Tak Pantas, Dana BLT Dipakai Foya-foya




Oleh Herma Hartati

Beberapa hari yang lalu kita dikejutkan dengan berita terkait seorang oknum Kepala Desa (Kades) Talang Buluh, Kecamatan Batang Hari Leko , Kabupaten Musi Banyuasin (MUBA) yang ditangkap polisi karena di duga memakai dana bansos Covid-19 untuk berfoya-foya. Berita ini berawal dari laporan palsu yang dibuat oknum Kades yang berinisial EL (46 tahun), bahwa dirinya telah menjadi korban perampokan dua orang yang tidak dikenal. Saat kejadian, pelaku EL sedang membawa uang Rp38,7 juta dana BLT. Setelah penyelidikan petugas menemukan kejanggalan dan berhasil mengunggkap bahwa laporan tersebut palsu. Pelaku mengakui telah membuat laporan palsu dan mengatakan bahwa dia terdesak kebutuhan sehari-hari. Padahal uang tersebut digunakan untuk menutupi dana pelatihan peningkatan kapasitas aparatur desa yang telah dihabiskannya untuk berfoya-foya. (INews.id, 30/9/2021)

Karena keterangan palsu yang dilakukan oleh oknum Kades tersebut, penyidik menggunakan pasal 242 ayat (1) KUHP tentang laporan palsu untuk menjerat tersangka dengan ancaman paling lama tujuh tahun penjara. Dari tangan tersangka, polisi menyita barang bukti berupa laporan polisi BA interogasi, satu unit sepeda motor merk Kawasaki KLX 150 tanpa plat, ponsel, uang tunai sisa pelatihan sebanyak Rp 38.055.000.(Merdeka.com, 29/9/2021)

Alih-alih mengurusi kebutuhan rakyat terlebih di saat pandemi ini, penguasa daerah malah memanfaatkan dana bantuan sosial yang seharusnya diberikan pada rakyat yang sangat membutuhkan. Di tengah krisis ekonomi untuk sekedar menyambung hidup mereka sangat kesulitan.

Sebenarnya kasus serupa sudah banyak terjadi, bukan hanya di wilayah Sumatera Selatan tapi di wilayah lain pun pernah mengalami kasus penyelewengan dana sosial. Contoh, Kepala Desa di kecamatan Sukakarya, Kabupaten Musirawas, Sumatera Selatan. Oknum Kepala Desa ini diduga kuat menggelapkan dana BLT Rp187 juta yang diperuntukkan untuk bantuan ke warga warga terdampak Covid-19. (Tribun-Bali.com, 13/1/ 2021).

Kemudian ada lagi Kades di Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah, ditangkap polisi karena korupsi dana bantuan sosial Covid-19 dengan nilai kerugian Rp791 juta. Oknum kepala desa itu diduga menggunakan uang tersebut untuk bermain judi daring hingga beli mobil.Kompas.id, 4/8/ 2021)

Maraknya kasus serupa, membuat  kita bertanya-tanya, mengapa hal ini berulang-ulang terjadi? Padahal, pelaku korupsi sudah diberikan sanksi hukuman penjara hingga beberapa tahun. Dari sanksi laporan palsu sampai kepada tindak pidana korupsi. Apakah sanksi yang diberikan tidak cukup lama atau memang ada kesalahan dari hal lain sehingga seringkali terjadi kasus korupsi penyelewangan dana sosial berulang-ulang.

Sejatinya, penguasa daerah dipilih untuk mengurusi urusan rakyat yang berada di wilayah daerahnya. Tapi kenyataan yang ada di lapangan, seperti kasus-kasus di atas justru memperburuk kondisi masyarakat. Apalagi di tengah pandemi saat ini, dimana masyarakat sangat bergantung kepada pemerintah. Di saat mereka mengalami kesulitan mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun ternyata Kepala Desa tempat mereka mengadukan nasibnya, malah justru mengkhianati kepercayaan masyarakat dengan “mencuri” dana bantuan sosial yang harusnya diberikan kepada mereka.

