PPPK, Solutifkah atau Masalah ?


Oleh Rahmawati Ayu K. S.Pd
Pendidik dan Pemerhati Sosial


DPR dan pemerintah sepakat akan menghapus tenaga honorer di lingkungan instansi pemerintah. Salah satu tenaga honorer yang selama ini menjadi sorotan adalah guru honorer.

Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi mengatakan jika tenaga honorer dihapus, maka kegiatan belajar dan mengajar di sekolah akan berhenti. Sebab masih banyak sekolah yang bergantung pada guru honorer. (Kumparan, 22/1/2020)

Rupanya perjuangan para pahlawan tanpa tanda jasa khususnya para guru honorer belum berakhir. Setelah banting tulang mengajar dengan gaji minim dan seringkali tertunda pembayarannya berbulan-bulan, kini nasib mereka seolah di ujung tanduk. Pemerintah berniat menghapus status guru honorer.

Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bersama Kementerian PAN-RB dan BKN sepakat untuk menghapus tenaga honorer, pegawai tetap, pegawai tidak tetap, dan lainnya dari organisasi kepegawaian pemerintah. Nantinya, pegawai di instansi pemerintah hanya akan berstatus ASN dan PPPK. Artinya, semua guru honorer harus mengikuti tes seleksi untuk menjadi ASN atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). (Detik.com)

Lalu bagaimana nasib mereka yang tidak lolos seleksi ASN dan PPPK? Hal inilah yang menjadi keresahan di kalangan guru honorer. Jumlah guru honorer yang begitu banyak, sementara kuota untuk ASN dan PPPK selama ini sangat terbatas.

Kenyataannya, jumlah guru honorer yang cukup besar ini sudah sangat membantu bagi kebutuhan guru di negeri ini. Hal ini sebagaimana diungkap oleh Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi, “Honorer itu sangat membantu, sangat. Kalau mau jujur, ambil data Dikbud, 48 persen guru negeri, itu tahun lalu. Dengan posisi pensiunan 50.000 sampai 70.000 setahun bisa dibayangkan. Belum lagi banyak guru untuk jabatan tertentu di daerah. Itu makin mengurangi. Harus ada solusi,“ pungkas Unifah (Kumparan, 22/1/2020).

Pemerintah seharusnya sangat mengerti keberadaan guru honorer yang jumlahnya cukup besar dan merata di seluruh wilayah Indonesia ini, menunjukkan kekurangan tenaga pendidik yang berstatus ASN. Padahal yang namanya pendidikan sangat ditentukan oleh tenaga pengajarnya, baik jumlah maupun kualitasnya. Namun, dari tahun ke tahun, jumlah guru honorer selalu meningkat, kisah penderitaannya pun tidak pernah sepi dalam pemberitaan media.

Paradigma sistem pendidikan di negeri ini patut dipertanyakan. Apakah pendidikan menjadi hal yang dianggap penting dan krusial? Jika ya, mengapa justru faktor penunjang pendidikan, yaitu ketersediaan tenaga didik yang andal selalu menjadi masalah yang berkepanjangan?

Masalah Baru
Karut marut soal nasib guru honorer ini memang sudah terjadi sejak lama. Namun, negara nampak telah gagal memberi solusi tuntas atas persoalan minimnya kesejahteraan yang sejatinya memang menjadi hak setiap rakyat sekaligus menjadi tugas negara untuk memenuhinya.  Khususnya bagi para guru honorer yang sebagaimana guru berstatus PNS lainnya, memiliki tugas yang sangat strategis dalam menyiapkan generasi berkualitas di masa depan.

Kita tahu, guru –apapun status kepegawaiannya– adalah orang yang telah berjasa mengenalkan generasi pada dunia tulis baca dan ilmu-ilmu lainnya. Dengan kemampuan inilah mereka bisa membuka lebih luas jendela pengetahuan yang dibutuhkan untuk bekal mengarungi kehidupan. 

Guru pulalah –apapun statusnya–yang berjasa menanamkan nilai-nilai kebaikan sehingga bangsa ini mampu tampil sebagai masyarakat berperadaban.

Per Juni 2018, tercatat jumlah guru secara nasional ada sekitar 3,017 juta orang. Jumlah tersebut setengahnya meliputi guru dengan status PNS dan setengahnya lagi dengan status honorer, baik di sekolah negeri maupun swasta (Detik.com). 

Dan sebagaimana diketahui, guru dengan status PNS kondisinya jauh lebih sejahtera dibandingkan dengan para guru berstatus honorer. Padahal mereka adalah sama-sama guru.

