290 per liter turun menjadi Rp8.900 per liter. Kemudian, Revvo 92 yang sebelumnya dijual Rp17.250 per liter menjadi Rp15.400 per liter. Lalu, untuk Revvo 95 menjadi Rp16.100 dari sebelumnya Rp18.250. Sayangnya, bukan membiarkan Vivo tetap menjual BBM lebih murah. Pemerintah malah 'menekan' Vivo agar menjual BBM disesuaikan dengan perubahan harga BBM Pertamina.
 
Dikutip dari Liputan6.com, Jakarta (18/09/2022) - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan kepada seluruh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah untuk menggunakan mobil listrik sebagai kendaraan dinas. Perintah tersebut tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 tahun 2022 terkait percepatan penggunaan kendaraan listrik berbasis baterai di instansi pemerintah pusat maupun daerah. Hal tersebut juga didasari oleh Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 untuk mengakselerasi penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbahan Baterai (KBLBB).
 
Pemerintah daerah dan PLN serta jajaran mentri siap menyokong terlaksananya aturan tersebut. Tak hanya kendaraan listrik, pemerintahan pusat juga menyajikan solusi kompor listrik sebagai solusi kenaikan gas subsidi. Kebijakan tersebut diharapkan dapat meningkatkan efisiensi energi, ketahanan energi, dan konservasi energi sektor transportasi dan rumah. Di media sosial pun telah ramai video penawaran motor listrik. Namun, tentunya pelaksanaan kebijakan tersebut membutuhkan biaya yang tak sedikit. Lagi dan lagi, APBN terpakai untuk hal-hal yang tidak urgent. Prioritas diarahkan demi keuntungan korporasi, tak peduli rakyat mati. Sebab, masih banyak rakyat Indonesia yang belum bisa menikmati listrik karena distribusinya yang tidak merata ataupun kesulitan biaya.  

Jadi, dalih penghematan dari pengurangan subsidi BBM dinilai tidak sebanding dengan efek domino yang dihasilkan. Justru nyatanya rakyat akan makin menderita. Adanya bantuan langsung tunai (BLT) sebagai solusi dari kenaikan BBM tidaklah tepat. Karena pemberian BLT hanya bersifat sementara dan dalam jumlah terbatas, yaitu hanya kepada 20,6 juta dari 260 juta penduduk Indonesia. Itu artinya kurang dari 10 persen saja yang mendapatkan BLT BBM.

Padahal subsidi BBM adalah hak semua warga negara Indonesia. Karena Migas termasuk harta milik rakyat dan seharusnya dikembalikan sepenuhnya kepada rakyat. Adapun negara hanya bertugas mengelolanya tanpa boleh mengambil keuntungan darinya sedikitpun. Beginilah akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang memberlakukan liberalisasi ekonomi dan persaingan bebas. Negara hanya bertindak sebagai regulator atas para kapitalis yang ingin mengeksploitasi kekayaan negeri ini. Sedangkan rakyat yang seharusnya mendapatkan pelayanan malah dijadikan objek dagang.

Sebagai sebuah negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah, termasuk tambang minyak bumi sebagai bahan dasar pembuatan BBM, menjadi sebuah hal yang aneh jika Indonesia menerapkan harga yang mahal untuk harga BBM dalam negeri. Sudah seharusnya sebagai produsen minyak bisa memberikan harga yang lebih rendah untuk olahan minyak bumi ini termasuk BBM yang saat ini meliputi Pertalite dan Solar sebagai bahan bakar kendaraan bermotor yang paling diminati karena harganya yang relatif terjangkau.

