PPN NAIK, BUKTI NEGARA SEBAGAI PEMALAK


Oleh : Ummu Naysila

Belum reda gerutu emak-emak akibat kenaikan minyak goreng, pemerintah kembali menabur kado pahitnya, yaitu harga Pertamax naik menjadi Rp12.500,- diikuti kelangkaan solar jelang kenaikan Pertamax. Beberapa SPBU ada yang masih kehabisan solar dan pertalite. Tak sampai di situ, pemerintah resmi menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen mulai 1 April 2022. Hal ini merupakan amanat pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Kenaikan yang beruntun tersebut mendapatkan komentar miring warganet, sebagai contohnya tagar #TigaPeriodeNdasmu sempat ramai di Twitter 1 April 2022 kemarin. Bagaimana rakyat tidak protes, seolah pemerintah bertubi-tubi membuat kebijakan yang tidak memihak rakyat. 

Tanggapan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan yang mengatakan, tak cuma Pertamax, tapi juga harga Pertalite yang bakal naik semakin membuat kesal yang mendengarnya. 

"Overall (secara keseluruhan) yang akan terjadi nanti, Pertamax, Pertalite (naik), Premium belum. Ya, semua akan naik, nggak akan nggak ada yang naik" itu ungkapnya ketika meninjau Depo LRT Jabodebek di Jatimulya, Bekasi Timur, Jumat (1/4) dikutip dari CNN Indonesia.
PPN naik menjadi 11% dari sebelumnya 10%. Namun di saat yang sama pajak penghasilan (PPh) badan/perusahaan diturunkan dari 25% menjadi 22%.

Mungkin sudah menjadi ciri khas sistem demokrasi yang menjalankan roda ekonomi negara dengan ditopang oleh utang dan pajak. Saat negara tidak mampu lagi menambah utang, di saat itu pula mengambil kebijakan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Katanya demi menciptakan rezim pajak yang adil dan kuat.

Kalimat manis diutarakan Menkeu Sri Mulyani, “Memangnya kita butuh pajak yang kuat untuk nyusahin rakyat? Enggak, karena pajak itu untuk membangun rakyat juga, mulai bangun sekolah, rumah sakit, infrastruktur, bahkan listrik, LPG, itu semuanya ada elemen subsidinya”. Hal tersebut disampaikan saat Economy Outlook 2022 CNBC Indonesia (Gelora,22/3/2022).

Katanya menaikkan tarif PPN tidak bisa ditunda lagi. Begitu kebijakan pemerintah untuk menyelamatkan keuangan negara yang kian mengkhawatirkan. PPN naik dari 10% menjadi 11 %. Kebijakan ini berdasarkan UU Harmonisasi Peraturan Pajak (UU HPP) yang akan berlaku mulai dari 01/04/2022. Pertanyaannya pemerintah sedang menyelamatkan keuangan negara yang mana? 

Katanya, menaikkan PPN ditempuh untuk menyehatkan ekonomi negara, tetapi malah menambah beban rakyat. Hal ini tentu sangat menyayat hati. Apalagi diketahui berbagai pihak memiliki kepentingan dan rasionalitas masing-masing di balik kenaikkan PPN. Sayangnya, antara kepentingan pemerintah dan rakyat sering kontradiktif.

Padahal pendapatan masyarakat Indonesia belum cukup tinggi sampai dibandingkan dengan negara macam Amerika Serikat (AS) atau negara-negara maju lainnya di G20. Bahkan dibandingkan dengan Malaysia saja masih tertinggal.

Bounded Rationality di Balik PPN
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Taz Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengungkapkan, menaikkan tarif PPN memunculkan situasi dilematis. Pasalnya, jika tarif PPN naik, beban pajak bagi masyarakat akan bertambah meski penerimaan negara dapat meningkat. Jika tarif PPN tetap, beban bagi rakyat tetap, sedangkan kondisi keuangan negara dapat makin mengkhawatirkan karena utang terus bertambah (kontan.co.id, 21/5/2021).

