Hijab adalah Hukum Syara’ bukan Fashion

By : Novianti


Iman itu keyakinan dalam hati tapi jika belum terucapkan maka tidak disebut sebagai mukmin. Mukmin, manakala yang diyakini harus diucapkan. Tatkala seorang mukmin sudah berkata saya beriman, tidak akan dibiarkan begitu saga karena harua dibuktikan apakah yang diucapkan itu benar atau hanya sebatas ucapan.


Sebagai contoh ketika seseorang disodorkan segelas air mengandung racun, ia akan menolak meminumnya meski ditawari uang, jabatan atau tawaran menarik lainnya karena yakin semua itu tak bisa ia nikmati.  Ia akan mati setelah minum air tersebut.  Begitulah seharusnya sebuah keyakinan, ia mempengaruhi cara bersikap dan perbuatan dan tak ada keraguan tentangnya.


Karenanya, apa yang ada di dalam dada seseorang akan diuji. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat al Ankabut ayat 2: 


أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ 

"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?"


Yang demikian adalah karena jika tidak ada ujian, maka tidak dapat dibedakan antara orang yang benar-benar beriman dengan yang tidak (yakni berdusta) dan tidak dapat dibedakan antara orang yang benar dengan orang yang salah. Menurut  para ulama, salah satu ujiannya adalah ketundukkan pada syariah islam.  Kerelaan mau diatur oleh aturan Allah.  Syariah islam digali dari al Quran dan as Sunnah.  Bagi orang yang beriman, seharusnya tidak ada keraguan untuk melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh laranganNya.


Jilbab adalah bagian dari  perintah Allah yang hukumnya  wajib. Tidak ada ikhtilaf (perbedaan pendapat) tentang kewajiban menutup aurat bagi muslimah. Artinya, hal ini telah disepakati di kalangan para ulama muktabar, sehingga tidak sepatutnya dipersoalkan kembali.


Namun hukum jilbab kembali digugat  karena adanya pernyataan  keraguan tentang hal ini.   Sinta Nuriyah, istri Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid  atau yang dikenal Gus Dur, mengatakan bahwa  jilbab itu tidak wajib. Pernyataan sama disampaikan oleh   Miftahul Choir, Sumanto Al Qurtuby  di media sosial  bahkan memposting foto istrinya tanpa hijab. 


Aksi No Hijab Day yang digagas oleh Yasmine Mohammed,  mengajak para perempuan muslimah menanggalkan hijab.   Komunitas Hjrah Indonesia mengajak perempuan muslim atau bukan menayangkan foto-foto berbusana dengan nuansa Indonesia dengan  memperlihatkan kepala tanpa memakai hijab/jilbab/ niqab/cadar/ kerudung dan semacamnya di akun media sosial.


Apa yang mereka lakukan merupakan hal yang bertentangan dengan islam karena hukum berjilbab   sudah jelas di dalam Al Quran  didasarkan pada firman Allah :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ... 


Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri kaum Mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka…" (QS al-Ahzab : 59).


Kewajiban berjilbab  diperkuat oleh riwayat Ummu ‘Athiyyah yang berkata: Pada dua hari raya kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haid dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum Muslim dan doa mereka. Namun, wanita-wanita haid harus menjauhi tempat shalat mereka. Seorang wanita bertanya, “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia keluar)?” Lalu Rasul saw. bersabda, “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.” (HR al-Bukhari dan Muslim).


Masih banyak dalil lain yang menunjukkan wajibnya seorang muslimah berkerudung (khimar) dan mengulurkan jilbab saat keluar rumah atau di hadapan laki-laki yang bukan mahram ketika sudah akil baligh. Karenanya tidak boleh ada keraguan dalam melaksanakannya.  Jilbab bukan budaya arab atau sebuah pilihan yang boleh dipakai jika suka dan dilepas jika tidak cocok.


Namun,  masih ada  muslimah yang  mengenakan kerudung  tidak mendasarkan perbuatannya pada dalil.  Mereka beranggapan, jilbab sama dengan fashion  yang musiman di saat tertentu.  Sehingga ia tidak berkeberatan dengan seruan-seruan menanggalkan jilbab dan membiarkan saudara muslimahnya tidak menutup auratnya. Baginya, ini adalah pilihan.


Sikap seperti ini karena kurangnya pemahaman. Namun  tidak bisa dibiarkan karena setiap perbuatan seorang muslim harus didasarkan pada ilmu. 

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS. Al-Isra’ : 36)


Ayat ini melarang untuk berbicara , melakukan perbuatan berdasarkan zan (dugaan) yang bersumber dari  sangkaan.  Meski apa yang dilakukan  nampak baik di hadapan manusia.  Terkait dengan perbuatan manusia, islam mengatur bahwa  harus didasarkan pada standar hukum syara’.  Sehingga suatu perbuatan dikatakan baik atau buruk, terpuji atau tercela, bukan karena perasaan dan pandangan manusia. 


Hukum syara’ adalah seruan dari Sang Pembuat Syariat (Allah Subhanahu wa Ta’aala) yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Seruan Pembuat Syariat adalah perkara yang terdapat dalam Al Quran dan As Sunnah,  berupa perintah maupun larangan.  Jadi, jika kita ingin berbuat sesuatu harus mengetahui dulu hukumnya apakah wajib, sunnah, makruh, mubah atau haram.


Mengenakan hijab tanpa memahami dalilnya seperti mendirikan bangunan di atas fondasi yang rapuh.  Sehingga seorang muslimah akan mudah  goyah keistiqomahannya lalu menanggalkan jilbabnya. Atau mengenakan namun belum sesuai dengan yang Allah tetapkan karena hanya mengira ngira benar dan tidaknya berdasarkan pandangannya. 


Berhijab adalah melaksanakan  hukum syara’ dan  wujud taat, meninggalkannya adalah maksiat. Hukum berhijab adalah wajib yaitu dengan menggunakan kerudung dan berjilbab. Hijab adalah pakaian takwa. Memakainya jelas berbuah pahala, melepasnya pasti berkawan dosa. 

Post a Comment

Previous Post Next Post