Menelisik Perhatian Pemimpin Negeri Muslim Atas Saudara se Iman

Penulis : Eva Rahmawati 
(Member Akademi Menulis Kreatif)

Kondisi memprihatinkan dialami Muslim Uighur. Mereka mendapatkan perlakuan diskriminatif dan persekusi, dilarang menjalankan ajaran agamanya (Islam), kemudian lebih dari satu juta ditahan massal. Klaim sepihak dari China, menurut Kepala Komisi Eksekutif Kongres China (CECC), dikutip The Epoch Times, Muslim Uighur dimasukkan dalam kamp pendidikan ulang (re-education) di China Barat.

Hal tersebut berlangsung cukup lama, mereka menahan pilu, hidup dalam kungkungan di dalam kamp-kamp yang lebih layak disebut sebagai penjara. Mereka mendapatkan penyiksaan baik fisik maupun psikis, mulai dari yang ringan hingga berat bahkan sampai meregang nyawa. Mereka hidup dalam tirani pemerintah China yang kian memaksakan kehendak. 

Bentuk-bentuk penyiksaan yang diterima bisa dibilang sadis, di luar batas kemanusiaan. Dalam kondisi tersebut, Muslim Uighur dan kaum muslim sangat berharap kepada para pemimpin negeri muslim untuk menolong dan mengakhiri penindasan tersebut. Hal ini didasari keyakinan mereka atas firman-Nya dalam Qur'an surat Al Hujurat ayat 10 yang menyebut "Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara".

Mereka juga yakin dengan apa yang dikabarkan oleh Rasulullah dalam sabdanya, “Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan saling berempati bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya merasakan sakit, maka seluruh tubuh turut merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Upaya yang dilakukan, menurut laporan Middle East Eye, Omer Kanat, Direktur Uyghur Human Rights Project, organisasi pembela hak asasi Uighur yang berbasis di AS, sebelumnya memohon kepada putra mahkota untuk memperjuangkan nasib Muslim Uighur selama lawatannya dua hari ke Cina.

Namun, nyatanya Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman justru membela Cina soal penahanan kamp konsentrasi untuk Muslim Uighur. Dilansir oleh TEMPO.CO, pada 23/2/19. Menurut Pangeran Mohammed, China memiliki hak untuk upaya anti-terorisme dan de-ekstremisasi demi keamanan nasionalnya. Hal ini disampaikan Pangeran Mohammed saat kunjungannya ke China.

Bahkan dalam kunjungan tersebut disepakati Bahasa China akan dimasukkan dalam kurikulum dalam semua tingkat pendidikan di Arab Saudi. Menurut laporan Badan Pers Saudi (SPA), rencana ini bertujuan untuk memperkuat persahabatan dan kerja sama antara Kerajaan Arab Saudi dan pemerintah China dan untuk memperdalam kemitraan strategis di semua tingkatan.

Pembelaan Pangeran Mohammed terhadap China, sungguh mengecewakan kaum muslim. Menambah luka semakin perih, ditambah lagi dengan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) tidak melakukan apapun untuk nasib Uighur. Termasuk salah satu yang paling vokal mengecam sebelumnya, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Erdogan yang pernah menuduh China melakukan genosida, justru membawa Turki lebih dekat dengan China dalam hubungan ekonomi dan diplomatik. Pun dengan negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia, sampai saat ini pemimpinnya masih bungkam soal Muslim Uighur, yang ada hubungannya semakin mesra dengan pemerintah China.

Sudah matikah rasa peduli dan empati terhadap derita yang dialami saudara seiman, padahal mereka sama-sama muslim. Atau setidaknya mereka sama-sama manusia, makhluk Allah SWT. Kemana Hak Azazi Manusia (HAM) yang biasa didengungkan? Mengapa mendadak senyap saat korbannya kaum muslimin? Kemana hilangnya nalar atas kezaliman di muka bumi? Apa yang terjadi dengan para pemimpin negeri muslim, kenapa tidak punya daya apapun menghadapinya? Yang ada sepertinya mereka semakin mesra menjalin kerja sama dengan para penindas saudaranya. Lantas apa sebenarnya penyebab itu semua?

