Oleh Tinie Andryani
Aktivis Muslimah
Hujan yang mengguyur sebagian wilayah di tanah air dengan intensitas yang tinggi tidak hanya membebaskanya dari kemarau panjang, tetapi turut mengundang kembali bencana banjir. Banjir telah menerjang beberapa kota di Jawa Barat salah satunya di Kabupaten Bandung.
Tingginya curah hujan pada hari Senin, 11 November 2024 siang menyebabkan air sungai Cikambuy dan Cipananggulan meluap hingga merendam rumah warga di Kompleks Cingcin Permata Indah (CPI) Desa Gandasari, Kabupaten Bandung dengan ketinggian air mencapai 1 Meter hingga 1,5 Meter (detikjabar).
Bukan hanya merendam rumah warga, banjir pun mengganggu aktivitas warga sekitar. Warga merasa terganggu dengan terputusnya akses jalan yang menghubungkan ke kompleks tersebut. Pemerintah daerah berencana membangun kolam retensi, tapi hingga saat ini proyek tersebut belum juga terealisasi. Warga berharap Pemda bisa memberikan solusi untuk penanggulangan banjir mengingat banjir sering terjadi di daerah tersebut.
Banjir merupakan bencana alam yang sering terjadi di Indonesia, khususnya Jawa Barat. Penyebabnya tidaklah bersifat tunggal, melainkan sistemik dan saling berkaitan. Pun dengan penanganannya, tidak bisa dilakukan hanya dengan tambal sulam semata, tetapi perlu solusi menyeluruh sampai ke akar permasalahan agar banjir tidak terulang kembali.
Curah hujan yang tinggi sering kali di jadikan faktor penyebab utama terjadinya banjir. Padahal sejatinya hal itu merupakan salah satu pemicunya saja. Justru faktor utama penyebab banjir adalah adanya pembangunan kapitalistik.
Penebangan hutan secara berlebihan misalnya, hutan yang ditebang secara terus menerus merupakan faktor utama penyebab terjadinya banjir. Selain itu alih fungsi lahan pun menjadi faktor penunjang terjadinya kerusakan alam sekitar yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Akibatnya debit air tidak tertampung secara normal, sampah-sampah yang menumpuk pun turut memperburuk kondisi lingkungan.
Keserakahan manusia dalam sistem kapitalis ini menggeser kestabilan alam. Hal ini diperparah oleh kebijakan kapitalistik yang hanya mengedepankan materi saja. Apapun dilakukan untuk meraup keuntungan, sekalipun merusak lingkungan.
Tak dapat dipungkiri, saat ini banyak sekali dijumpai alih fungsi daerah resapan menjadi perumahan, adanya reklamasi pantai dan tempat tempat wisata. Tentu, menjamurnya alih fungsi lahan tersebut karena restu dari penguasa kepada pemilik modal (kaum kapital) sehingga tata kota yang dibangun berdasarkan keinginan kaum pemilik modal, bukan atas dasar kemaslahatan masyarakat. Pemerintah hanya peduli pada penggenjotan ekonomi tanpa memperdulikan kelestarian lingkungan dan negara pun hanya mementingkan pendapatan negara dari pajak yang disetorkan oleh pengusaha. Parahnya lagi, ada oknum-oknum aparat yang menjadi beking perusakan lingkungan demi mencari keuntungan pribadi berupa uang pelicin. Alhasil kebijakan pembangunan eksploitatif ini menjadikan negeri ini langganan bencana.
Hunian ramah lingkungan yang digadang gadang sebagai hunian yang nyaman, nyatanya hanya mampu diakses oleh kaum elite. Sedangkan masyarakat lemah tersisihkan bahkan menjadi korban dengan bermukim di kawasan banjir atau terdampak banjir. Pun dengan infrastruktur jalan, pemerintah terus memfasilitasi dengan pembangunan jalan tol dan proyek kereta cepat yang peruntukannya bukan untuk masyarakat umum. Sedangkan jalan umum yang sering dilalui oleh masyarakat terabaikan. Apalagi mengingat kondisi jalanan pasca banjir telah menimbulkan kerusakan dan hanya melakukan perbaikan seadanya, sehingga ketika banjir datang kembali dalam waktu yang berdekatan kondisi jalanan makin memburuk. Sejatinya masyarakat sangat membutuhkan perhatian dari pemerintah apalagi pasca banjir karena pasti menimbulkan banyak kerugian. Inilah potret buruknya pembangunan kapitalistik yang kerap kali menimbulkan kesenjangan sosial. Negara tidak berfungsi dalam melayani urusan umat, negara hanya menjadi pelayan bagi kaum bermodal.
Berbeda dengan Islam. Dalam sistem Islam, pembangunan adalah bentuk pelayanan terhadap umat. Negara akan memprioritaskan pembangunan yang dibutuhkan umat yang apabila pembangunannya ditunda akan mengakibatkan dharar (bahaya) bagi umat.
Pembangunan dilakukan dengan tetap menjaga kestabilan alam. Negara tidak akan sembarangan melakukan alih fungsi lahan apalagi demi kepentingan segelintir orang demi meraih materi belaka. Negara akan mempertimbangkan prinsip pengelolaan lahan agar musibah yang disebabkan salah kelola lahan dapat terhindari.
Al Qur’an telah menjelaskan dengan gamblang dampak buruk salah kelola alam akibat ulah manusia. Dalam surat Ar Rum ayat 41, Allah berfirman, “Telah tampak kerusakan didarat dan dilaut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mareka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” QS Ar Rum,41
Salah satu pembangunan ramah lingkungan yang di lakukan oleh sistem Islam saat itu adalah pembangunan bendungan dengan berbagai bentuk. Seperti yang terdapat di Turki dan Iran yang berfungsi untuk menampung air hujan dari aliran sungai dengan debit air yang besar. Selain untuk mencegah banjir, bendungan ini juga berfungsi sebagai sumber irigasi. Negara juga melakukan pengerukan sungai sungai dan aliran air secara berkala untuk mencegah terjadinya pendangkalan.
Adanya pembangunan dalam sistem Islam terbukti memberikan dampak baik bagi umat dan lingkungan. Tidak hanya kestabilan alam yang dirasakan tetapi juga keberkahan hidup karena berada dalam naungan sistem yang sahih sesuai Al Qur’an dan as Sunah.
Jadi keberadaan sistem Islam adalah solusi yang komprehensif dalam menanggulangi masalah banjir yang sering terjadi agar tidak kembali terulang. Mitigasi secanggih apapun apabila dilakukan di sistem kapitalis ini tidak akan efektif dalam menanggulangi bencana banjir, sebab sistem ini terbukti gagal merumuskan akar permasalahan terjadinya banjir sehingga akan selalu gagal pula dalam penanganannya.
Wallahualam bissawab
COMMENTS