Ditambah lagi, kenaikan tarif PPN akan menurunkan omzet penjualan. Meski begitu, pemerintah membutuhkan pajak selain utang sebagai alternatif sumber pembiayaan negara maka menaikkan tarif PPN untuk meningkatkan penerimaan negara memang hal yang logis.

Tentu jawabannya adalah kepentingan pemerintah dan kelompok tertentu. Seperti makan buah simalakama, tarif PPN naik maka rakyat jadi korban. Kalau tidak naik, keuangan negara yang tidak bisa diselamatkan. Kondisi tarik ulur kepentingan selalu terjadi dalam sistem demokrasi. 

Pejabat negara sering menyampaikan bahwa kepentingan rakyat di atas segalanya, tapi buktinya apa? Itu semua hanya sekadar janji, tidak perlu dimasukkan ke dalam hati.
Inilah bukti nyata, sistem demokrasi yang katanya pro rakyat sudah tidak memihak rakyat lagi. Banyak kebijakan yang semakin hari semakin kapitalistik. Ironis memang, negeri yang kaya akan sumber daya alam, tetapi rakyatnya kesusahan bukan kepalang.

Pajak dan Liberalisasi Migas

Pajak menjadi sumber pendapatan utama dalam sistem ekonomi kapitalisme. Ini adalah ciri khas kapitalisme. Selain pajak sumber pendapatan negara dengan menerapkan sistem ekonomi kapitalisme dengan cara utang ribawi. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena sumber daya alam yang seharusnya menjadi pemasok sumber pendapatan negara telah diliberalisasi dan dikapitalisasi. 

Sehingga, sumber daya alam yang seharusnya dikelola untuk kepentingan umat diserahkan kepada kapitalis. Wajar jika pengelolaan orientasi bukan untuk kesejahteraan rakyat tetapi untuk rugi, karena kapitalis yang mengendalikan. Maka sebuah keniscayaan jika negara membutuhkan dana, jalan yang ditempuh adalah dengan mencari pinjaman dana, tetapi jika utang sudah semakin banyak, jalan terakhir adalah menaikkan pajak.

Terus meningkatnya harga BBM tidak terlepas dari buruknya tata kelola dan politik energi rezim neolib yang ditopang oleh sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini telah memposisikan negara hanya sebagai regulator semata, negara bukan penanggung jawab urusan rakyat. Bahkan urusan rakyat banyak yang dibiarkan terjun bebas di mekanisme pasar. Akibatnya, semua hajat hidup publik termasuk BBM dikelola dalam kacamata bisnis dengan menyerahkan pada mekanisme pasar sebagaimana dikukuhkan dalam Undang-Undang Migas Nomor 22 tahun 2001 pasal 2 di antaranya menyatakan menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan.

Sistem demokrasi kapitalisme yang semena-mena dan 'sepihak' dalam membuat kebijakan adalah akar permasalahannya. Kebijakan yang tercipta dalam demokrasi tidak akan murni berpihak kepada rakyat. Di baliknya pasti ada tendensi penguasa dan pengusaha. Subyektivitas dalam demokrasi tidak akan bisa dihindari.

Tercekiknya rakyat oleh tarikan pajak tidak akan terjadi jika yang diterapkan adalah sistem ekonomi Islam dalam sebuah negara berlandaskan aturan Islam yang kaffah (menyeluruh). Islam memiliki mekanisme yang adil dan tidak memberatkan dalam penarikan pajak. Pajak dikenakan hanya pada saat-saat tertentu, ketika negara dalam keadaan terdesak. Ketika anggaran sudah berkecukupan, tentu tidak perlu lagi memungut pajak dari rakyat. Sebaliknya, rakyatlah yang malah diberi dana. Orang-orang yang dikenakan wajib pajak pun hanya orang yang mampu saja, tidak dipukul rata.

Islam menekankan, pemungutan pajak harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip keadilan. Artinya, pajak dipungut tanpa menindas rakyat yang kurang mampu dan dengan besaran yang wajar. Berbeda dengan sistem demokrasi kapitalisme di mana sering kali pengusaha besar justru mendapat keringanan pajak. 

