Digital literasi: Media Makin Negatif Selama Pandemi




Oleh Juniwati Lafuku, S. Farm.  (Pemerhati Sosial) 

Pandemi Covid-19 bukan hanya masalah kesehatan dan ekonomi. Belakangan, muncul masalah lain seperti perubahan interaksi sosial yang dikenal dengan adaptasi kebiasaan baru. Kondisi pandemi telah menjadikan masyarakat di Indonesia mengarahkan aktivitas fisik ke aktivitas digital. 

Data Social-Hootsuite pada Januari 2021 mengungkapkan pengguna internet di Indonesia tumbuh 15,5 persen atau sebesar 27 juta orang selama pandemi. Sementara pengguna media sosial aktif ikut tumbuh 6,3 persen atau 10 juta orang. (industry.co.id, 14/6/2021) 

Bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan belanja dari rumah, memicu platform digital seperti e-commerce dan konten edukasi tumbuh subur selama pandemi. Selain membantu para pengusaha agar tetap mendapatkan penghasilan, juga membantu para pelajar dan mahasiswa agar tetap semangat dan aktif belajar meskipun dari rumah. Komunitas-komunitas sosial pun dibentuk, jadwal pertemuan virtual menjadi rutinitas harian. 

Namun semua interaksi yang terjadi di ruang digital, ternyata juga membawa dampak negatif. Semakin kesini, konten-konten negatif turut bermunculan. 

Dilansir siaran pers di laman Kominfo, Minggu (19/9/2021), hingga September 2021, Menkominfo menyebut mereka telah menghapus 24.531 konten negatif.

Konten negatif yang dihapus termasuk 214 kasus pornografi anak, 22.103 konten terkait terorisme, 1.895 misinformasi Covid-19, dan 319 misinformasi vaksin Covid-19.

Cyber Cecurity dan Tantangan Pengembangannya di Indonesia

Salah satu masalah sosial yang muncul selama pandemi adalah kejahatan di dunia maya (cyber crime) terutama karena maraknya pengunaan media sosial pada platform seperti Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, Telegram serta Whatssapp banyak digunakan untuk kejahatan.

Isu kebocoran dan penyalahgunaan data, menjadi masalah serius yang dihadapi banyak orang saat ini. 

Kisnu Widagso, S.Sos., M.T.I. (Dosen Departemen Kriminologi FISIP UI) berpendapat, “Peningkatan penggunaan distributed  computing yang menjadikan pengelolaan keamanan sistem  informasi semakin sulit, peningkatan penggunaan mobile computing menjadikan semakin  banyaknya kesempatan untuk masuk ke dalam jaringan dan melakukan  pencurian atau perubahan informasi dan peningkatan secara dramatis  penggunaan internet dan broadband yang di sisi lain merupakan eksposure terhadap resiko keamanan sistem informasi. Banyak korban dari cyber crime tidak menyadari bahwa dirinya telah menjadi korban karena korban tidak dapat dengan mudah mengidentifikasi kalau sesuatu yang menimpanya adalah kejahatan, korban enggan melapor, takut  terhadap publisitas atau dipandang dapat merusak reputasi dan apatis."

Konten negatif seperti hoaks, misinformasi, disinformasi, serta malinformasi juga terus membanjiri laman media sosial. Tak ayal laporan angka gangguan mental, kejahatan berbasis digital dan korban hoaks semakin tinggi. Karena sumber informasi sangat mempengaruhi proses pengambilan keputusan individu dan masyarakat luas. 

Menkominfo, Johnny G. Plate menyatakan Indonesia merupakan salah satu negara yang berhasil dalam menjaring konten di internet. Keberhasilan ini tentunya bisa menjadi pembelajaran untuk negara-negara lain yang tergabung dalam forum ini.

“Di Indonesia untuk menjaga ruang digital yang bersih, keterlibatan pentaheliks harus digerakkan secara bersama, baik pemerintah, akademia, organisasi non pemerintah (NGO), tokoh masyarakat, dan media,” ujar Johny dalam program Metro Pagi Primetime (Medcom.id, 17/09/2021).

Nyatanya, media sosial layaknya pisau bermata dua. Di satu sisi membawa banyak kebaikan ke arah positif, disisi lain layaknya toxic. Filterisasi informasi dari hulu, menengah dan ke hilir belum dapat dimaksimalkan. Gaya hidup liberal dan hedonis juga membuat konten negatif sulit dibasmi karena masih ada orang-orang yang mengkonsumsinya. Bahkan menjadikannya sebagai lahan pekerjaan. 

