Beras Di buang,Rakyat Kelaparan

(Oleh : Nita Nopiyana,S.Pd)

Perum Bulog menyatakan akan membuang 20 ribu ton cadangan beras pemerintah yang ada di gudang mereka. Nilai beras tersebut mencapai Rp160 miliar. Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog Tri Wahyudi Saleh mengatakan pemusnahan dilakukan karena usia penyimpanan beras tersebut sudah melebihi 1 tahun. 

Data yang dimilikinya, saat ini cadangan beras di gudang Bulog mencapai 2,3 juta ton. Sekitar  100 ribu ton di antaranya sudah disimpan dia atas empat bulan. Sementara itu 20 ribu lainnya usia penyimpanannya sudah melebihi 1 tahun.  Sesuai Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP), beras yang usia penyimpanannya sudah melampaui batas waktu simpan paling sedikit empat bulan atau berpotensi dan atau mengalami penurunan mutu. Karena itulah, beras harus dibuang atau dimusnahkan. (CNN Indonesia | Jumat, 29/11/2019).

Ketua Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) Sutarto Alimoeso mengatakan, Bulog dan pemerintah harus berbenah pascatemuan pembusukan beras di gudang Bulog Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Sumatra Selatan. Pasalnya, kejadian tersebut merupakan akumulasi dari sejumlah persoalan yang melanda tata kelola perberasan di Bulog.

“Persoalannya mulai dari berkurangnya kewajiban Bulog menyalurkan bansos rastra hingga masalah di hulu, yakni kualitas beras nasional yang rendah,” jelasnya kepada Bisnis.com, belum lama ini.
Dia mengatakan, Bulog selama ini diwajibkan menyerap beras petani dalam jumlah besar. Namun, sejak 2017, pilihan penyaluran beras milik perseroan semakin terbatas, terutama untuk jenis beras medium. Penyebabnya, kebijakan bansos rastra perlahan digantikan dengan bantuan pangan nontunai (BPNT) oleh pemerintah.

Otomatis, lanjutnya, Bulog hanya memiliki pilihan menyalurkan beras mediumnya melalui operasi pasar (OP) dan bantuan kemanusiaan. Adapun, beras medium yang dapat disalurkan setiap tahunnya melalui OP hanya sekitar 500.000 ton. Padahal, Bulog diwajibkan menjaga stok cadangan beras pemerintah 1 juta ton—1,5 juta ton.

Melihat fakta ini sungguh ironis. Tak sedikit rakyat Indonesia yang menahan rasa lapar karena tak sanggup membeli beras sebagai makanan pokok, justru bulog dengan mudahnya membuang buang beras yang sudah begitu lama tersimpan rapi. Bulog lebih sayang berasnya lalu dibuang ketimbang diberikan dengan orang orang yang menahan rasa lapar, bahkan tak sedikit mereka mengkhiri hidupn mereka karena pemerintah tak peduli lagi nasib mereka bisa makan atau sebaliknya. 


Kapitalisme, Akar Masalahnya
Masalah perberasan seolah tidak pernah ada habisnya. Akhir tahun lalu, Direktur Utama Badan Urusan Logistik (Bulog) Budi Waseso sempat berseteru dengan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, soal kebijakan impor beras karena produksi nasional yang dianggap kurang cukup. Kini, Bulog mengaku kesulitan menyerap beras petani karena stok beras digudangnya penuh. Setelah dipaksa mengimpor beras dalam jumlah besar tahun lalu, kini Bulog mengaku kesulitan menjualnya. Beras Bulog yang sebelumnya disalurkan untuk program bantuan sosial Beras Sejahtera (Rastra) kini ditutup, digantikan program Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT). Di sisi lain, pasokan beras yang sedang melimpah di pasar membuat Bulog tidak bisa melakukan operasi pasar untuk mengurangi stok berasnya di gudang.

Mencermati realita ini, nampak betapa birokrasi dan struktur kerja antar institusi pemerintah pengelola impor beras begitu minim komunikasi dan koordinasi. Masing-masing jawatan justru terlihat bekerja tanpa visi bersama layaknya sebuah tim yang solid. Para pejabat itu seolah masih saja absen akan peran dasar mereka dalam melayani urusan bahan pangan pokok negara yang besar ini. Sistem kerja yang terdesentralisasi dan minim antisipasi, tak pelak menunjukkan keseriusan kerja yang gagal. Padahal mengelola ketersediaan beras sebagai bahan pangan pokok, adalah bagian dari ikhtiar untuk mencapai target periodik yang terukur dan terencana. Tambal sulamnya cara kerja, ditambah rumitnya birokrasi, sungguh tak lagi menjadikan kepentingan rakyat sebagai tujuan pengabdian profesinya.

