MENGAKHIRI PENDERITAAN PEREMPUAN DENGAN SISTEM ISLAM (KHILAFAH)


 

Goresan Pena : Muliyanum ( Aktivis Dakwah Lubuk Pakam )


Salah satu buruh perempuan yang bekerja pada perusahaan produsen es krim PT. Alpen Food Industry (AFI) atau Aice, Elitha Tri Novianty. Perempuan berusia 25 tahun ini sudah berusaha mengajukan pemindahan divisi kerja karena penyakit endometriosisnya kambuh. Tapi apa daya, perusahaan justru mengancam akan menghentikannya dari pekerjaan.

Elitha terdesak dan tidak punya pilihan lain selain terus bekerja. Akhirnya, dia pun mengalami pendarahan hebat akibat bobot pekerjaannya yang berlebihan. Elitha terpaksa melakukan operasi kuret pada Februari lalu, yang berarti jaringan dari dalam rahimnya diangkat. Elitha hanya satu dari banyak buruh perempuan yang hak-haknya terabaikan oleh Aice.

Sarinah, Juru Bicara Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR), yang mewakili serikat buruh Aice, menyatakan bahwa sejak tahun 2019 hingga saat ini sudah terdapat 15 kasus keguguran dan enam kasus bayi yang dilahirkan dalam kondisi tak bernyawa dialami oleh buruh perempuan Aice.

Pihak Aice telah membantah tuduhan tersebut. Perwakilan Aice, Simon Audry Halomoan Siagian, menyatakan bahwa pihaknya sudah melarang perempuan yang sedang hamil untuk bekerja di shift malam.

Namun terlepas dari penjelasan yang diberikan, Aice tetap mendapat kecaman dari berbagai pihak dan bahkan menghadapi aksi boikot.

Tapi perjuangan untuk meperjuangkan hak-hak buruh perempuan tampaknya masih jauh karena masih banyak perusahaan yang menelantarkan hak-hak buruh-buruh perempuan mereka demi mengejar efisiensi dan efektivitas produksi perusahaan.

Para pengamat buruh dan gender berargumen praktik penindasan hak buruh perempuan merupakan akibat dari pelanggengan budaya patriarki di sektor ketenagakerjaan di Indonesia.

Data Organisasi Buruh Internasional atau ILO pada 2018 menunjukkan bahwa hanya setengah dari populasi perempuan Indonesia yang memiliki pekerjaan dan jumlahnya tidak pernah bertambah. Sedangkan pada laki-laki, tingkat ketenagakerjaan mencapai hampir 80% populasi.

Stigma yang melekat pada perempuan –- seperti perempuan itu lebih lemah sebagai pekerja ketimbang laki-laki -– menjadi satu alasan mengapa pihak perusahaan enggan memperkerjakan mereka.

“Tenaga kerja perempuan dianggap lemah. Misalnya ketika harus mengurus anak, dianggap beban pekerjaannya harus dikurangi. Kepercayaan saat rekrutmen juga berkurang karena acap kali dianggap sering tidak masuk kerja”, terang Peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Diahhadi Setyonaluri atau yang akrab disapa Ruri.

Stigma itu, menurut Suci Flambonita, staf pengajar di Fakultas Hukum, Universitas Sriwijaya, muncul dari budaya patriarki yang dilanggengkan.

Suci menjelaskan budaya patriarki ini termanifestasi dalam hubungan industrial yang timpang antara buruh dan pemberi kerja di mana buruh perempuan selalu berada pada posisi yang lemah.

“Buruh perempuan dianggap hanya sebagai second-person (orang kedua),” ujarnya.

Akibatnya buruh perempuan sering diperlakukan semena-mena.

Di banyak perusahaan, buruh perempuan dipersulit untuk mendapatkan cuti haid yang sebenarnya sudah dilindungi dalam Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003.

Izin cuti haid baru bisa terwujud ketika mendapatkan surat keterangan dokter (SKD) yang dikeluarkan oleh klinik pabrik atau klinik tingkat I yang tercantum dalam kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Proses yang rumit ini membuat buruh perempuan terpaksa memilih menahan sakit saat bekerja.

Banyak perusahaan juga lalai menjamin keselamatan buruh perempuan akibatnya mereka rentan mengalami pelecehan dan kekerasan seksual.

Penelitian pada paruh akhir tahun 2017, menunjukkan bahwa meski mayoritas buruh perempuan dalam sektor garmen di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, Jakarta Timur pernah mengalami kasus pelecehan seksual, hanya sedikit sekali yang melapor.

Dari 773 buruh perempuan yang berpartisipasi dalam penelitian ini, 437 di antaranya pernah mengalami pelecehan seksual, dengan rincian 106 mengalami pelecehan verbal, 79 mengalami pelecehan fisik, dan 252 mengalami keduanya.

Dari angka tersebut, hanya 26 orang yang berani melapor. Alasan para buruh perempuan tidak melapor karena mereka merasa malu, takut, dan khawatir jika melapor pekerjaan mereka akan terancam.

Buruh hamil di KBN Cakung ini juga mengalami tekanan saat bekerja. Mereka wajib lembur meski sedang hamil dan sering kali tidak dibayar.

Hal yang serupa juga terjadi pada buruh perempuan di Aice.

“Buruh perempuan yang sedang hamil baru bisa non-shift (tidak bekerja) kalau usia kandungan sudah tujuh bulan. Sebelum itu, masih harus angkat barang berat dan dapat shift (waktu kerja) malam,” ujar Sarinah.