Seperti halnya kasus pelecehan seksual, konten pornografi nyatanya masih dapat diakses, budaya pamer dan kebebasan individu menajdi anomali di tengah semangat menghapus konten negatif. Mantan fedofilia mendapat glorifikasi dan tampil di media. 

Munculnya konten LGBT dalam tayangan anak berkedok tarian pisang, dapat diakses dengan mudah di kanal YouTube kids. Pengangguran meninggi selama pandemi berbanding lurus dengan naiknya angka kemiskinan, membuat peluang kejahatan melalui media sosial terbuka lebar. 

Jika pemerintah mengklaim ruang digital di Indonesia bersih, harusnya terlihat signifikan pada pola sikap dan perilaku di tengah masyarakat. Tingkat digital literacy terlihat dari konten jenis apa yang sering dikonsumsi publik hingga inovasi dan eksplorasi hal baru dapat merubah wajah Indonesia di kemudian hari. Terutama untuk generasi milenial saat ini yang mengalami learning loss dan insecure terhadap capaian orang lain dibanding dirinya sendiri. Era ini juga dikenal dengan era disrupsi atau kegagalan. 

Semua fakta ini menunjukkan Indonesia butuh solusi baru untuk mengatasi permasalahan digital, bukan solusi parsial yang didepan hari akan terulang kembali kejadian yang sama. 
 
Cara Islam Mengatur dan Mengoperasikan Media Sosial

Sebagai mukminin, kita harus menjadi sosok terpercaya, benar dan amanah dalam menyampaikan khabar (informasi). Islam dengan segala keluhurannya telah mewariskan kepada kita prinsip dan mekanisme tertentu agar kita menjadi subjek pemberi kabar yang terpercaya. 

"Cukuplah seseorang disebut pendusta jika ia mengabarkan semua yang ia dengar" (HR. Imam Muslim)

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berkata "Janganlah kalian terburu-buru dalam menyampaikan berita secara tergesa-gesa dalam membenarkan berbagai kekejian. Jangan pula menjadi orang yang tidak mampu menyimpan rahasia dan gemar menyebarkannya. Karena sungguh di belakang kalian menanti malapetaka yang teramat dahsyat, kesempitan hidup, kekejian, azab yang pedih, siksaan berat yang melelahkan dan melemahkan, dimana manusia menjadi sangat ketakutan dan dibuat sengsara karenanya, yang diikuti oleh fitnah yang besar, berat dan berkepanjangan (Syarah Shahih Al-Abadul Mufrad, 1/421-442, Rasysyul Barad Syarh Al-Adabul Mufrad hal. 172-173).

Seorang Muslim hendaknya memilah dan memilih berita dari sumber yang terpercaya, isi berita dan adab dalam menyebarkannya. Semua ini akan sangat memudahkan terputusnya mata rantai Informasi hoaks, misinformasi, disinformasi, serta malinformasi. 

Mohammad A. Siddiqi menyebutkan bahwa Islam memberikan penekanan atas konten, tujuan dan proses pengumpulan berita harus masuk dalam lingkup tanggung jawab sosial kepada masyarakat (social responsibility) yang berbeda dengan pandangan Barat yang individualis-pluralis. Islam mendasarkan tanggung jawab sosialnya berdasarkan al'amru bil-ma'ruf wannahyu'anil-munkar. 

Literasi media pada individu dan masyarakat harus dibarengi peran negara, dengan menyaring informasi rusak yang membahayakan nilai dan ideologi negara, bukan diserahkan begitu saja kepada individu audiens yang menonton berita. Sangat tidak fair ketika negara berlepas tangan dan membiarkan korporasi media dihadapkan vis a vis dengan individual tanpa perlindungan. 

Dalam perspektif media Islam, negara berperan sebagai junnah (perisai) yang akan melindungi ideologi Islam dari bahan olokan, hinaan dan kerendahan, filter dari informasi tidak penting bahkan rusak dan corong informasi Islam bagi dunia dalam negeri maupun luar negeri, karena negara khilafah akan memposisikan media massanya untuk melayani ideologi Islam. 

Wallahu a'lam bishawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post