Negara mengklaim, bahwa sudah banyak ikhtiar dilakukan untuk mengatasi problem ini. Bahkan mereka menyatakan secara de jure, persoalan mengenai tenaga honorer sebenarnya sudah selesai karena menurut PP 56 Tahun 2012, pemerintah telah memberikan kesempatan terakhir kepada Tenaga Honorer Katagori 2 (termasuk guru di dalamnya) untuk mengikuti seleksi pada tahun 2013. Lalu bagi eks THK2 yang tidak memenuhi persyaratan dalam seleksi CPNS 2018 dapat mengikuti seleksi sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) alias tenaga kontrak setelah pemerintah menetapkan peraturan untuk PPPK. Dan yang tidak lolos seleksi CPNS dan PPPK maka dilakukan pendekatan kesejahteraan (melalui UMR) oleh pemda dengan wacana penambahan transfer keuangan dari pusat untuk dana alokasi umum di daerah, salah satunya untuk peningkatan kesejahteraan para guru honorer.

Faktanya, semua solusi di atas hanya hebat di atas kertas. Persyaratan yang ketat dan menyulitkan (misal syarat usia) serta kuota yang sangat terbatas untuk menjadi PNS dan tenaga PPPK membuat jumlah yang terserap sangat sedikit.

Begitupun pelibatan Pemda dalam menyelesaikan soal guru honorer melalui pendekatan kesejahteraan tak mudah untuk diwujudkan. Mengingat selama ini banyak Pemda yang masih kesulitan menanggung beban pendanaan dalam pelaksanaan berbagai tupoksinya, termasuk pemberian layanan publik dengan layanan yang optimal.

Alhasil, perbedaan perlakuan negara yang kerap berujung kekisruhan ini sejatinya menunjukkan bagaimana lemahnya visi negara terhadap pendidikan dan terhadap profil generasi masa depan yang ingin diwujudkan. Negara saat ini nampak tak sungguh-sungguh menganggap bahwa pendidikan adalah investasi masa depan generasi. Negara pun nampak tak sungguh-sungguh menempatkan pendidikan sebagai salah satu pilar peradaban yang seharusnya mendapat prioritas untuk di-ri’ayah/diurus demi kemaslahatan masyarakat dan negara yang lebih besar.

Sehingga wajarlah jika level keseriusan untuk menyelesaikan semua karut marut dunia pendidikan, termasuk soal nasib para guru honorer yang perannya sangat dibutuhkan bahkan menjadi salah satu pilar penting penyelenggaraan pendidikan ini nampaknya masih sangat rendah. Kalah oleh target-target politik dan target pembangunan sektor lain yang secara pragmatis memang lebih bisa menguatkan citra demi melanggengkan kekuasaan.

Bahwa ada argumentasi yang dimunculkan soal ketidaksiapan pendanaan negara dalam menyelesaikan kasus ini, maka hal itu justru makin menunjukkan bahwa negara sesungguhnya telah gagal mengurusi urusan umat dengan segala potensi yang dimilikinya.

Bagaimana bisa, negara sekaya raya Indonesia tak mampu menyejahterakan rakyat termasuk para guru seluruhnya? Ke mana semua kekayaan alam yang dimiliki umat, berupa hasil-hasil tambang berupa emas dan lainnya, minyak bumi, gas, hasil hutan, laut, dan sebagainya? Mengapa kesejahteraan dan kehidupan penuh berkah demikian sulit diwujudkan oleh sistem sekuler dan negara bangsa sebesar Indonesia?

Tinggalkan pengaturan sekuler, kembali pada hukum Islam
Bangsa ini perlu merenungkan firman Allah Swt. Surat ar-Rum ayat 41:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Kerusakan di darat bisa diartikan ruwetnya pengaturan rakyat akibat tidak memakai hukum-hukum Allah. Namun akibat memakai hukum buatan manusia dengan sistem kapitalis sekuler yang berasaskan materi. Yakni manusia berhak mengatur segala urusan kehidupan dengan pendapatnya sendiri. 

Akhirnya bukannya menyelesaikan masalah, namun justru malah menambah masalah.
Bagaimana semestinya jika memakai hukum Allah? Apakah Islam mengatur permasalahan tentang pendidikan?  Islam adalah agama sempurna. Allah menurunkan hukum-hukumnya secara lengkap untuk menyelesaikan segala persoalan kehidupan, baik masalah individu, masyarakat, maupun Negara.