UU Ketenagakerjaan Indonesia sebenarnya sudah cukup melindungi hak pekerja dan buruh perempuan Indonesia. Aturan tersebut dengan jelas mengatur jam kerja dan fasilitas untuk tenaga kerja perempuan serta menetapkan sanksi pidana dan denda bagi perusahaan yang tidak mengabulkan hak ini.

Pemerintah abai terhadap nasip buru, minimnya pengawasan dari pemerintah terkait perlindungan tenaga kerja perempuan membuat perusahaan melaksanakan peraturan ini dengan seenaknya.

“Seperti gunung es, kasus buruh perempuan di pabrik Aice ini hanya memperlihatkan sedikit permasalahan. Kita belum tahu bagaimana kondisi kerja yang dialami oleh buruh perempuan di pabrik-pabrik lain, pasti banyak yang tidak dibuka kepada publik,” terang Palmira Permata Bachtiar, peneliti SMERU Research Institute.

Pemerintah juga berperan penting untuk menaruh perhatian pada evaluasi peraturan ini.

“Kalau tidak ada pengawasan, kita tidak pernah tahu sebuah permasalahan sampai level grassroot. Pemerintah harusnya bisa melakukan monitor dan enforcement (penegakan hukum) ke perusahaan hingga menjadi mediator antara perusahaan dengan tenaga kerja”, jelas Ruri.

Para ahli melihat peluang bagi lembaga bantuan hukum, lembaga swadaya masyarakat, advokasi, dan organisasi masyarakat untuk bisa ikut berperan dalam membantu pengawasan terhadap pemenuhan hak buruh.

Ancaman UU Sapu Jagat Cipta Kerja

Perlindungan terhadap buruh perempuan akan semakin terancam dengan rencana pemerintah untuk mengesahkan Undang Undang Cipta Kerja.

Banyak pihak mengecam aturan yang diharapkan pemerintah dapat menarik lebih banyak investor masuk ke Indonesia karena berpotensi merugikan hak tenaga kerja, khususnya perempuan.

Jika dalam UU Ketenagakerjaan Tahun 2003, pekerja perempuan yang tidak masuk kerja karena cuti haid tetap wajib dibayarkan upahnya, maka dalam draf Omnibus Law, hak ini tidak disebutkan secara eksplisit.

Satu celah lagi yang belum diakomodasi oleh UU yang baru tersebut adalah perlindungan buruh non formal.

Tenaga kerja non formal seperti asisten rumah tangga, pekerjaan yang mayoritas dilakukan pekerja perempuan, tidak memiliki payung hukum untuk melindunginya. Hal ini membuat hak dan keselamatan kerja mereka menjadi bias pada pekerja sektor formal. 

“Perlindungan pekerja itu seharusnya termasuk perlindungan pekerja perempuan dan anak baik dalam sektor formal dan non formal. Sektor formal relatif sudah baik, tetapi persoalannya ada di perlindungan terhadap pekerja perempuan nonformal yang tidak dilindungi sama sekali oleh hukum,” jelas M Nur Sholikin, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). 

Penderitaan kaum perempuan tidak akan pernah berakhir jika aturan yang di terapkan adalah aturan kapitalisme sekuler. Perempuan mulia hanya dengan penerapan islam secara menyeluruh yaitu dengan tegaknya khilafah.

Tugas utama perempuan adalah menjadi istri dan ibu. Dia tidak dibebani tugas untuk bekerja menghidupi dirinya sendiri. Tugas tersebut dibebankan kepada lelaki – baik itu lelaki yang menjadi suaminya ataupun ayahnya, ataupun saudaranya. Jika seorang perempuan tidak memiliki wali, maka dia berhak mendapat status sebagai kalangan yang dilindungi negara, dan tidak wajib bekerja.

Namun demikian, perempuan tetap boleh bekerja dan memainkan peran lain dalam kehidupan bermasyarakat, selain peran mereka dalam keluarga seperti yang telah disebut di atas. Keberadaan dokter, guru, perawat, hakim, polisi perempuan sangatlah penting bagi keberlangsungan masyarakat. Dapat dibayangkan betapa rikuhnya seorang perempuan jika harus membahas masalah-masalah yang khas perempuan dengan seorang hakim lelaki, misalnya. Karena itulah keberadaan hakim perempuan, khususnya dalam pengadilan keluarga, dibutuhkan oleh negara.

Bahkan jika seorang perempuan muslimah bekerja, dia tidak diwajibkan untuk membelanjakan uangnya untuk keluarganya. Dia bisa menjadi orang yang kaya raya, sedangkan kewajiban menafkahi keluarga tetap ada pada lelaki yang menjadi suaminya, bukan pada dirinya. Suami ataupun keluarga, tidak punya hak untuk menyentuh harta yang dikumpulkan oleh perempuan tersebut. Tentu saja perempuan muslimah juga terikat kewajiban ‘untuk membayar’ atas hasil pekerjaan mereka, entah itu yang termasuk kharaj, ‘usyur, atau zakat. Sedangkan perempuan non Muslim tidak dikenakan kewajiban membayar jizyah, bahkan seandainya mereka memiliki pekerjaan.

Karena itu para ibu pun harus ikut berjuang untuk mengubah sistem kapitalis yang eksploitatif menjadi sistem Islam yang dapat mensejahterakan , bukan malah terjerumus dalam keadaan yang eksploitatif.

Maka dari itu jelaslah bahwa Khilafah adalah kebutuhan seluruh umat manusia, berjuang untuk menegakkannya adalah kewajiban. Karena tegaknya Khilafah merupakan janji Allah SWT. Sebagaimana yang sudah diterangkan di dalam surat An-Nuur :55 yang artinya :"Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan mengerjakan amal kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridhai…. "

Wallahu’alam Bi Ashowab

 

Post a Comment

Previous Post Next Post