Karena itu, haruskah kita masih berpihak pada kapitalisme-demokrasi? Sistem ini telah meniscayakan pola kerja ala rimba. Saling serobot maupun berlepas kepentingan, begitu mudah terjadi. Tak terkecuali saat mengelola komoditi beras. Belum lagi adanya ancaman mafia pangan.

Problem Kartel pangan juga masih belum bisa diselesaikan yang berakibat semakin sulitnya rakyat luas menjangkau pangan berkualitas karena harganya yang tinggi. Semua ini melengkapi bukti bahwa Negara korporasi lebih melindungi kepentingan pebisnis dibanding menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Kemudian, mafia impor tumbuh subur karena watak kapitalisme yang berusaha mencari untung dari impor beras, meski petani menjerit karena guyuran beras impor saat panen raya. Jika berlepas dari impor beras saja tak sanggup, target zero hunger 2030 dan lumbung pangan dunia 2045 hanya akan menjadi mimpi panjang tanpa realisasi. Sungguh, begitu jauhnya sistem pengelolaan beras nasional ini dari rencana strategis yang bervisi-misi mengurusi urusan masyarakat luas.
Solusi Ketahanan Pangan

Sebagai sebuah agama yang sempurna, Islam memiliki konsep dan visi dalam mewujudkan ketahanan pangan. Islam memandang pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi per individu. Seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak bila ada satu saja dari rakyatnya yang menderita kelaparan.

Syariah Islam juga sangat menaruh perhatian pada upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan. Dalam Islam, tanah-tanah mati yaitu tanah yang tidak tampak adanya bekas-bekas tanah itu diproduktifkan, bisa dihidupkan oleh siapa saja baik dengan cara memagarinya dengan maksud untuk memproduktifkannya atau menanaminya dan tanah itu menjadi milik orang yang menghidupkannya itu. Rasul bersabda; “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya”. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud).

Selanjutnya, siapapun yang memiliki tanah baik dari menghidupkan tanah mati atau dari warisan, membeli, hibah, dsb, jika ia telantarkan tiga tahun berturut-turut maka hak kepemilikannya atas tanah itu hilang. Selanjutnya tanah yang ditelantarkan pemiliknya tiga tahun berturut-turut itu diambil oleh negara dan didistribusikan kepada individu rakyat yang mampu mengolahnya, tentu dengan memperhatikan keseimbangan ekonomi dan pemerataan secara adil.

Syariah Islam juga menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang baik. Negara wajib menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar, seperti penimbunan, kanzul mal (QS at-Tawbah [9]: 34), riba, monopoli, dan penipuan. Negara juga harus menyediakan informasi ekonomi dan pasar serta membuka akses informasi itu untuk semua orang sehingga akan meminimalkan terjadinya informasi asimetris yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar mengambil keuntungan secara tidak benar.
Dari aspek manajemen rantai pasok pangan, kita dapat belajar dari Rasul saw yang pada saat itu sudah sangat konsen terhadap persoalan akurasi data produksi. Beliau mengangkat Hudzaifah ibn al-Yaman sebagai katib untuk mencatat hasil produksi Khaybar dan hasil produksi pertanian. Sementara itu, kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand bukan dengan kebijakan pematokan harga.

Praktek pengendalian suplai pernah dicontohkan oleh Umar bin al-Khaththab ra. Pada waktu tahun paceklik dan Hijaz dilanda kekeringan, Umar bin al-Khaththab ra menulis surat kepada walinya di Mesir Amru bin al–‘Ash tentang kondisi pangan di Madinah dan memerintahkannya untuk mengirimkan pasokan. Lalu Amru membalas surat tersebut, “saya akan mengirimkan unta-unta yang penuh muatan bahan makanan, yang “kepalanya” ada di hadapan Anda (di Madinah) dan dan ekornya masih di hadapan saya (Mesir) dan aku lagi mencari jalan untuk mengangkutnya dari laut”.

Demikianlah konsep dan nilai-nilai syariah Islam memberikan kontribusi pada penyelesaian masalah pangan. Konsep tersebut tentu baru dapat dirasakan kemaslahatannya dan menjadi rahmatan lil alamin bila ada institusi negara yang melaksanakannya. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengingatkan pemerintah akan kewajiban mereka dalam melayani urusan umat, termasuk persoalan pangan dengan menerapkan syariah yang bersumber dari Allah SWT, pencipta manusia dan seluruh alam raya. Wallahu ‘alam bi showab.

Post a Comment

Previous Post Next Post