Agenda di Balik Larangan Menikah Dini

Oleh : Safiatuz Zuhriyah
Pemerhati masalah remaja

Batas usia pernikahan kembali jadi perbincangan. Baru-baru ini MK telah mengabulkan gugatan tentang batas usia nikah anak perempuan dalam pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan. Menurut MK usia 16 masih masuk dalam kategori anak. Menikah pada usia 16 tahun juga berarti seorang anak kehilangan hak belajar 12 tahun yang diwajibkan negara. Namun MK tak menetapkan usia minimum bagi perempuan untuk menikah dan menyerahkannya pada DPR, dengan batas waktu maksimal tiga tahun. 

Keputusan ini disambut baik oleh para pegiat gender. Anggota Komisioner Komnas Perempuan Masruchah mengatakan, “Saya mengapresiasi atas putusan MK terkait sebab hal itu bertentangan dengan UUD 1945 dan semangat anti-diskriminasi pada anak. Karena perkawinan usia 16 tahun menyebabkan kerentanan KDRT dan kekerasan seksual,” kata Masruchah pada NU Online, Jumat (14/12).

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise bahkan mengusulkan batas minimal usia menikah untuk perempuan 20 tahun dan laki-laki 22 tahun, pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Agenda Terselubung

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Zainut Tauhid Saadi mengingatkan kepada semua pihak bahwa UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bagi umat Islam bukan hanya sekadar mengatur norma hukum positif dalam perkawinan tetapi juga mengatur sah dan tidaknya sebuah pernikahan menurut ajaran agama Islam.

UU tersebut, memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi dan ikatan emosional dengan umat Islam. "Sehingga kami mengimbau kepada semua pihak untuk bersikap arif dan berhati-hati jika berniat untuk mengubahnya," kata dia.

Zainut mengaku khawatir meskipun putusan MK mengamanatkan untuk melakukan perubahan UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diserahkan melalui mekanisme pembahasan di DPR paling lambat tiga tahun sejak putusan diketok itu hanya dibatasi terhadap pasal 7 ayat (1) saja. Namun pada praktiknya, kata dia, begitu masuk menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan diusulkan dalam bentuk Rancangan Undang-undang (RUU), DPR bisa saja membuka ruang untuk mengubah dan membongkar pasal-pasal lainnya. "Jika hal itu terjadi berarti putusan MK hanya dijadikan pintu masuk untuk mengamandemen UU No 1 Tahun 1974 secara keseluruhan," katanya. (m.antaranews.com, 14/12/2018). 

Bila kita cermati, memang dimungkinkan ada agenda kesetaraan gender di balik dikabulkannya gugatan ini. Buktinya, MK menilai pasal tersebut diskriminatif dan inkonstitusional, karena membedakan batas usia minimum perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Hal itu disinyalir dapat menyebabkan kasus diskriminatif dan kekerasan dalam rumah tangga yang lebih banyak merugikan pihak perempuan sehingga terkendala dalam pemenuhan hak-hak konstitusionalnya.

"Hak-hak konstitusional dimaksud, antara lain, hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945," kata Hakim Konstitusi Wahiddudin Adams.

Senada dengan itu, Menteri PPPA, Yohana juga mengatakan bahwa usulan batas minimal usia menikah tersebut cukup adil dalam hal kesetaraan gender, serta tidak melanggar ketentuan undang-undang perlindungan anak terkait batas minimal usia pernikahan. (m.antaranews.com 14/12/2018)

Pegiat gender memang selalu mencari cara untuk mengubah hukum dan perundang-undangan agar sesuai dengan pandangan mereka tentang kesetaraan. Yaitu keharusan adanya kesamaan antara laki-laki dan perempuan dalam seluruh bidang kehidupan.

Padahal, faktor terbesar yang melatarbelakangi tingginya angka pernikahan di bawah umur adalah masuknya paham kebebasan bertingkah laku di kalangan remaja. Menurut Humas Pengadilan Agama kabupaten Kediri, Mohammad Ghozali, 85% alasannya adalah karena sudah hamil. Gaya hidup remaja saat ini yang permisif dan hedonis, membuat mereka mudah terjebak pada perangkap pergaulan bebas. Ditambah dengan kurangnya pengawasan orang tua, menjadi kombinasi yang pas dalam meningkatkan angka kehamilan di luar nikah.

