Tarhib Ramadan


Oleh Nuriati
(Pemerhati Sosial)

Marhaban ya Ramadan. Selamat datang Ramadan. Tak terasa, Ramadan kembali menyapa kita. Kali ini kita akan memasuki Bulan Suci Ramadan 1442 H.

Dikutip dari muslimahnews.com, 10/4/2021, Ramadan datang. Sudah selayaknya kita bergembira. Tentu karena bulan Ramadan adalah bulan yang agung. Bulan yang penuh dengan kemuliaan dan keberkahan. 
Rasulullah saw. bersabda saat Ramadan menjelang,                                                                                                                                                               
 “Sungguh telah datang bulan Ramadan yang penuh keberkahan. Allah mewajibkan kalian berpuasa di dalamnya. Di dalamnya pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu. Pada bulan itu terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan (Lailatulqadar). Siapa saja yang terhalangi (untuk mendapatkan) kebaikan malam itu maka sungguh dia telah dihalangi (dari keutamaan yang agung).” (HR Ahmad dan an-Nasa’i)

Ramadan adalah bulan istimewa. Bulan yang di dalamnya diwajibkan puasa, yang bisa mengantarkan orang yang berpuasa meraih derajat takwa. Ramadan adalah bulan yang bertabur dengan pahala yang berlipat ganda. Bulan pengampunan atas dosa-dosa. Bulan yang di dalamnya pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu. Ramadan adalah bulan yang di dalamnya ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Itulah Lailatulqadar. Bulan yang di dalamnya Allah menurunkan Al-Qur’an. Pedoman hidup manusia, yang menjadi sumber kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Karena itu, sejatinya setiap muslim bergembira menyambut kedatangan Ramadan. Tamu agung yang membawa banyak keutamaan. Kaum muslimin harus mempersiapkan diri menyambut bulan suci Ramadan. 

Beberapa hal yang perlu disiapkan, antara lain; bertobat dan mensucikan diri, bersyukur kepada Allah Swt. karena masih diberi karunia umur, hingga bersua dengan Ramadan tahun ini, meningkatkan kapasitas ilmu, membulatkan niat dan memiliki cita-cita tinggi untuk berusaha memperbaiki perkataan dan perbuatan, bersungguh-sungguh dalam ketaatan, menghidupkan bulan Ramadan dengan amal salih dan berpuasa dengan sebenar-benarnya.

Ramadan tahun ini merupakan kali kedua kaum muslimin melaksanakan puasa di kala pandemi Covid-19. Kendatipun demikian, tidak mengurangi kebahagiaan kaum muslimin dalam menyambut bulan mulia ini.

Negeri ini kian menuai permasalahan. Wabah corona yang belum usai, muncul jua bencana alam dan urusan rakyat yang menyita perhatian di tengah persiapan menyambut bulan suci Ramadan. Boleh jadi, ini adalah akibat dari pelanggaran-pelanggaran atas syariat Allah Swt. Sungguh memprihatinkan.

Puasa dan Takwa

Memasuki Ramadan kali ini, tentu kita berharap puasa kita benar-benar dapat mewujudkan ketakwaan hakiki pada diri kita, sebagaimana yang Allah Swt. kehendaki:
“Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana puasa itu pernah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa “ 
(TQS. al-Baqarah [2]: 183).

Allah Swt. tidak pernah menyelisihi janji dan firman-Nya. Jika umat ini mengerjakan ibadah puasa dengan benar sesuai tuntunan Al-Qur’an dan as-Sunah, dan ikhlas melaksanakannya semata-mata mengharap rida Allah Swt., niscaya takwa sebagai hikmah puasa itu akan dapat terwujud dalam dirinya.

Apa yang dimaksud dengan takwa? Imam ath-Thabari, saat menafsirkan ayat di atas, antara lain mengutip Al-Hasan yang menyatakan, “Orang-orang bertakwa adalah mereka yang takut terhadap perkara apa saja yang telah Allah haramkan atas diri mereka dan melaksanakan perkara apa saja yang telah Allah titahkan atas diri mereka.” (Ath-Thabari, Jâmi al-Bayân li Tawîl al-Qurân, I/232-233).

