Gaji Dewan Fantastis, Sungguh Miris



Oleh Nur Fitriyah Asri
Penulis Opini Bela Islam Akademi Menulis Kreatif


Banyaknya gelombang unjuk rasa pada lembaga wakil rakyat, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), merupakan salah satu indikasi ketidakpuasan atas kinerja DPR. Merasa aspirasinya diabaikan, apalagi diperjuangkan. Wajar, jika terjadi polemik begitu mengetahui gaji dewan yang sebenarnya, fantastis dan bikin miris.

Video viral Krisdayanti (KD) yang diunggah oleh akun Youtube milik Akbar Uncensored membuat heboh publik. Pengakuan blak-blakan (KD) yang mengungkap perihal gaji, tunjangan, dan dana lainnya. Membuat siapa pun yang melihat dan mendengar pasti tercengang dan terperanjat. Bahkan membuat rakyat menangis pilu merasa ditipu. Betapa tidak?

Mengacu pada surat Menteri Keuangan Nomor S-529/MK,02/2015 gaji anggota DPR RI sebesar Rp66.141 813. Gaji sebesar itu belum termasuk tunjangan komunikasi intensif yang mencapai 5-15 juta per bulan. Tidak hanya itu, mantan anggota DPR mendapat pensiun sebesar Rp3,2-3,8 juta per bulan hingga meninggal dunia. Jika memiliki istri maka akan dilanjutkan ke istrinya.

Sementara, Krisdayanti mengakui bahwa gaji sebagai wakil rakyat, yang rutin diterima setiap bulannya yaitu gaji pokok sebesar Rp16 juta dan tunjangan Rp59 juta. Selain itu juga mendapat dana aspirasi sebesar Rp450 juta, 5 kali dalam setahun. Dana reses sebesar Rp140 juta, 8 kali dalam setahun. Untuk dana reses tidak masuk ke kantong pribadi, tetapi untuk kegiatan menyerap aspirasi rakyat di daerah pemilihan masing-masing. (kompas.com, 16/9/2021)

Miris, di saat kehidupan rakyat sulit, berjuang untuk bertahan hidup agar tidak mati. Di sisi lain, orang yang dipercaya untuk mewakili dan memperjuangkan aspirasi rakyat, agar hidup sejahtera justru tega mengkhianati. Bersenang-senang dengan gaji fantastis, di atas derita pemilihnya. Sungguh sadis.

Pasalnya, gaji fantastis yang mereka terima tidak sepadan dengan kinerja DPR selama ini. Sebagaimana pendapat Lucius Karus, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), menilai kinerja DPR selalu buruk. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya RUU yang disahkan oleh DPR, hanya ada 4 RUU prioritas selama dua tahun pertama masa jabatan. Itu pun belum sesuai dengan aspirasi rakyat. 

Anggota DPR lucunya, setelah duduk di kursi empuk mereka lupa sebagai wakil rakyat, pekerjanya rakyat yang digaji oleh rakyat. Seharusnya  memperjuangkan aspirasi rakyat, bukan malah mengkhianati rakyat. Di mana hati nuraninya?

Hal tersebut dapat dilihat dari rekam jejaknya di medsos. Banyak pasal peraturan yang bermasalah sehingga berdampak. Antara lain, revisi UU KPK justru melemahkan pemberantasan korupsi, revisi UU KUHP dan UU Pemasyarakatan justru menguntungkan koruptor atau meringankan ancaman hukuman dan denda bagi koruptor. Belum lagi UU Minerba, UU Kelistrikan, UU Investasi, UU Sumber daya air, dan lainnya. Semua memihak pada pemilik modal asing dan aseng. Ironisnya lagi, yang menjadi polemik hingga kini adalah UU Omnibus Law Ciptaker, banyak pasal yang merugikan kaum pekerja. Di masa pandemi di waktu malam hari UU Omnibus Law dengan tergesa-gesa disahkan oleh DPR. Ada apa? Sebagai wakil rakyat mestinya memihak rakyat, bukan menyengsarakan rakyat. Wajar, jika rakyat kecewa dan marah akhirnya netizen menyebut DPR dengan kepanjangan Dewan Pengkhianat Rakyat.