Islam adalah sebuah ideologi yang memuat solusi berbagai persoalan. Andai aturan Islam SWT diterapkan secara total dan menyeluruh, pastilah kesejahteraan bangsa dan negara mampu tercapai. Dan yang lebih utama, penerapan sistem Islam yang aturannya berasal dari Allah, tentu akan diridhai oleh-Nya. Keridhaan Allah SWT sebagai pencipta dan pemilik jagad raya niscaya akan mendatangkan segala rahmat bagi alam semesta ini.

Sistem liberal juga telah melahirkan penguasa nirempati. Menghilangkan fungsinya sebagai penjaga dan pelayan rakyat. Umat Islam harus menyadari bahwa kenaikan harga BBM merupakan tindakan mungkar. Karena melanggar petunjuk dan aturan Allah SWT. Muslim wajib berusaha menghilangkan kemungkaran ini sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki.

Rasul SAW bersabda, "Siapa yang melihat kemungkaran di antara kalian, hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Apabila tidak mampu, maka hendaklah ia mengubah dengan lisannya. Jika tidak mampu, hendaklah mengubah dengan hatinya. Itu adalah selemah-lemah iman." 
(HR Muslim).

Kebijakan liberalisasi migas telah memberi jalan bagi pihak Asing untuk campur tangan bahkan menguasai serta turut menentukan nasib negeri ini yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Hal tersebut jelas keharaman, karena Allah SWT berfirman,

وَلَن يَجْعَلَ ٱللَّهُ لِلْكَٰفِرِينَ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa: 141)

Dalam Pandangan Islam

Dalam Islam sumber pendapatan negara diperoleh dari Baitulmal, bukan dari pajak. Ada jiziah, tetapi itu hanya dipungut kepada kafir dhimmy.
Sebagai ajaran yang sempurna yang berasal dari Allah SWT. Islam telah mengatur bagaimana tata kelola sumber daya alam yang menjadi hajat hidup publik seperti minyak bumi. 

Bahan bakar minyak dalam pandangan Islam merupakan harta milik umum sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Kaum Muslimin bersekutu dalam tiga perkara, yakni air, rumput dan api."
(H.R. Abu Daud)

Pengelolaannya, wajib dilakukan secara langsung oleh khalifah sebagai kepala negara yang berfungsi sebagai pelindung dan pelayan masyarakat. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Imam atau khalifah itu perisai dimana orang-orang berlindung di belakangnya." (H.R. Al Bukhari, Muslim, Ahmad dan Abu Daud)

Oleh karena itu, dengan alasan apa pun pemerintah semestinya tidak boleh menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta apalagi Asing. Sehingga dapat dipastikan harga bahan bakar murah bahkan gratis dan mudah diakses oleh seluruh rakyat. Mengingat BBM yang merupakan harta milik umum tidak bisa dimanfaatkan langsung oleh rakyat karena harus dieksploitasi dan dieksplorasi dahulu hingga bisa dimanfaatkan. Tentu saja semua ini membutuhkan investasi dan biaya yang besar. Karena itu, negaralah yang harus mengambil alih tanggung jawab tersebut.

Terdapat tiga opsi dalam mengalokasikan hasil dari pengelolaan BBM tersebut selain untuk membiayai biaya produksi termasuk infrastruktur yang dibutuhkan. Pertama, bisa didistribusikan langsung kepada rakyat secara gratis. Kedua, khilafah bisa juga menjual BBM tersebut kepada rakyat dengan harga semurah murahnya atau mengikuti harga pasar. Ketiga, negara khilafah bisa juga membagikan hasil keuntungan harta milik umum ini kepada mereka tidak dalam bentuk materinya, tetapi dalam bentuk uang semua. Kebijakan tersebut ditetapkan dan diambil dalam rangka mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bagi seluruh rakyat negara khilafah.

Post a Comment

Previous Post Next Post