Berkaitan dengan takwa pula, Baginda Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Muadz bin Jabal ra. saat beliau mengutus dia ke Yaman: 
“Bertakwalah engkau kepada Allah di manapun engkau berada…” (HR. at-Tirmidzi).

Terkait dengan frasa ittaqilLah (bertakwalah engkau kepada Allah) dalam potongan hadis di atas, banyak ciri/sifat yang dilekatkan kepada orang-orang bertakwa (Muttaqîn). Orang bertakwa antara lain adalah orang yang mengimani yang gaib, mendirikan salat, menginfakkan sebagian harta, mengimani Al-Qur'an dan kitab-kitab yang Allah Swt. turunkan sebelum Al-Qur'an dan meyakini alam akhirat (QS. al-Baqarah [2]: 1-4). Orang bertakwa juga biasa menginfakkan hartanya pada saat lapang ataupun sempit, mampu menahan amarah, mudah memaafkan kesalahan orang lain, jika melakukan dosa segera ingat kepada Allah Swt. dan memohon ampunan-Nya serta tidak meneruskan perbuatan dosanya (QS. Ali Imran [3]: 133-135). Tentu masih banyak ciri/sifat orang bertakwa yang disebutkan di dalam Al-Qur'an maupun as-Sunah.

Adapun terkait frasa haytsuma kunta, secara lebih rinci dapat dijelaskan bahwa kata haytsu bisa merujuk pada tiga: tempat (makan), waktu (zaman) dan keadaan (hal). Karena itu sabda Baginda Rasul saw. kepada Muadz ra. tersebut adalah isyarat agar ia bertakwa kepada Allah Swt. tak hanya di Madinah: tak hanya saat turun wahyu-Nya, tak hanya saat bersama beliau, juga tak hanya saat dekat dengan Masjid Nabi saw. Namun, hendaklah ia bertakwa kepada Allah Swt. di mana pun, kapan pun dan dalam keadaan bagaimana pun (Athiyah bin Muhammad Salim, Syarh al-Arbain an-Nawawiyyah, 42/4-8).

Dengan demikian, jika memang takwa adalah buah dari puasa Ramadan yang dilakukan oleh setiap mukmin idealnya usai Ramadan, setiap mukmin senantiasa berupaya menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Tentu dengan mengamalkan seluruh syariah-Nya baik terkait akidah dan ubudiah; makanan, minuman, pakaian dan akhlak; muamalah (ekonomi, politik, pendidikan, pemerintahan, sosial, budaya, dll); maupun uqubat (sanksi hukum) seperti hudud, jinayat, tazir, maupun mukhalafat. Takwa belumlah diraih sepenuhnya, jika seseorang biasa melakukan salat, melaksanakan puasa Ramadan atau bahkan menunaikan ibadah haji ke Baitullah; sementara ia biasa memakan riba, melakukan suap dan korupsi, mengabaikan urusan rakyat, dan menolak penerapan syariah secara kafah.

Meraih Takwa Totalitas

Patut dipahami juga bahwa tak hanya puasa yang bisa mengantarkan pelakunya meraih derajat takwa. Di dalam Al-Qur’an sendiri tak hanya ayat tentang kewajiban puasa yang diakhiri dengan frasa; laallakum tattaqun (agar kalian bertakwa). Di dalam beberapa ayat lain Allah Swt. juga berfirman, antara lain:

 “Hai manusia, beribadahlah kalian kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.” (TQS. al-Baqarah [2] 21).

“Bagi kalian, dalam hukum qishash itu ada kehidupan, wahai orang-orang yang memiliki akal, agar kalian bertakwa.” (TQS. al-Baqarah [2]: 179).

“Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus (Islam). Karena itu ikutilah jalan itu dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan lain hingga kalian tercerai-berai dari jalan-Nya. Yang demikian Allah perintahkan agar kalian bertakwa.” (TQS. al-Anam [6]: 153).

Berkaitan dengan ayat-ayat di atas, jelas bahwa tak cukup dengan puasa orang bisa meraih derajat takwa. Ibadah (yakni totalitas penghambaan kita kepada Allah Swt.), pelaksanaan hukum qishash serta keberadaan dan keistiqamahan kita di jalan Islam dan dalam melaksanakan seluruh syariah Islam. Semua itulah yang bisa mengantarkan diri kita meraih derajat takwa.

