Habibi Bukan Untuk Habibah


By Joulee

Halaman sekolah terasa ramai pagi itu. Ini kali pertama setelah sekian purnama para siswa hanya diperbolehkan belajar dari online di rumah.

Di sekolah alam ini, taman sekolah masih tetap luas, beberapa kelas berderet di sisi kanan, sedang di kirinya sebuah masjid kokoh tanpa dinding pembatas, hanya  bagian imaman saja. Semua tampak asri dengan berbagai macam tanaman beraneka warna, sebuah kolam ikan dipenuhi oleh ikan nila yang siap panen. Ya, meski sekolah lama tak offline tapi para pengurus sekolah ini amanah dalam bekerja.

Aku, Habibah, baru saja memasuki tempat parkir guru, sepeda Beat milikku kuparkir berada tepat di samping wastafel taman, helm dan jaket kulepaskan perlahan.

"Kenapa semua lihatin aku!"

Terdengar teriakan dari lapangan basket sekolah.

Seorang anak laki-laki yang kira-kira berusia delapan tahun melihat ke seluruh penjuru sekolah, wajahnya seakan marah karena ejekan.

"Kenapa semua lihatin aku!" Ulangnya kembali.

Aku melangkah mendekatinya perlahan.

"Ooooh, mungkin teman-temannya pingin tahu, siapa anak baru yang shalih ini, assalamualaikum,"

Kucoba menyapanya dan mengulurkan tangan kananku.

Anak itu melihatku dan membalas mengulurkan tangan, tapi tak mau mencium tanganku layaknya murid yang lain, pandangannya beralih ke semua siswa yang memperhatikannya.

"Namanya siapa?" Tanyaku kembali.

"Muhammad Al Habsyi" suara lembut seorang wanita terdengar dari arah belakang ku

Aku memutar tubuhku, dan mendapati seorang perempuan dengan cadar maroon senada dengan jilbab dan khimarnya. Sorot mata yang cantik.

Kembali ke nama tadi, seperti tak asing bagiku " Muhammad Al Habsyi", aku merasakan aliran darahku memanas melewati semua organ tubuhku, yah, aku mengingat nama itu, sebuah nama yang ingin kusematkan pada buah hatiku kelak jika kami membangun sebuah rumah tangga namun kenyataan berkata lain pada aku dan dia, Habibi.

"Oooh, iya, saya Habibah wali kelas dua, dengan ummu siapa?

"Saya Ainun Ummu Habsyi, ustadzah Khodijah kemarin mengatakan kalau saya bisa menemui njenengan bila Habsyi sudah mulai sekolah"

Ustadzah Khodijah adalah wakil kepala sekolah di sekolah Alam Mubarrok ini.

"Oh, ya"

Aku tersenyum lebar, kemudian kami pun mulai bercakap-cakap, menanyakan beberapa hal tentang Habsyi dan juga alasan kenapa dia pindah sekolah serta dimana mereka tinggal. Sampai di pembahasan ini, darahku semakin terasa panas menjalari setiap pembuluh darahku, alamat yang dulu sering aku kunjungi, saat aku belum memutuskan berhijrah dan menerima pinangan seorang ikhwan, yang kini tekah menjadi Buya dari tiga anakku, mas Misbahul Mundzir.

"Oooh, di Taman Pondok Indah 1 no.5" 

Aku mengulang alamat itu sambil tersenyum sengir, ada yang sakit di sini, di dalam dadaku.

"Kenapa Ust, apa ustdzah mengenal keluarga Abahnya Habsyi?"

"Saya hanya mengira, tapi sepertinya bukan"

Mendadak hatiku kacau, inikah wanita pilihanmu Bi, jelas aku bukanlah tandingannya.

Sekarang aku paham Bi, aku bukanlah orang yang tepat buatmu karena Ainun adalah terbaik bagimu, dan aku tak pernah menyesali berjodoh dengan mas Misbah, karena dia yang telah menjadi penerang hingga kutemukan jalan Tuhanku, kita sama-sama hijrah, biarlah masa lalu memiliki kita tapi saat ini kitalah yang memilikinya, tutup rapat dia hingga tak perlu terbuka lagi.

Post a Comment

Previous Post Next Post