Utang Negara Terus Membengkak, Dimana Kesejahteraan Rakyat?


Oleh: Mustika Lestari
(Pegiat Literasi)

Utang Luar Negeri (ULN) terus menjadi persoalan di negeri ini yang tak kunjung terselesaikan sejak dahulu. Bahkan, semakin lama jeratan utang semakin mencekik. Bank Indonesia mencatat ULN Indonesia hingga akhir kuartal ketiga tahun 2021 mencapai US$ 423,1 miliar atau setara Rp.6.008 triliun, naik 3,7% secara tahunan (year on year/yoy) dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan ULN ini didorong oleh utang luar negeri pemerintah yang bertambah seiring penerbitan global bonds, termasuk Sustainable Development Goals (SDG) Bond sebesar 500 juta euro.

Berdasarkan data BI, utang luar negeri pemerintah per akhir kuartal III mencapai US$ 205,5 miliar, tumbuh 4,1% secara tahunan yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan kuartal II sebesar 4,3%. Sementara utang swasta hanya tumbuh 0,2% secara tahunan, setelah periode sebelumnya mengalami kontraksi 0,3%. (http://katadata.co.id, 15/11/2021).

Bisa dikatakan, jumlah utang luar negeri Indonesia terus mekar dari tahun ke tahun sebagai pilihan utama pemerintah dalam mengatasi defisit APBN. Namun faktanya keberadaan utang juga tidak menunjukkan hasil yang maksimal dalam memperbaiki sedikit saja kondisi rakyat. Alih-alih menghidupkan ekonomi, berbagai kesemrawutan justru menyapa silih berganti, defisit kian melar, kemiskinan merajalela, utang Indonesia meroket, bunganya pun turut menanjak. Meski demikian, pemerintah seolah tidak pernah jera menggulung utang lagi dan lagi dalam setiap kesempatan dengan beragam dalih.

Mestinya pemerintah mencari jalan terbaik untuk keluar dari situasi ini. Mengingat, penyelesaikan yang digunakan selama ini ‘gali lubang tutup lubang’ atau mengutang untuk membayar utang beserta bunganya, hanya membuat utang terus menggungng dan mustahil melunasinya. Sementara rakyat semakin berjibaku dalam kesengsaraan. 

Entah apa yang ada di benak pemerintah seolah tidak ada rasa bersalah dengan utang yang di tariknya. Mereka selalu mengungkitnya dalam rangka menyelamatkan rakyat, demi kepentingan rakyat, untuk penanganan pandemi, pembangunan infrastruktur jalan tol, subsidi listrik, bantuan pangan, pendidikan, kesehatan dan semacamnya. Sayangnya, tetap saja hasilnya tak terlihat. Realita yang ada, tidak semua rakyat menikmati kemajuan pembangunan yang dibangga-banggakan tersebut dengan segala bentuk eksplorasi di negeri ini. Rakyat tidak menikmati tanah dan kekayaan negerinya sendiri. Lantas timbul tanya, untuk siapa negeri ini keliling dunia mencari utang?

Sejatinya kini negara diambang kebangkrutan. Ini sebagaimana ungkapan Pengamat Ekonomi Syariah Dr. Arim Nasim, S.E., M.Si., Ak. C.A. dalam Insight ke-102 PKAD: “Ultimatum Remidium UU HPP, Politik Ekonomi Pengusaha dan Oligarkikah” (17/11) pada akun YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data. Menurutnya, negara akan bangkrut karena banyaknya utang yang ditanggung dan pendapatan nonpajak dari pengelolaan SDA yang kecil. (tintasiyasi.com, 23/11/2021)

