Menambah Pinjaman, Benarkah Demi Menyelamatkan Rakyat?


Oleh Ummu Zhafran
Pegiat Literasi

Selamatkan rakyat.  Ya, dalam suatu acara Bedah Buku Mengarungi Badai Pandemi, Menteri Keuangan mengatakan utang merupakan salah satu instrumen _whatever it takes_ demi  menyelamatkan masyarakat dan perekonomian di masa pandemi covid-19. Sebabnya, APBN mengalami pelebaran defisit sehingga membutuhkan pembiayaan yang dapat saja bersumber dari utang. (cnnindonesia, 24/7/2021)

Tak sedikit yang bertanya-tanya, benarkah demikian?  Mengingat utang wajib dibayar, tidakkah menambah utang lagi dan lagi alih-alih bikin rakyat selamat melainkan justru terjerat?

Bahkan dalam laporan hasil pemeriksaannya, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) telah mengirim sinyal lampu kuning.  Bahwa dengan perilaku utang yang ugal-ugalan dikawatirkan ancaman gagal bayar  menanti di depan mata.  (tempo, 22/6/2021)

Kekhawatiran BPK tentu beralasan.  Sampai kuartal ketiga tahun ini saja, jumlah utang sudah tembus angka ribuan triliun. (kompas.com, 21/6/2021)  Bukan tak mungkin bakal bertambah lagi.  Maka klaim pemerintah terkait kondisi utang yang masih aman terkendali patut dipertanyakan.
Apalagi  di balik utang luar negeri  mengintai bahaya yang sangat besar, baik secara ideologis maupun politis.  

Sebagai negeri dengan mayoritas penduduk muslim, idealnya tak menafikan haramnya riba yang menyertai setiap pinjaman luar negeri. 
Firman Allah Swt.,

“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 279)

Ayat ini merupakan ancaman yang keras dan peringatan yang tegas terhadap orang-orang yang masih menetapi perbuatan riba sesudah adanya peringatan. (Tafsir Ibnu Katsir)

Di sisi lain yang tak kalah membahayakan, secara politis yaitu risiko tergadainya kemandirian negara.    Sebab bukan rahasia lagi tak ada yang gratis dalam paradigma kapitalis.  Maka utang lalu menjelma jadi alat campur tangan dan hegemoni negara debitur terhadap kebijakan negara kreditur. Dengan kata lain jika negeri ini terus menambah utang luar negeri sama artinya menggelar karpet merah bagi penjajahan gaya baru.  Kentara  kiranya dalam banyak produk perundang-undangan  ditengarai tunduk pada kepentingan asing.  

Itulah yang terjadi ketika kapitalisme dibiarkan mengatur negeri.  Hegemoni dan penjajahan sejatinya metode baku kapitalisme dalam melanggengkan kekuasaan.  Ujungnya rakyat lagi jadi korban.  Sudahlah kehilangan subsidi masih harus pula dibebani membayar utang.  Belum lagi harus bertahan untuk tetap hidup sehat di tengah pandemi.  

Sia-sia kiranya tetap berharap perubahan pada kapitalisme- demokrasi yang bercokol di negeri.  Menyerahkan wewenang membuat hukum pada manusia yang menjadi watak kapitalisme sejatinya tak kunjung memanusiakan  manusia.  Cukup menengok segenap aturan yang berubah-ubah istilah tapi minus kontribusi pada peningkatan kesejahteraan rakyat.  Memberlakukan penyekatan namun tak hadir menjamin kebutuhan warga, hanya salah satunya.

Saatnya menempuh langkah efektif untuk keluar dari kungkungan kapitalisme. Yaitu bersegera meninggalkan riba yang jelas-jelas mengundang murka Sang Pencipta.  Ditambah lagi Islam juga mengharamkan segala jalan yang mengakibatkan kaum kafir mendominasi kaum Muslim.  
Dalilnya dalam penggalan surah An Nisa ayat 141, 

“..Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.”

Lantas, bagaimana utang asing dalam pandangan Islam? Islam mengamanahkan negara, yang direpresentasikan dengan khalifah   mutlak sebagai pihak yang menjamin tegaknya syariah secara kaffah.  Menjaga segenap rakyat dari perkara haram dan mendorong sebesarnya untuk _fastabiqul khairat,_ berlomba dalam kebaikan.  Maka alih-alih terlibat riba dan menggadaikan kewibawaan negara sebagai gantinya, khalifah justru akan sekuat tenaga menjauhinya. 

Penerapan sistem ekonomi Islam akan dilakukan negara dengan merestorasi status kepemilikan pada tempatnya.  Mana yang boleh dimiliki individu rakyat, dimiliki secara umum dan dimiliki oleh negara.   Islam kemudian mewajibkan negara mengelola kepemilikan umum seperti sumber daya alam, air dan tanah.  Hasilnya ditujukan semata untuk memenuhi kebutuhan setiap individu rakyat.  Terlarang menjualnya ke pihak swasta atau asing. Otomatis berjalannya negara tanpa utang bukanlah  hal yang mustahil. 

Demikianlah Islam menjawab tuntas problematik hidup manusia.  Bahkan terhadap utang yang dipinjam  sebelum tegaknya negara yang menerapkan syariah kafah pun, Islam punya solusinya.  Yaitu dengan tetap memenuhi akad untuk membayar utang. Dengan catatan, semua syarat dan ketentuan tidak melanggar perintah dan larangan Allah Swt. 

 “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Maidah: 1).  

Maka yang dibayarkan hanya sisa cicilan utang pokok saja, tidak dengan ribanya.
Meski demikian negara  harus menempuh berbagai cara untuk meringankan beban dalam pembayaran, antara lain dengan mengajukan pemutihan maupun penjadwalan ulang.  Wallaahu a’lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post