"Bemo" Transportasi Yang Terlindas Zaman

Gambar mungkin berisi: mobil dan luar ruangan
Penulis : Susi Suzanna

Ketika saya pergi kerja lewat Jalan Sudirman Simpang Kandang di depan eks SMAN 1 Padang, setiap pagi ada bemo dalam keadaan bersih menuju Jalan Agus Salim. Bemo tersebut bermuatan sembako dan menghilang di Jalan Rumah Potong Tarandam.

Moda transportasi becak motor (bemo) pernah mengalami kejayaan pada 1970-1980. Bahkan di Kota Padang, bemo memiliki 11 jurusan untuk mengantarkan para penumpang.

Namun seiring perkembangan zaman, bemo perlahan tersingkir, menyusul masuknya moda transportasi baru yang dinilai masyarakat lebih cepat dan nyaman.

Sepuluh tahun lalu saya pernah menulis kisah tentang pasang-surutnya bemo dirasakan oleh Edi. Ia menyatakan pernah merasakan "terhimpit" saat alat transportasi seperti angkot, bus kota, dan ojek secara perlahan meminggirkan bemo.

Ketika itu masuknya alat transportasi tersebut membuat jalur menjadi sempit hingga hanya menyisakan tiga, yaitu Jalur Muaro Padang, Seberang Palinggam, dan Purus.

Nasib semakin kritis ketika ada ojek. Ojek juga ngetem di tempat bemo. Kalau ongkos ke Muara misalnya itu Rp 2.000, kalau ojek itu Rp 3.000.

“Nah, masalahnya penumpang lebih memilih naik ojek ketimbang bemo, soalnya kita harus menunggu penuh,” tuturnya.

Hal tersebut dibenarkan oleh Usman yang kini banting setir menjadi pedagang. Ia mengaku dengan makin banyaknya ojek, kondisi jurusan bemo semakin memprihatinkan dan habis karena tak ada penumpang lagi.

“Dalam satu hari itu yang dimulai sampai pukul 18.00 WIB, paling banyak mengangkut penumpang empat kali. Satu trip ongkos sewa hanya Rp 14.000 dari tujuh penumpang. Untuk sopir Rp 12.000, agen Rp 2.000,” jelasnya.

Ismail mengatakan, untuk menarik bemo, dirinya sudah harus berangkat setelah shalat subuh dan baru kembali selepas maghrib. Sedangkan uang yang diperoleh sebesar Rp 50 ribu. Uang itu selanjutnya harus disetor ke pemilik bemo Rp 25 ribu.

“Untuk kita, Rp 25 ribu. Belum lagi bensin yang rata-rata sehari habis 10 liter. Itulah penghasilan kini,” ungkap Ismail dengan nada lirih.

Berkurangnya peminat bemo dirasakannya sejak 2000-an ditambah kenaikan BBM dan banyak transportasi alternatif lainnya.

“Di sinilah masa-masa tersulit para sopir bemo. Pada tahun 2009, gempa besar yang melanda Kota Padang dan sekitarnya memperburuk kondisi, terutama lokasi ngetemnya yang sudah tertimbun reruntuhan bangunan pasar,” tuturnya.

Penataan Pasar Raya Padang yang masih berlangsung sudah mengarah ke eks pangkalan bemo. Kawasan tersebut saat ini telah dibetonisasi dan dijadikan tempat pedagang ikan.

Kepala Dinas Perdagangan Endrizal pada suatu kesempatan di kantornya menyampaikan bahwa eks pangkalan bemo yang lama terbengkalai saat ini sudah ditata. Selain jalannya sudah dibeton, tempat tersebut mampu menampung 94 pedagang ikan.

“Sebenarnya khusus pedagang ikan itu letaknya di Inpres IV. Namun karena keterbatasan tempat maka kita sediakan untuk 60 pedagang ikan yang di Inpres IV. Namun ada tambahan pedagang lain yang terhitung belakangan,” terangnya.

Endrizal menjelaskan, sebelumnya pedagang ikan tersebut menempati jalur dua pasar. Penempatan tersebut dibiarkan sementara saat pembenahan eks pangkalan bemo.

“Setelah eks pangkalan bemo selesai maka jalur dua sudah berfungsi lagi sebagaimana mestinya. Tidak dibenarkan lagi ada pedagang yang berjualan di sana,” tambahnya.

Dengan penataan yang tekah dilakukan, seluruh pedagang ikan dilarang berjualan di Jalan Sandang Pangan. Karena, sebelumnya puluhan pedagang tersebut menempati Jalan Sandang Pangan tersebut.
“Khusus untuk pedagang ikan yang sekarang di eks pangkalan bemo adalah pedagang dari rombongan Purus. Mereka baru datang berjualan di atas pukul 10.00 WIB. Untuk menghindari konflik maka kita carikan tempat yang aman dan nyaman bagi mereka” tutur Endrizal.

Previous Post Next Post