Dampak kenaikannya juga akan merambat ke semua sendi-sendi ekonomi negeri, bahkan ke semua sektor kehidupan, seperti naiknya harga bahan pangan pokok, tarif kendaraan umum, makanan siap saji, dan masih banyak lagi. Padahal kita melihat sendiri betapa terpuruknya kondisi perekonomian rakyat pasca pandemi. Daya beli masyarakat yang kian rendah seiring dengan meningkatnya harga barang akibat dari kenaikan BBM dan bahan-bahan pokok, semakin menghimpit kehidupan masyarakat. Terlebih lagi dengan pencabutan subsidi elpiji 3 kg secara berangsur tentulah akan mendekatkan perekonomian rakyat menuju jurang kehancuran. Namun sekalipun kondisi rakyat sudah demikian sulit, rezim negeri ini lebih memilih berlepas tanggung jawab dari kewajibannya memenuhi kebutuhan dasar energi rakyat. 

Solusi yang diberikan nampaknya hanya mampu menutup satu lubang masalah dengan tetap membiarkan lubang lainnya terbuka, bahkan menciptakan lubang-lubang masalah baru. Kekhasan sistem hari ini adalah bahwasannya kebijakan yang diterapkan hanya setengah hati dan hanya diberi kepada para kapitalis. Banyak pihak sudah mendesak agar harga BBM diturunkan. Tapi rezim yang mengaku paling pancasilais ini tidak juga menurunkan harga BBM. Kenaikan BBM adalah bukti salah kelola sektor migas. Migas adalah sumber daya alam (SDA) yang merupakan kekayaan milik rakyat yang harusnya bisa dinikmati rakyat. Namun sayang, pengelolaan migas yang saat ini dibawah sistem kapitalisme justru menjadikan swasta legal untuk menguasai SDA. Mereka bahkan mengendalikan pengelolaan migas dari hulu ke hilir. Akibatnya, kapitalisasi dan liberalisasi migas tidak terelakkan.

Asas yang melandasi pengelolaan minyak oleh para pemiliki cuan besar adalah kapitalisme. Mereka tidak akan peduli dampak yang dirasakan oleh rakyat di bawah manakala harga minyak meroket. Ini membuktikan bahwa kapitalisme masih menjajah negeri ini. Namun, banyak kalangan elit pemerintahan masih tutup mata terhadap akar masalah ini. Entah karena mereka yang kurang paham atau justru merekalah para kapital yang dengan sadar abai terhadap kesejahteraan rakyat. Sementara, penguasa dalam sistem kapitalis ini bukan sebagai periayah (pengurus), mereka hanya sebagai regulator untuk melancarkan keinginan para korporat. Penguasa mengklaim, kenaikan BBM ini adalah upaya efesiensi subsidi yang salah sasaran. Padalah, jika mereka ingin mengelola SDA migas secara benar, blok-blok migas lebih dari cukup memenuhi kebutuhan negeri. 

Inilah yang menjadi bukti bagaimana pengelolaan negara yang mendasarkan pada sistem sekularisme kapitalis yang membuat negara menjadi abai terhadap kepentingan rakyat. Terlebih, negara menganggap bahwa pengelolaan kebutuhan masyarakat adalah sebuah ajang bisnis. Negara hanya berperan sebagai regulator yang memberikan keluasaan kepada korporasi untuk mengelola pelayanan publik. Sedangkan pelayanan publik dianggap sebagai ajang bisnis yang harus mendatangkan keuntungan bagi pihaknya

Selain itu, penguasa kapitalis juga miskin empati. Untuk meredam gejolak akibat kenaikan BBM, rakyat dibius dengan BLT. Padahal, BLT sangat tidak sebanding dengan beban hidup yang dirasakan rakyat akibat kenaikan BBM ini. Inilah kezaliman pengelolaan BBM yang lahir dari sistem kapitalis. Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan pengelolaan BBM dalam sistem Islam yang disebut Khilafah. Sistem Khilafah menempatkan negara sebagai periayah (pengurus) kebutuhan umat. Khilafah tidak akan memberi celah sedikit pun kepada para korporat untuk menguasai sumber daya alam. Sebab, Islam telah menetapkan SDA yang jumlahnya melimpah adalah harta kepemilikan rakyat dan negera wajib mengelola dan mengembalikan hasilnya kepada rakyat.