Akibat dari kelakuan oknum kades tersebut, menyebabkan terjadinya irisis sosial di tengah-tengah masyarakat. Dengan kekurangan ekonomi yang dialami masyarakat mengakibatkan maraknya para pengemis, pencurian, pembegalan, dan lain sebagai.

Dari sisi individu, buruknya kelakuan para oknum Kades disebabkan karena krisis perilaku yang tidak berstandarkan Islam di dalam aktivitas pengurusan rakyat. Ini disebabkan karena pada awal pemilihan Kades, mereka mengeluarkan dana yang sangat besar untuk meraih jabatan tersebut. Bahkan sampai menjual harta benda mereka untuk mengikuti pemilihan Kades. Akibatnya Ketika menjabat, mereka menginginkan pengembalian dana yang sudah mereka keluarkan. Kemudian yang paling utama, karena tidak adanya efek jera di dalam hukuman yang diberikan kepada para pelaku kemaksiatan, dalam hal ini koruptor dana bantuan sosial. Karena itulah kasus ini sering terjadi.

Jadi dalam hal ini, ada beberapa poin yang kita ambil yaitu buruknya sistem yang tidak memberikan efek jera terhadap hukuman pelaku korupsi. Serta perilaku buruk para penguasa daerah yang tidak menjalankan aktivitas perbuatannya sesuai hukum syariat.
Artinya, sistem yang diterapkan saat ini tidak bisa menyelesaikan permasalahan korupsi. Karena sistem yang dipakai sekarang dalam membuat aturan dan hukum-hukum berstandarkan akal manusia  yang berdasarkan manfaat belaka.

Dalam sistem Islam tentu tidak demikian. Ada beberapa jurus jitu untuk menangkal dan membasmi korupsi, yaitu tindakan pencegahan dan penindakan apabila ada penguasa ataupun pejabat yang terdeteksi melakukan korupsi. Adapun tindakan pencegahan itu dengan cara, pertama negara akan menanamkan pendidikan keimanan dan ketakwaan bagi setiap individu Muslim. Negara akan mendidik setiap pejabat memiliki rasa takut dan sikap muraqabah yaitu selalu merasa diawasi oleh Allah. Karenanya akidah Islam merupakan standar bagi pendidikan setiap individu termasuk pejabat pemerintahan.

Kedua, pejabat diberikan gaji yang layak. Tunjangan dan fasilitas yang mampu memenuhi kebutuhan mereka. Sehingga meminimalisir angka kecurangan dan penyalahgunaan jabatan. Hal ini sesuai dengan sabda Rasullah saw. “ Barangsiapa diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah; jika belum beristri hendaklah menikah; jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan; jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan), hendaknya diberi. Dan Barangsiapa mengambil selainnya itulah kecurangan (ghalin).” (HR. Abu Dawud).

Ketiga, larangan menerima suap dan hadiah. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw." Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yan diterima hakim adalah kufur." (HR. Imam Ahmad).

Keempat, perhitungan kekayaan. Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab, jikalau menemukan penggelembungan harta yang tidak wajar maka yang bersangkutan diminta membuktikan bahwa kekayaan yan diterimanya didapat dengan cara halal.

Apabila keempat hal tersebut masih dilanggar, maka negara memberikan penindakan atau hukuman terhadap pelaku korupsi, yaitu efek jera bagi para pelaku dan pelajaran bagi masyarakat untuk berfikir ulang ketika akan melakukan tindakan yang sama.

Hukuman yang diberikan untuk menimbulkan efek jera itu adalah dengan hukuman ta’zir, bisa berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin ditayangkan di televisi). Hukuman lainnya adalah bisa berupa; hukuman cambuk, penyitaan harta, pengasingan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.

Inilah jurus-jurus jitu dalam sistem Islam untuk menangkal kasus korupsi dengan menerapkannya sehingga keadilan bisa terwujud dan rahmatan lil a’lamiin bukan hanya isapan jempol semata. Karena sistem Islam bukan berstandarkan akal manusia tapi berdasarkan seruan Allah Swt. dalam membuat aturan. 

Wa’allahu a'lam bisshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post