Di tengah sistem kehidupan sekuler yang tidak menerapkan syariah Islam secara kafah saat ini, juga dalam kondisi pandemi Covid-19, kaum muslim tentu membutuhkan pemimpin yang benar-benar bisa mewujudkan hikmah puasa dalam dirinya, yakni takwa. Di antara kesempurnaan puasa pemimpin yang bertakwa adalah menjaga puasanya dari perkataan dusta (qawl az-zûr) karena kedustaan hanya akan membuat puasa seseorang sia-sia. Nabi saw. bersabda:
“Siapa saja yang tidak meninggalkan perkataan dan perilaku dusta maka Allah tidak membutuhkan upayanya dalam meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. al-Bukhari).

Pemimpin yang bertakwa adalah pemimpin yang amanah. Pemimpin yang tidak mengkhianati Allah Swt. dan Rasul-Nya. Karena itu pemimpin yang bertakwa tidak mungkin menyalahi Al-Qur'an dan as-Sunah. Mereka tak akan mengkriminalisasi Islam dan kaum muslim serta tak abai terhadap kebutuhan dan keselamatan rakyatnya. Mereka pun tidak akan menghalang-halangi apalagi memusuhi orang-orang yang memperjuangkan penerapan syariah dan penegakan khilafah yang merupakan tâj al-furûdh (mahkota kewajiban) dalam Islam. Bahkan mereka akan menerapkan syariah Islam secara kâffah sebagai wujud ketaatan total diri kepada Allah SWT.

Allah Swt. berfirman:
“Bersegeralah kalian meraih ampunan Tuhan kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi kaum yang bertakwa; yaitu mereka yang menginfakkan (harta mereka) baik dalam kelapangan maupun dalam kesempitan, yang sanggup menahan amarah, yang biasa memberi maaf orang lain, dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
(TQS. Ali Imran [3]: 134).

Berkaitan dengan ayat tersebut, ada satu kisah menarik. Suatu saat Imam Jafar ash-Shadiq ra. sedang bersama budaknya yang sedang menuangkan air. Tanpa sengaja, air itu menciprati pakaian Imam Jafar. Beliau lalu memandang budaknya dengan pandangan kurang suka (tanda marah, red.). Namun, sang budak buru-buru menyitir potongan QS. Ali Imran ayat 134, “Wa al-kâzhîmîn al-ghayzh (orang-orang  yang menahan amarah).” Mendengar itu Imam Jafar berkata, “kalau begitu aku sudah tidak marah lagi kepada kamu.” Sang budak melanjutkan, “Wa al-âfîna an an-nâs (orang-orang yang memaafkan manusia).” Imam Jafar berkata lagi, “Aku pun telah memaafkan kamu.” Sang budak melanjutkan lagi, “Wa AlLâhu yuhibb al-muhsinîn (Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan).” Imam Jafar pun kembali berkata, “Baiklah, kalau begitu, pergilah. Mulai sekarang engkau menjadi orang merdeka karena Allah. Untuk kamu, aku pun menghadiahkan hartaku sebesar seribu dinar (lebih dari Rp 2 miliar).” (Ibnu al-Jauzi, Bahr ad-Dumû, hlm. 175).

Begitulah Imam Jafar ash-Shadiq. Beliau langsung—tanpa ditunda-tunda—mengamalkan seluruh perkara yang terkandung dalam QS. Ali Imran ayat 134 meski itu disampaikan hanya oleh budaknya. Itulah salah satu teladan orang yang bertakwa. Inilah sikap yang patut kita ikuti agar puasa kita benar-benar mewujudkan predikat takwa.

Derajat takwa ini secara hakiki hanya mampu diraih dalam tatanan kehidupan yang menerapkan aturan Sang Pencipta secara keseluruhan, yaitu sistem Islam. Karena dalam sistem ini, negara menjamin terjaganya akidah umat, termasuk didalamnya pelaksanaan puasa di bulan Ramadan. Dengan demikian, masih ragukah kita mengambil Islam sebagai mengatur kehidupan ini?

Wallahu a’lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post