Secara konsep, Islam menempatkan ilmu, orang yang berilmu dan mempelajari ilmu ada dalam posisi yang mulia. Menuntutnya, dihukumi wajib. Bahkan majelis-majelis ilmu diibaratkan sebagai taman-taman surga. Dan para penuntutnya diberi jaminan doa terbaik dari para malaikat dan seluruh makhluk yang ada di muka bumi. Inilah yang memengaruhi visi negara Islam (khilafah) dalam berbagai kebijakan pendidikan. Khilafah memberikan perhatian maksimal dalam mewujudkan sistem pendidikan terbaik bagi rakyat dan semua yang terlibat dalam mewujudkannya, termasuk para guru.

Dalam sistem khilafah, tak pernah terdengar kasus-kasus kekisruhan akibat diskriminasi dalam penyelenggaraan pendidikan termasuk soal jaminan kesejahteraan para guru. Yang ada bahkan kisah-kisah hebat menyangkut perhatian besar penguasa dan berbagai kemudahan yang disediakan negara terhadap layanan pendidikan bagi umat dan para pelaksananya.
Pendidikan gratis, santunan bagi pelajar, lembaga-lembaga pendidikan berkelas dan mudah diakses, gaji guru yang fantastis, dan lain-lain adalah perkara-perkara yang lumrah ditemui sepanjang sejarah peradaban Islam. Hingga dunia pendidikan yang diatur oleh khilafah berhasil menghantarkan umat Islam sebagai umat terbaik bahkan menjadi mercusuar peradaban dunia di era kegelapan.

Saat itu, tak ada diskriminasi perlakuan kepada setiap yang berjasa dalam pendidikan. Kiprah para guru bahkan diapresiasi sedemikian besar oleh negara. Tercatat, di masa kekhalifahan Umar Bin Khatthab, seorang guru setingkat TK saja diberi gaji 15 dinar emas per bulan (1 dinar=4,25 gr emas). Para guru atau ulama yang berhasil menyusun kitab ajaran, diapresiasi dengan emas seberat buku yang diterbitkan.

Di luar itu, mereka tak dipusingkan dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk mengakses berbagai layanan publik semisal kesehatan dan biaya hidup yang serba mahal sebagaimana kehidupan kita sekarang. Karena pilar sistem politik ekonomi islam dan sistem keuangan yang diterapkan negara sedemikian kokoh dan menjamin kesejahteraan orang per orang.

Negara Khilafah benar-benar akan melaksanakan kewajiban syar’i-nya sebagai pengurus umat, termasuk melaksanakan perintah Allah untuk mengelola kekayaan milik umat (termasuk sumber daya alam yang luar biasa itu) semata-mata demi kesejahteraan umat. Negara Khilafah tak akan membiarkan perampokan kekayaan alam milik umat bahkan menyerahkannya kepada pihak asing, karena hal itu merupakan kejahatan dan pengkhianatan terhadap amanah kepemimpinan yang umat berikan atas nama Allah Swt.

Sistem keuangan Islam, juga menetapkan berbagai sumber pendapatan negara yang tak mungkin terealisasi oleh sistem negara bangsa penganut kapitalisme neolib seperti sekarang. Misalnya, pos fay’i, ghanimah, kharaj dan lain-lain yang lekat dengan hukum-hukum tentang jihad, hukum tentang kesatuan wilayah negara dan lain-lain.
Sehingga sistem khilafah akan mampu menyatukan semua potensi yang dimiliki umat Islam di berbagai wilayah hingga negara Khilafah memiliki kapabilitas untuk menyejahterakan umat termasuk para guru hingga taraf yang tidak pernah bisa diwujudkan oleh sistem manapun.

Sementara sistem negara bangsa justru membatasi sumber-sumber keuangan negara hanya pada apa yang ada di wilayah negaranya, misalnya dari pajak yang ditarik dari rakyatnya. Bahkan menjadi jalan penguasaan aset umat oleh segelintir kapitalis termasuk penjajahan oleh asing.

Konsep ekonomi Islam dan politik negara kesatuan inilah yang dianggap akan membahayakan eksistensi kapitalisme global dan para pengusung yang diuntungkan oleh keberadaannya. Hingga mereka terus berusaha menjauhkan umat dari upaya mengembalikan sistem ini dalam kehidupan mereka. Salah satunya dengan jalan memonsterisasi sosok negara Khilafah dan terus mempertahankan sistem sekuler kapitalis neolib yang sudah terbukti rusak dan merusak.

Wallahu a'lam bishshawab[]

Post a Comment

Previous Post Next Post