Over Kapasitas Penjara: Kegagalan Pengurusan Negara Terhadap Narapidana




Oleh Ummu Salman
(Relawan Media)

Seluruh kamar sel di Blok C2 Lapas Kelas I Tangerang terkunci saat kebakaran terjadi dini hari tadi, Rabu (8/9). Akibatnya, 41 narapidana tewas dalam kebakaran itu. Data dari situs Ditjen PAS menyebut Lapas Kelas I Tangerang berkapasitas 600 orang namun dihuni oleh 2.072 tahanan dan narapidana atau mengalami kelebihan kapasitas hingga 245 persen. (cnnindonesia.com, 8/9/2021).

Sungguh tragis, nyawa manusia melayang begitu saja. Meskipun mereka adalah napi, mereka tetap adalah manusia yang harusnya mendapatkan perlakuan yang manusiawi. Mengumpulkan mereka pada tempat yang sempit dalam jumlah yang lebih dari seharusnya, hingga over kapasitas adalah salah satu perlakuan tak manusiawi. 

Menanggapi kebakaran tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan bahwa akan membangun gedung baru untuk penjara guna menyelesaikan persoalan overckapasitas dalam penjara. 

Pernyataan tersebut jelas bukan solusi. Karena sejatinya negara telah gagal paham akan akar masalah dari over terjadinya kapasitas penjara. Banyaknya penghuni penjara menunjukkan maraknya kejahatan dan tindak pidana di masyarakat. Semua itu tidak terlepas dari penerapan sistem kapitalis yang telah membuka peluang yang besar bagi terjadinya kejahatan itu sendiri. 

Kemiskinan, kezaliman secara politik dan ekonomi dan gagalnya negara mengurusi rakyatnya telah menambah kasus kejahatan. Ditambah lagi dengan hukuman atau sanksi  yang tidak memberi efek jera bagi para pelaku kejahatan. Hal ini membuat banyak pelaku kejahatan yang bahkan berkali-kali masuk penjara. Tidak jarang ada kasus mantan napi yang baru keluar penjara, kembali melakukan kejahatan dengan berbagai alasan. Entah itu karena terdesak kebutuhan hidup ataupun karena memang tidak jera dengan hukuman sebelumnya. Mirisnya banyak yang lebih lihai lagi dalam melakukan kejahatan setelah keluar dari penjara. Saling tukar 'ilmu' antara pelaku kejahatan sudah biasa terjadi di dalam penjara. 

Terlebih lagi dalam persoalan narkoba, yang mana negara didesak untuk melakukan revisi kepada UU Narkoba. Alasan revisi tersebut karena over kapasitas penghuni penjara yang kebanyakan dari mereka adalahnapip kasus narkoba. Ada desakan agar mereka yang merupakan para pemakai narkoba tidak perlu di penjara, tetapi direhabilitasi karena dianggap sebagai korban. 

Padahal sesungguhnya tanpa revisi pun, hal tersebut sudah terlaksana pada orang-orang tertentu. Biasanya para pemakai narkoba yang merupakan "orang ada" tak mendapatkan hukuman penjara, melainkan hanya direhabilitasi dengan alasan bahwa mereka adalah korban. 

Di samping itu para pengedar narkoba tidak mendapatkan hukuman yang setimpal. Kondisi ini mengakibatkan makin banyak yang menjadi pengedar narkoba. Untuk mereka yang pengedar "besar" Bahkan bisa menjalankan bisnis narkobanya dari dalam penjara. 

Inilah salah kaprah dalam melihat persoalan over kapasitas ini. Menjadikan para pengguna narkoba sebagai korban dan tidak menghukum mereka juga adalah tindakan yang tidak tepat. Karena tindakan tersebut bisa saja menjadi celah bagi para napi narkoba untuk bebas dari sanksi. 

Sesungguhnya masalah dasar dari  over kapasitas penghuni penjara adalah karena penerapan sistem sekularisme dalam kehidupan. Sistem tersebut terus memelihara bermacam sumber kriminalitas dalam kehidupan. Kemudian bertumpunya sanksi pada kurungan/penjara yang tidak efektif menjerakan pelaku dan abainya negara memberi perlakuan layak pada Lembaga LAPAS.

Penjara dalam Sistem Islam

Berbeda dengan sistem Islam. Sanksi haruslah berfungsi sebagai pencegah kejahatan dan kriminalitas. Karenanya, sanksi haruslah menimbulkan efek jera bagi para pelakunya dan sebagai pencegah bagi yang lainnya untuk tidak melakukan kejahatan serupa. Atas pandangan seperti itu, maka sanksi tidaklah bertumpu pada penjara semata. Penjara adalah salah satu jenis ta'zir. Ta'zir adalah hukuman atau sanksi yang kadarnya ditetapkan oleh khalifah. 

Syeikh Abdurrahman Al Maliki dalam bukunya Sistem sanksi dalam Islam menyatakan bahwa pemenjaraan adalah mencegah aatau menghalangi seseorang untuk mengatur dirinya sendiri. Dalam artian bahwa kebebasan atau kemerdekaan seseorang untuk benar-benar dibatasi sebatas apa yang dibutuhkannya sebagai seorang manusia. 

Penjara adalah tempat orang untuk menjalani hukuman, untuk itu dengan dipenjarakan, diharapkan pelaku kejahatan jera dan tidak akan melakukan kejahatan lagi. Karena itu penjara harus memberikan efek rasa takut dan cemas bagi pelaku kejahatan. Untuk itu penjara tidak boleh dengan lampu terang dalam artian harus remang-remang, dan tidak boleh ada segala jenis hiburan. Juga tidak boleh ada alat komunikasi dalam bentuk apapun mengingat tempat tersebut adalah penjara, tempat menghukum pelaku kejahatan. Tidak peduli apakah dia orang kaya atau miskin, tokoh masyarakat atau rakyat biasa. Semuanya mendapatkan perlakuan yang sama ketika mendapatkan hukuman. 

Sanksi dengan pemenjaraan sendiri telah dicontohkan di masa Rasulullah saw  dan sahabat. Di masa Rasulullah saw. dan Abu Bakar, mereka yang di penjara ditempatkan di dalam mesjid atau di dalam rumah. Artinya saat itu belum dibuatkan tempat khusus. Kemudian di masa Umar bin Khattab, menggunakan rumah Shifyan bin Umayyah sebagai penjara setelah dibeli seharga 400 dirham.  Di masa khalifah Ali bin Abu Thalib, telah dibuat penjara yang diberi nama nafi'an dan makhisan. 

Namun demikian bukan berarti negara memperlakukan para narapidana dengan tidak manusiawi. Mereka tetap diberi makan dan minum, dibolehkan untuk beristirahat dan juga boleh dikunjungi keluarga dengan waktu yang dibatasi. Bahkan di masa Khalifah Harun Ar Rasyid, para napidana mendapatkan pemeriksaan kesehatan secara berkala. Begitulah perlakuan terhadap para narapidana. Tetap manusiawi tanpa di istimewakan. Namun mampu memberikan efek jera.

Wallahu a'lam bishawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post