Islam Lindungi Petani, Tak Berpihak pada Korporasi



Oleh: Ummu Athar 

(Aktivis Muslimah)


Bentrok antara aparat dan petani sawit kembali terjadi, koalisi masyarakat sipil melaporkan kronologi 40 petani yang disiksa dan ditangkap paksa di Kabupaten Mukomuko Provinsi Bengkulu pada Kamis 12 Mei 2021. Masyarakat sipil menduga anggota brimob melakukan tindakan represif terhadap anggota perkumpulan petani pejuang bumi sejahtera (PPPBS) dan masyarakat disekitar lahan (yang bukan anggota PPPBS) dengan melakukan penangkapan dan pemukulan 40 petani ditangkap dan disiksa usai kedapatan memanen tandan sawit di lahan sengketa dan petani beralasan panen tersebut adalah hasil kerja kerasnya. (www.kabartrenggalek.com)


Sayangnya, aparat lebih berpihak pada korporasi yang menjadi lawan petani dalam kasus sengketa atau konflik agraria. Menyikapi hal tersebut Akar Law Office (ALO) menyebutkan bahwah aparat telah menyalahgunakan kekuasaan, bahwa penangkapan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap anggota PPPBS merupakan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan tindakan sewenang-wenang (arbitrary detention) kepada masyarakat yang secara jelas melanggar dan bertentangan dengan UUD 1945 KUHAP dan prinsip HAM ungkap Zelig Ilham Hamka, S.H, selaku koordinator reforma agraria akar faoundation.


Rakyat: Tumbal Korporasi

Konflik agraria menambah kompleksnya problem seputar lahan, selain ketimpangan penguasaan lahan yang sangat tajam, bahkan menurut Komnas HAM setiap tahunnya konflik agraria merupakan jenis pengaduan pelanggaran HAM terbanyak yang dilaporkan.


Konflik lahan yang terjadi melibatkan warga masyarakat dengan beberapa pihak seperti korporasi pemerintah pusat atau daerah bahkan dengan aparat, mirisnya masyarakat miskin atau lemah adalah kelompok yang paling sering disalahkan dan dirugikan hingga tidak jarang sampai jatuh korban nyawa.


Ada sejumlah faktor pemicu terjadinya konflik ini, file kajian sifat 2016 menyebutkan penyebab konflik di sektor perkebunan adalah karena perampasan lahan,  pengabaian klaim hak adat, polusi,  tidak memadainya kompensasi pembagian manfaat dan kegagalan perusahaan merealisasikan janji berlarut-larut.


Konflik lahan dengan jumlah dan jenis yang terus bertambah setiap tahunnya menunjukkan kegagalan upaya mengatasi konflik ini,  sebab akar persoalan konflik ini tidak terselesaikan. Sejatinya faktor mendasar pemicu konflik yang utama berkaitan dengan ketidakjelasan penentuan Status kepemilikan lahan dalam konsep kapitalisme neoliberal saat ini, hingga tidak ada pengaturan tentang mana lahan yang boleh dimiliki individu, lahan milik umum dan lahan milik negara. Celakanya, semua lahan diklaim milik negara dan negara bisa mengalihkan pengelolaannya kepada swasta, ditambah lagi Status kepemilikan yang harus mendasarkan pada legalitas formal seperti sertifikat.


Selain ketidakjelasan kepemilikan lahan, faktor pemicu konflik lahan adalah kehadiran pemerintah hanya sebagai regulator dan fasilitator saja serta keberpihakan yang lebih kepada korporasi. Hingga menyebabkan mandulnya negara dari tanggung jawabnya sebagai pelindung dan penanggung jawab rakyat. Hal ini menyebabkan konflik seringkali memenangkan pihak yang kuat dan memaksa rakyat mengalah. Inilah konsekuensi penerapan sistem kapitalisme neoliberal, karena itu untuk mengakhiri konflik lahan negeri ini harus mengubah paradigma pengaturannya yang batil, karena masih berpegang teguh pada paradigma kapitalisme neoliberal yang rusak.