Apa yang dialami oleh Muslim Uighur, tidak jauh beda dialami oleh kaum muslim di belahan bumi yang lain, lihatlah kondisi muslim di Palestina, Suriah, Rohingya, India, Thailand, dll. Tak satu pun pemimpin negeri muslim yang membela dan menjaga kehormatan kaum muslim. Hal ini disebabkan oleh keberhasilan musuh-musuh Islam mengoyak kekuatan umat Islam. 

Barat sangat yakin cara tepat menghancurkan kekuatan kaum muslim dengan mengoyak persatuannya, yaitu dengan dihembuskan paham nasionalisme. Nasionalisme adalah paham yang mengikat sekumpulan manusia (bisa juga sekumpulan suku) yang memiliki kepentingan yang sama dan hidup dalam wilayah tertentu. Nasionalisme inilah salah satu penyebab runtuhnya kekhilafahan. Terbukti pasca runtuhnya Khilafah Turki Utsmani, umat Islam yang satu, satu negara yaitu daulah Islam, terbagi menjadi lebih dari 50 negara. Nasionalisme berhasil mengkotak-kotakan kaum muslim.

Sejak saat itu kaum muslim tercerai berai, mulai detik itu juga kaum muslimin bagaikan anak ayam kehilangan induknya, tidak ada lagi yang menjaga dan melindunginya. Kini masing-masing negeri muslim hanya konsen pada urusan dalam negerinya, tak peduli terhadap saudara seiman yang berada di luar negerinya. 

Nasionalisme berhasil menghilangkan kepedulian, jika pun ada rasa peduli dan empati yang bisa dilakukan hanya sekedar mengutuk tindakan tersebut dan menggalang solidaritas saja. Padahal seruan mengutuk dan bantuan materiil yang diberikan tidak mampu menghentikan kezaliman tersebut. 

Ibarat dalam suatu kota ada penjahat, menganiaya penduduk kota tersebut, bahkan sampai menghabisi nyawa, namun yang dilakukan hanya sekedar mengutuk dan mengobati serta memberi bantuan kepada para korban saja tanpa 'mengamankan' penjahat tersebut, pastinya penganiayaan akan terus berulang hingga sumber masalahnya (penjahat) itu 'diamankan'. 

Untuk menumpas kezaliman tersebut mestinya dengan mengerahkan pasukan militer. Sungguh, kekuatan militer negeri-negeri muslim jika disatukan tak dapat dikalahkan oleh musuh-musuh Islam. Namun lagi-lagi nasionalisme telah membuat sekat-sekat, ada batas-batas negara yang tidak boleh dilanggar. 

Ditambah dengan aturan PBB yang semakin melanggengkannya, karena ketika ada negara yang membantu tanpa persetujuan PBB maka akan ada sanksi yang diterima. Dianggap mencampuri urusan dalam negeri negara tersebut. Padahal realitanya, ketika korbannya kaum muslim, PBB tak bisa berbuat banyak untuk menghentikannya..

Dengan demikian kaum muslim benar-benar membutuhkan Khilafah. Dengan khilafah kaum muslim akan menjadi ummatan wahidah, dalam satu bendera, satu negara dan umat kembali mempunyai perisai, Rasulullah SAW dengan tegas menyatakan:
Sesungguhnya Imam (Khalifah) itu laksana perisai (junnah); orang-orang berperang mengikutinya dan berlindung dengannya (HR al-Bukhari dan Muslim).

Dalam penjelasannya, Imam as-Suyuthi menyebutkan, Imam (Khalifah) sebagai perisai berarti sebagai pelindung sehingga dapat mencegah musuh menyakiti kaum Muslim, mencegah masyarakat saling menyakiti satu sama lain, juga memelihara kekayaan Islam. Kaum Muslim bersama Imam/Khalifah akan memerangi kaum kafir, pembangkang dan penentang kekuasaan Islam serta semua pelaku kerusakan. Imam/Khalifah melindungi umat dari seluruh keburukan musuh, pelaku kerusakan dan kezaliman.
Wallahu a'lam bishshowab
Previous Post Next Post