Pandangan Islam tentang Pernikahan

Seperti yang kita pahami bersama, bahwa masa muda adalah masa penuh gejolak. Organ reproduksi yang mulai matang seringkali menuntut pemenuhan. Ketertarikan kepada lawan jenis menjadi fokus pembahasan. Mereka rela melakukan apa saja agar bisa diterima oleh lawan jenisnya. Tanpa kendali agama, mudah bagi mereka masuk ke dalam bujuk rayu setan. Melakukan hal-hal terlarang.

Islam telah memberikan panduan. Bahwa solusi dari munculnya dorongan seksual adalah pernikahan. 

"Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui" (QS. An-Nur: 32)

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).” (HR. Ibnu Mas’ud) 
Dari sini jelas bahwa setiap pemuda yang telah mampu dianjurkan untuk menikah supaya dapat menjaga kemaluannya. Mampu disini berarti mampu menanggung beban sebagai konsekuensi pernikahan. Misalnya menanggung nafkah keluarga bagi laki-laki dan mengurus rumah tangga bagi perempuan. 

Remaja Islam bila sudah balig (ditandai mimpi basah bagi laki-laki dan haid bagi perempuan), maka dia sudah menjadi mukalaf. Secara syara’, balig artinya telah sampai pada masa pemberian beban hukum syariat. Disebut juga taklif. Dengan adanya beban dan tuntutan itulah kemudian ia disebut sebagai mukalaf, yaitu seseorang yang telah diberikan beban syariat untuk mengamalkannya. Oleh karena itu, pendidikan dalam Islam lebih diarahkan kepada pembentukan kepribadian luhur supaya mereka siap menanggung beban hukum syara di usia baligh. Tidak ada lagi ungkapan ‘dewasa tapi kekanakan’.

Remaja Islam adalah remaja yang tangguh. Siap mengarungi kehidupan dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan hukum syara’. Termasuk pernikahan. Tentu saja, sebelumnya mereka sudah dipahamkan tentang tujuan pernikahan itu sebagai salah satu bentuk ibadah. Juga tentang tugas dan tanggung jawab masing-masing suami istri setelah menikah. Adanya pembagian tugas suami istri, bukan berarti Islam mengajarkan diskriminasi. Tetapi karena fitrah laki-laki dan perempuan memang berbeda. Allah swt. berfirman dalam Surat al Baqarah: 228 
“ Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf". 

Islam juga menjamin berlanjutnya pendidikan setelah pernikahan. Tidak ada halangan bagi remaja yang sudah menikah untuk terus berkarya dan bersekolah. Pendidikan terus berlangsung, dari lahir sampai mati. Tidak ada batasan usia.

Penutup

Tentu saja, kita tidak bisa mengatakan bahwa pernikahan di bawah umur selalu menjadi solusi karena kondisi tiap remaja berbeda. Tapi dengan menikah, mereka lebih terjaga kehormatannya. Oleh karena itu, selayaknya pernikahan mereka diapresiasi dan dibimbing. Tidak malah dituduh sebagai perusak generasi. Justru pacaran dan pergaulan bebas akibat gaya hidup permisiflah yang menghancurkan masa depan.

Rasulullah telah menikahi Aisyah yang berusia 6 tahun dan menikahkan putrinya, Fatimah pada usia 15 tahun. Di kemudian hari, Aisyah r.a dan Fatimah r.a dikenal sebagai wanita-wanita cerdas dan banyak meriwayatkan hadis. Tidak sedikit pula sahabat Rasul yang menikah di usia belia. Umar bin Abi Salamah menikah ketika usianya belum genap 15 tahun. Namun tidak menghalanginya untuk tetap menuntut ilmu. 

Seharusnya pihak terkait mendukung para remaja yang telah siap untuk menikah. Bukan malah mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah (menikah dini). Karena naluri tertarik kepada lawan jenis adalah fitrah. Tidak bisa dihilangkan. Dengan mengarahkannya pada penyaluran yang benar maka fitrah itu akan membawa ketentraman dan menjaga dari kemaksiatan. Bahkan menjadi lebih produktif membangun peradaban. 

Tentu saja, ini hanya bisa dilakukan dengan diberlakukannya kurikulum pendidikan Islam yang komprehensif dan menitikberatkan pada keimanan. Selain itu, juga perlu pengkondisian lingkungan. Menjauhkan pengaruh negatif dan menstimulasi suasana penuh kebaikan. Dengan diterapkannya aturan islam dalam seluruh sendi kehidupan. 
Previous Post Next Post