Akankah Pandemic Fund Mengatasi Pandemi Secara Total?


Oleh Omsiatun Marsudin
(Muslimah Pemerhati Umat) 


Peluncuran pandemic fund atau dana pandemi pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G 20 di Bali (13/11/2022) telah diresmikan oleh Presiden RI Joko Widodo. Pandemic fund diharapkan akan menjadi sarana penting untuk mencegah dan mengatasi pandemi yang mungkin terjadi kembali di masa yang akan datang.

Presiden menyatakan bahwa dana pandemi yang terkumpul hingga saat ini sebesar 1.5 miliar dolar AS, atau setara Rp23,4 triliun. Sedangkan, perkiraan dari WHO, dana pandemi membutuhkan sekitar US$ 31.1 miliar atau setara Rp481 triliun pertahun.

Janet Yellen selaku menteri keuangan AS berpendapat bahwa pandemic fund telah menyumbangkan manfaat bagi negara miskin untuk mengatasi masalah infrastruktur kesehatan. Sementara menurut Presiden Joko Widodo, pandemic fund akan menambah kekuatan dalam hal keuangan bagi negara miskin dalam menghadapi krisis kesehatan.

Pandemi Covid-19 yang melanda semakin menunjukkan ketidakberdayaan dunia dalam menghadapi krisis kesehatan. Presiden Joko Widodo berpendapat sekarang dunia tidak mempunyai arsitektur kesehatan yang mumpuni untuk mengelola pandemi (Republika,13/11/2022). Pandemic fund dirilis sebagai upaya untuk menentukan kekuatan komunitas internasional dalam menghadapi pandemi.

Sudah tak asing, jika sistem kapitalisme dalam mengatasi masalah arsitektur kesehatan dunia dengan pandemic fund. Amerika Serikat dan Eropa adalah merupakan negara besar yang menguasai dunia, mereka berpandangan bahwa negara-negara miskin akan kuat menghadapi risiko pandemi jika memiliki dana yang besar. Sedangkan, permasalahan kesehatan dunia tidak sekadar faktor dana, namun lebih rumit lagi dan fundamental.

Kalau memang permasalahannya hanyalah dana, mestinya negara-negara kaya seperti Amerika dan Eropa akan lebih cepat dalam mengatasi pandemi Covid-19. Tapi buktinya mereka tidak mampu serta mengalami krisis kesehatan ketika Covid-19 melanda Amerika dan Eropa. Bahkan hingga saat ini masih terasa dampaknya.

Lalu, mengapa dunia internasional tidak mampu menghadapi pandemi? Hal yang paling mendasar adalah cara pandang terhadap kesehatan itu sendiri. Sistem kapitalisme menganggap bahwa kesehatan adalah kebutuhan yang bersifat Individual. Sehingga tugas dalam mewujudkannya diserahkan sepenuhnya kepada individu dan negara tidak menjamin akan hal itu.

Walhasil, berlakulah kapitalisasi dalam sektor kesehatan yang menyebabkan swasta menguasainya. Fakta dalam penyediaan vaksin Covid-19 di dunia menjadi bukti nyata akan hal itu.

Dengan kapitalisasi kesehatan, maka telah terjadi ketimpangan akses terhadap vaksin. Negara kaya mampu memiliki banyak vaksin, sementara negara miskin tidak mampu membeli vaksin. Dampaknya pandemi tidak dapat secara cepat terselesaikan dan jutaan nyawa telah melayang. Sedangkan para kapitalis yang menguasai industri kesehatan meraup keuntungan besar di tengah penderitaan manusia.

Apabila pembiayaan kesehatan bagi negara miskin dianggap sebagai solusi, maka dana itu pasti akan mengalir kepada para kapitalis. Akibatnya pembiayaan itu membuat negara miskin semakin terpuruk di bawah kekuasaan para kapitalis.

Komunitas masyarakat G20 mengkritik hal itu, bahwa pihak yang menjadi penyumbang dana pandemi adalah yayasan swasta. Kalau, pihak-pihak swasta itu akan mengusung kepentingannya sendiri dalam partisipasinya di pandemic fund (Suara Bali,13/11/2022).

Kesehatan adalah bidang yang memerlukan dana besar, maka dari itu ketika kesehatan dibebankan kepada individu, maka yang terjadi adalah pemanfaatan oleh pihak yang kuat terhadap yang lemah. Para kapitalis dengan penguasa oligarki menjerat rakyat agar mau tidak mau harus tunduk terhadap sistem liberal yang menyengsarakan.