Inilah wajah utang yang sesungguhnya, semakin meningkat jumlahnya akan semakin membebani rakyat dan negara dalam jangka panjang, sekaligus menurunkan indenpendensi negara dalam mengatur kekuasaannya. Sebab tak ada pilihan lain kecuali mengutang untuk bertahan hidup. Sebagai balasannya negara yang berutang harus tunduk dan patuh pada kehendak pemberi utang. Sebut saja kekayaan SDA yang dimiliki negeri ini, baik secara terpaksa maupun sukarela harus diberikan kepada asing untuk mengelolanya sebagai mahar utang tersebut. Pada akhirnya, sekadar untuk memenuhi kebutuhan perut saja masih kesulitan di tengah potensi kekayaan negara yang berlimpah. Jelas hal ini karena kita dijajah melalui pinjaman-pinjaman luar negeri yang memiliki bunga tinggi. 

Andai saja kekayaan ini dikelola oleh negara, hasilnya dapat membiayai APBN tanpa harus mengutang. Namun sayang, sistem pemerintahan kapitalis-sekularisme memang gampang dalam membuat kebijakan yang dianggap menguntungkan. Tapi tunggu dulu, keuntungan tersebut bukan untuk rakyat melainkan penguasa dan para kapital sebagai partnernya. 

Sistem ini menjadikan negara menumpuk utang untuk dibebankan kepada rakyat. Rakyat hanya menjadi korban kebobrokannya tanpa pernah merasakan kesejahteraan meski hanya sesaat. Kebijakan yang orientasi pada untung rugi hanya mengutamakan kepentingan para pemilik modal, termasuk dalam memperdagangkan hajat hidup rakyat. Alhasil, sistem ini tidak melahirkan pemimpin sebagai pelayan rakyatnya, melainkan pelayan bagi kapital dan dzalim terhadap rakyat. 

Berbeda halnya dengan Islam yang memiliki seperangkat aturan sempurna memberikan solusi terbaik bagi persoalan yang melanda umat ini, termasuk perekonomian negara. Sebagaimana yang telah terjadi pada kepemimpinan Islam di masa lalu, Islam memiliki sistem APBN yang sangat berbeda dengan hari ini. Pendapatan dan pengeluaran anggaran telah ditetapkan oleh syara’ dengan besaran nilai yang telah ditentukan langsung oleh pemimpin Islam dari ijtihad yang diadopsinya secara terperinci, sehingga tidak rawan mengalami defisit di luar perkiraan. Penyokong APBN negara bersumber dari kas negara yang berasal dari harta kepemilikan umum yang dikelola langsung oleh negara. Selain itu juga dari sumber ekonomi syariah lainnya seperti kharaj,ghanimah dan lainnya sehingga kas negara mumpuni untuk membiayai seluruh belanja negara.

Apabila akhirnya negara mengalami defisit anggaran, Islam membolehkan mengambil utang dengan syarat tidak ada riba di dalamnya. Apabila kemudian diambil utang berbasis riba, maka keharamannya mutlak dalam Islam. Allah Subhanahu wa ta’ala memberi peringatan di dalam firman-Nya: “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya,” (Q.s. Al-Baqarah: 279).

Berdasarkan hal ini, dalam kondisi apapun maka pemimpin dalam Islam akan menjalankan kekuasaannya sesuai dengan perintah syara, salah satunya tidak mengambil riba dalam perekonomian. Adapaun jika mengacu pada potensi kekayaan negara yang ada, maka negara akan mengelolanya secara optimal dan hasilnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat secara menyeluruh, adil dan merata. Bukan hanya pendanaan kebutuhan pokok rakyat, bahkan  infrastruktur sekalipun dengan mandiri.

Satu hal yang pasti, pemimpin seperti ini tidak akan pernah ada dalam negara yang menerapkan sistem kapitalis-sekularisme, melainkan sistem yang menerapkan syariat Islam dengan menyeluruh. Dengan keimanannya akan mengantarkan pada kesejahteraan hidup bagi seluruh umat manusia. Sungguh, hanya Islamlah satu-satunya solusi kehidupan, jika diterapkan secara sempurna di bawah naungan institusi negara. Wallahu a’lam bish shawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post