Sistem Demokrasi pula yang menjadi biang korupsi dan kolusi. Sebab, butuh biaya besar untuk membiayai proses politik menjadi penguasa, anggota dewan, dan menggerakkan mesin partai. Karenanya tak mengherankan, begitu memenangkan yang terpikirkan hanyalah balik modal. Menurut Hasil survei Global Corruption Barometer (GCB) 2020 oleh Transparans Internasional Indonesia (TII) menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah lembaga paling korup di Indonesia. (CNN Indonesia, 24/7/2020)

Demokrasi Bertentangan dengan Islam

Itulah wajah buruk demokrasi, yang lahir dari rahim sekularisme, yaitu sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama tidak boleh mengatur urusan bermasyarakat maupun bernegara. Sebab, kedaulatan berada ditangan rakyat. Rakyat yang berhak membuat hukum, yang diwakilkan DPR. Artinya yang menentukan baik dan buruk, mana yang terpuji dan yang tercela, mana yang haram dan yang halal adalah anggota DPR. Sementara, dalam Islam semua itu adalah hak Allah, sebagaimana firman-Nya, "Menetapkan hukum itu hak Allah. Dia menerangkan sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik." (QS. al-An'am [6]: 57)

Menyerahkan pembuatan hukum kepada manusia yang akalnya terbatas, lemah, berdasarkan hawa nafsu dan manfaat, hanya menjadi sumber biang kerok dari semua kerusakan. Padahal Allah telah melarang-Nya, "Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka." (QS. al-Maidah [5]: 49)

Alhasil, UU produk parlemen (DPR) sangat dipengaruhi oleh kepentingan dan modal. Ini jelas akan berpihak kepada yang kuat secara politik dan finansial. Wajar, jika terjadi simbiosis atau kongkalikong di antara penguasa, anggota dewan, dengan para pemilik modal (cukong). Dewan Perwakilan Rakyat yang memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan dimanfaatkan dan disalahgunakan untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya demi mengisi pundi-pundi. Jadilah Dewan Pengumpul Rupiah. Jangan heran jika penguasa dan para pejabat selama pandemi kekayaannya juga bertambah 70 persen. Karena dalam sistem kapitalis yang dipikirkan hanya uang, uang, dan uang.

Berbeda dengan Sistem Islam

Sistem pemerintahan Islam asasnya akidah Islam. Inilah yang mendorong semua individu-individunya harus memiliki akidah atau keimanan yang kuat sebagai landasan dalam berpikir, berbuat, dan beraktivitas. Karena pada kaidah syarak disebutkan "Hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum Allah."

Oleh sebab itu, Islam memerintahkan kita semua untuk berhukum dan memutuskan perkara menurut apa yang telah diturunkan oleh Allah, yaitu menurut hukum syarak (QS.al-Maidah [5]: 48-49)

Semua itu menegaskan bahwa penguasa dipilih oleh rakyat untuk menerapkan dan menjalankan hukum syarak. Bukan hukum positif buatan manusia seperti dalam demokrasi di mana sebuah kebenaran diukur dengan suara terbanyak, bukan haram dan halal.

Sementara dalam demokrasi pelimpahan kekuasaan kepada penguasa berdasarkan teori kontrak sosial. Artinya, penguasa "bekerja" kepada rakyat sehingga diberi gaji. Sedangkan dalam Islam, penguasa "mewakili" rakyat mengimplementasikan hukum syarak, sehingga tidak digaji. Melainkan mendapat tunjangan untuk mencukupi kebutuhannya secara makruf. Sebab, penguasa tersebut memberikan seluruh waktunya hanya untuk mengurus rakyat.

Tidak dipungkiri bahwa seorang pemimpin (khalifah) secara fitrah bisa melakukan kesalahan dan khilaf. Di sinilah perlunya muhasabah, ada sistem kontrol yang kuat yakni bisa melalui Majelis Umat, Partai Politik, Mahkamah Mazalim, dan umat secara langsung melalui people power.

Menjadi pemimpin haruslah memberi teladan yang baik bagi semua orang. Dalam Islam setiap orang merupakan pemimpin. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. "Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin atas anggota keluarganya dan akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang istri adalah pemimpin atas rumah tangga dan anak-anaknya dan akan ditanya perihal  tanggung jawabnya. Seorang pembantu rumah tangga adalah bertugas memelihara barang milik majikannya dan akan ditanya atas pertanggungjawabannya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya atas pertanggungjawabannya (HR. Muslim).

Mengacu pada hadis tersebut, jika setiap orang menyadari sebagai pemimpin, memiliki rasa kepemimpinan dan bertanggung jawab, serta merasa diawasi oleh Allah dan semua akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Niscaya, akan mendatangkan keberkahan dan kesejahteraan di seluruh alam. Saatnya campakkan demokrasi sistem kufur, kembali ke sistem Islam (khilafah). Sebab, hanya khilafah yang melahirkan pemimpin-pemimpin amanah.

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post