BBM dalam Islam

Rasulullah saw bersabda;

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِوَثَمنَهُ حَرَامٌ

Artinya: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yakni air, padang rumput dan api. Dan harganya adalah haram.” (HR. Ibn Majah)

Dalam Islam, Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan harta milik umum. Karena merupakan harta milik umum yang dibutuhkan oleh rakyat, maka pendapatannya menjadi milik umum. Tanpa membedakan apakah ia kaya atau miskin, perempuan atau laki-laki, anak-anak atau dewasa, dan orang yang bertingkah laku baik atau jahat. Semua warga negara mendapatkan hak yang sama.

Meskipun demikian, kategori kepemilikan umum dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah yang dapat dimanfaatkan langsung oleh manusia secara langsung ataupun tidak. Misalnya air, padang rumput, api, jalan umum, laut, danau, sungai dan terusan atau kanal. Semuanya bisa dimanfaatkan secara langsung oleh manusia baik digunakan untuk kebutuhan sendiri, maupun dimanfaatkan bagi kehidupan sekitar seperti mengalirkan air dari sungai untuk tanaman atau menebas padang rerumputan untuk gembala ternaknya.

Bagian kedua dari harta milik umum adalah barang yang tidak bisa secara langsung dimanfaatkan oleh individu manusia. Hal ini karena pengelolaan dan pemanfaatannya membutuhkan usaha dan biaya untuk mengeluarkannya, seperti minyak, barang tambang dan gas. Dalam hal ini, negara lah yang berperan untuk mengelolanya. Hasilnya diperuntukkan untuk kemaslahatan seluruh rakyat dan disimpan di Baitulmal.

Pemimpin bertanggung jawab untuk mendistribusikan hasil dan pendapatannya melalui ijtihad, sesuai hukum syara’. Semua ini dilakukan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan seluruh umat. Adapun hasil dari BBM kategori kedua ini dapat digunakan untuk membiayai kebutuhan yang berhubungan dengan hak milik umum, seperti: Pos hak milik umum, kantor, sistem pengawasan dan pegawai nya, bangunan. Memfasilitasi para peneliti dan orang-orang demi menemukan eksplorasi minyak bumi, tambang atau gas, teknisi, dan lain-lain. Membeli berbagai peralatan dan membangun berbagai macam industri.
Oleh karena itu, negara berwenang menggunakan hasil BBM yang juga menjadi harta milik umum tersebut untuk hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas kehidupan. 

Khalifah juga berhak membagikan harta milik umum kepada pihak-pihak yang memerlukannya untuk digunakan secara khusus di rumah-rumah seperti: air, listrik, minyak bumi, dan gas. Jika diperlukan, Khalifah bisa menjual harta milik umum kepada rakyat dengan harga yang murah. Keuntungan dari hasil pengelolaan BBM tersebut juga bisa dinikmati rakyat sesuai kebijakan Khalifah. Dari sini, negara harus secara mandiri mengelola sumber daya alam khususnya BBM tanpa campur tangan pihak asing seperti yang kerap terjadi dalam sistem sekuler liberal.

Jika negara mau sedikit berbenah menata kehidupan bernegara sesuai Syariat Islam, tak dipungkiri negeri ini mampu menjadikan rakyatnya hidup sejahtera dan bahagia dalam naungan kehidupan syariat Islam. Hanya perlu mengalah untuk hal terbaik bagi negeri ini. Hal ini dilakukan dengan menyingkirkan sistem sekuler Kapitalisme yang telah nyata merusak kehidupan rakyat lalu beralih pada sistem Islam yang menerapkan Syariat Islam.

اَفَحُكْمَ الْجَـاهِلِيَّةِ يَـبْغُوْنَ ۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّـقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ

"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 50)

Wallahu a’lam bishawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post