Lalu muncul pepatah "Orang miskin dilarang sakit", pada posisi global menjadi "Negara miskin dilarang sakit". Layanan kesehatan menjadi suatu yang sangat berharga, sehingga harus dibayar mahal. Bagi negara miskin, untuk memenuhi kebutuhan perut saja sudah sulit, maka kapitalisasi kesehatan ini akan semakin mencekik leher mereka.

Allah SWT Sang Maha Pengatur telah menetapkan bahwa kesehatan sebagai kebutuhan dasar masyarakat secara umum yang wajib dijamin oleh negara.
Rasulullah saw. bersabda,

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ آمِنًا فِي سِرْبِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

“Barang siapa di antara kamu masuk pada waktu pagi dalam keadaan sehat badannya, aman keluarganya, dia memiliki makanan pokoknya pada hari itu, maka seolah-olah seluruh dunia dikumpulkan untuknya.” (HR Ibnu Majah)

Pemenuhan kebutuhan rakyat merupakan tanggung jawab dari pemimpin negara termasuk kebutuhan kesehatan. Rasulullah saw. bersabda, "Seorang pemimpin umat manusia adalah pemimpin bagi mereka dan ia bertanggung jawab dengan kepemimpinannya atas mereka." (HR Abu Dawud)

Dengan demikian, cara pandang Islam dalam pemenuhan kesehatan adalah sebagai sebuah jaminan. Dalam sistem Islam, setiap individu rakyat berhak mendapat layanan kesehatan tanpa memandang latar belakang. Kaya ataupun miskin memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari negara.

Luar biasanya, layanan kesehatan itu bisa didapatkan oleh rakyat dengan gratis tanpa ada biaya sedikitpun. Negara mendistribusikan dana yang besar dari Baitul Mal untuk membiayai semua kebutuhan kesehatan seperti rumah sakit, alat kesehatan, farmasi, laboratorium, dokter, perawat, penelitian, pendidikan dan semua hal yang dibutuhkan dalam sektor kesehatan. Mencakup di dalamnya pengadaan vaksin dan obat-obatan.

Layanan kesehatan memiliki sumber dana dari pos kepemilikan umum, seperti tambang dan sebagainya, sementara negara memiliki pemasukan dari pos fa'i, kharaj dan wakaf. Oleh karena itu, jika rakyat akan berobat, tidak perlu membayar sama sekali, bahkan untuk tindakan yang sangat sulit sekalipun seperti operasi. Semuanya gratis. Rakyat tidak perlu ikut asuransi seperti BPJS Kesehatan misalnya, karena dalam Islam, asuransi hukumnya haram.

Selain gratis, kualitas pelayanan kesehatan dalam Islam dirancang agar menjadi yang terbaik di dunia. Negara yakni Khilafah akan membiayai secara penuh dalam berbagai Penelitian yang dilakukan, untuk penyakit-penyakit yang baru muncul, agar ditemukan obatnya termasuk dalam penelitian untuk produksi vaksin. Hal itu akan didanai secara penuh oleh negara dan tidak diserahkan kepada swasta.

Sistem kesehatan Islam yang sempurna ini, tidak akan membiarkan bagi korporasi untuk menguasai sektor kesehatan. Dengan demikian layanan kesehatan yang terbaik akan dinikmati oleh setiap individu.

Pada situasi pandemi yang melanda dunia, Khilafah akan memimpin negara-negara di dunia untuk mengatasinya. Khilafah akan melakukan penelitian untuk menemukan vaksin dan obat, kemudian akan memproduksi serta mendistribusikannya untuk seluruh umat manusia.

Khilafah juga akan menyokong bantuan dana bagi negara lain yang ekonominya terdampak wabah. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Khalifah Abdul Majid 1 ketika masa paceklik melanda Irlandia beliau memberikan bantuan dana hibah ribuan pound serta 5 kapal yang penuh dengan logistik makanan.

Sikap Khilafah ini sangatlah mulia, jauh berbeda dengan negara adidaya saat ini (AS dan Eropa) yang berteriak menyelesaikan pandemi, namun akhirnya mengajak negara lain untuk ikut investasi, termasuk Indonesia. Sementara administrator pandemic fund ternyata adalah Bank Dunia yakni lembaga internasional di bawah kekuasaan Amerika. Tentu saja tidak ada namanya makan siang gratis. Dibalik pandemic fund pasti ada tujuan terselubung dari negara besar ini. 

Wallahualam bissawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post