Islam: Solusi Tata Kelola Lahan

Satu-satunya konsep yang layak digunakan saat ini hanyalah syariat Islam yang dijalankan oleh sistem politik Khilafah, sebab kesahihan sistem ini telah dijamin Allah subhanahu wa ta'ala dan bukti keberhasilannya sudah ditunjukkan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan para khalifah setelah beliau.


Ada dua konsep penting dalam menghadapi konflik lahan yakni mengembalikan Status kepemilikan lahan sesuai yang ditetapkan Allah Subhanahu wa ta'ala dan hadirnya fungsi negara secara benar sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. 


Dalam pandangan Islam lahan memiliki tiga Status kepemilikan yaitu:

1. Lahan yang boleh dimiliki individu seperti lahan pertanian ladang kebun dan sebagainya.

2. Lahan milik umum yaitu lahan yang didalamnya atau diatasnya terdapat harta milik umum seperti lahan hutan, tambang dan sebagainya. Status lahan milik umum, yakni kepemilikannya atas nama rakyat. Terkait lahan milik umum ini, Islam melarang kepemilikan rakyat ini dikuasakan/dimiliki oleh individu, swasta atau korporasi, sebab penguasaannya kepada swasta atau korporasi akan menghalangi akses ummat untuk memanfaatkannya atau memicu terjadinya konflik.


3. Lahan milik negara yaitu lahan yang tidak berpemilik dan yang diatasnya terdapat harta milik negara seperti bangunan milik negara.


Berdasarkan pembagian ini maka tidak boleh bagi individu untuk memiliki lahan milik umum sekalipun diberikan izin oleh negara. Kepemilikan lahan dalam Islam harus sejalan dengan pengelolaannya. Ketika ditemukan suatu lahan yang tidak tampak ada kepemilikan seseorang disana, maka boleh dimiliki oleh siapapun asalkan lahan tersebut dikelolanya.


Tiap tanah mati apabila telah dihidupkan oleh orang, maka tanah tersebut telah menjadi milik yang bersangkutan. Syara’ telah menjadikan tanah tersebut sebagai milik orang yang menghidupkannya, berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Aisyah bahwa Rasulullah saw. pernah bersabdah: “Siapa saja yang telah mengelola sebidang tanah, yang bukan menjadi hak orang lain, maka dialah yang lebih berhak”.


Imam Abu Dawud juga meriwayatkan, bahwa Nabi SAW, telah bersabda: “Siapa saja yang telah memagari sebidang tanah dengan pagar, maka tanah itu adalah miliknya”. Di samping itu Imam Bukhari juga meriwayatkan hadist dari Umar dari Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda: “Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah hak miliknya”.


Ketika suatu lahan yang sah dimiliki seseorang namun diterlantarkan hingga tiga tahun hak kepemilikan akan hilang darinya. Khalifah Umar bin Al- Khaththab ra. Mengatakan:
وليس لمحتجر حق بعد ثلاث سنين
"Orang yang memagari tanah tidak berhak lagi ( atas tanah tersebut) setelah( menelantarkannya) selama tiga tahun.

Konsep seperti ini akan menjaga kepemilikan seseorang atas lahan sekalipun tidak memiliki sertifikat bahkan memudahkan siapapun untuk memiliki lahan asalkan sanggup pengelolanya sementara Khilafah harus hadir ditengah masyarakat sebagai raa'in yakni pelayan (pengurus) dan junnah (pelindung).


Negara tidak boleh mengambil untung dari proses melayani rakyat. kedua fungsi raa'in dan junnah tersebut harus dijalankan dengan menerapkan syariat Islam secara Kaffah pada seluruh aspek, karena fungsi dari pelaksanaan hukum syariat adalah mencegah dan menyelesaikan seluruh potensi masalah serta konflik yang terjadi di tengah manusia dengan penyelesaian yang paling adil. Wallahu a'lam bi showab.

Post a Comment

Previous Post Next Post