Jelang Panen Raya, Keran Impor Beras Bakal Berakhir ?


Oleh : Risnawati 
(Pegiat Opini Muslimah Sultra )

Terbukanya keran impor selalu menjadi jalan pintas bagi penguasa yang dipengaruhi pandangan ekonomi neoliberal kapitalistik. Namun, ada wacana dari Pemerintah bahwa sebelum panen raya, keran impor beras akan berhenti. Maka, tentu hal ini suatu yang menggembirakan bagi para petani. 
Seperti dilansir dari laman Pasardana.id - Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan menutup keran impor beras hingga akhir Januari 2023.
Hal tersebut dikarenakan, Indonesia sebentar lagi akan masuk ke musim panen yang diperkirakan pada Februari mendatang.
"Beras Januari end, enggak boleh lagi (impor beras). Januari. Enggak bisa lagi, saya kasih izin sampai Januari. Abis itu enggak bisa lagi," ujar Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) di Cilegon, Minggu (15/1).
Sementara terkait beras impor Bulog tahap kedua sebanyak 300.000 ton yang rencananya masuk pada awal Februari 2023, Zulhas mengaku tidak mau menahu dan tetap akan menutup keran impor.
"Ya salahin sendiri dong. Kita beli petani lah, kan udah panen. Beli ke petani yang banyak baru setelah itu kita operasi pasar," imbuh Zulhas.
Diketahui sebelumnya, Perum Bulog resmi menerima beras impor asal Vietnam sebanyak 4.900 ton. Direktur Utama Bulog Budi Waseso (Buwas) mengatakan, impor beras ini dilakukan menyusul dengan adanya Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) yang dilakukan pemerintah yang membahas upaya pemenuhan kebutuhan stok beras nasional.
Lebih lanjut Buwas mengatakan, importasi ini dilakukan secara bertahap sehingga sampai Desember 2022 total importasi beras 200.000 ton.
Sementara untuk tahap kedua, Perum Bulog menargetkan sebanyak 300.000 ton yang rencananya masuk pada awal Februari 2023.

Kapitalisme, Akar Masalah 

Semoga wacana ini bukan sekedar jargon pencitraan saja. Pasalnya,  akan sulit bagi negeri  yang masih tunduk pada aturan sistem kapitalisme neolib ketika memutuskan menghentikan impor beras. Karena sejatinya, sistem kapitalisme yang hanya berfokus pada perhitungan untung dan rugi, bukan pada kesejahteraan rakyat.

Padahal dengan pertimbangan jumlah potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia, tentunya akan mampu membangun sebuah kemandirian bagi perekonomian bangsa. Karena pada faktanya, selama ini kebijakan-kebijakan yang diputuskan pemerintah selalu saja tidak berpihak pada kemaslahatan rakyat, namun senantiasa bermuara untuk memenuhi keinginan para kaum kapitalis. Termasuk dalam memutuskan impor kementrian Perdagangan terlebih dahulu melakukan koordinasi dengan para pengusaha bukan dengan lembaga terkait yaitu Kementrian Pertanian.

Dengan demikian, Impor menjadi konsekuensi logis dari era keterbukaan perdagangan internasional. Sebuah era yang memungkinkan terjadinya transaksi ekonomi antar Negara dengan batasan tipis bahkan tanpa batasan Negara yang mampu melakukan efisiensi produksi akan mendapatkan keunggulan dan menjadi eksportir. Sebaliknya, Negara yang tidak mencapai efisiensi produksi akan berakhir sebagai Negara importer yang bergantung pada Negara lain. Sehingga, kebijakan impor hanya menguntungkan segelintir pihak mafia yang bermain di sektor ini dan tidak pernah berpihak pada rakyat, bahkan berdampak pada semakin terpuruknya kesejahteraan rakyat terutama petani. 

Islam, Solusi Tuntas

Tentu hal ini berbeda dengan sistem Islam dalam mengatur perekonomian Negara. Dimana Negara berkewajiban memaksimalkan potensi yang dimiliki demi kesejahteraan seluruh rakyatsekaligus membangun kemandirian ekonomi. Dengan penerapan hukum syara’ secara menyeluruh, Islam memiliki cara yang khas dalam membangun kemandirian ekonomi ,salah satunya adalah mengatur kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam sesuai syariah, bahwa hanya Negara yang berhak mengelola sumberdaya alam yang menjadi milik umum. Dan membangun ketahanan pangan yaitu memenuhi kebutuhan panganbagi negeri melalui peningkatan produksi pangan. 

Disisi lain, Islam mewujudkan negara bebas impor dan teraihnya swasembada pangan merupakan sesuatu yang sangat bisa terwujud. Yang memiliki beberapa syarat diantaranya, adanya pemimpin yang memahami kewajibannya untuk meriayah (mengurusi urusan) umat. Pemimpin yang sadar akan pertanggungjawaban di hadapan Allah atas kepemimpinannya kelak di akhirat akan memberikan pelayanan terbaik kepada umat. Ia akan senantiasa memperhatikan kebutuhan umat dan berusaha memenuhinya sesuai syariat. Alih-alih bergantung pada impor, penguasa ini akan mengupayakan kecukupan produksi dalam negeri dengan memberikan dukungan optimal pada produsen dalam negeri. Misalnya dengan memberikan subsidi pupuk ataupun bantuan modal. Impor hanya akan dilakukan ketika negara benar-benar memerlukan.

Demikianlah jika Islam diterapkan secara kaffah. Sehingga hanya Islam saja yang memberikan kontribusi nyata pada penyelesaian masalah pangan. Konsep tersebut tentu baru dapat dirasakan kemaslahatannya dan menjadi rahmatan lil alamin bila ada institusi negara yang melaksanakannya. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengingatkan pemerintah akan kewajiban mereka dalam melayani urusan umat, termasuk persoalan pangan. Maka, seorang penguasa dibaiat dengan sebuah konsekuensi menerapkan syariat dalam kepemimpinannya. Pertanggungjawabannya langsung di hadapan Allah. Kekuasaanya digunakan untuk memuliakan dan meninggikan Islam. Sehingga ia akan berbuat sebaik-baiknya dalam melakukan periayahan kepada masyarakat dan mewujudkan Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Alhasil, penerapan hukum Islam secara kaffah maka mampu terwujud sebuah negeri yang memiliki kemandirian ekonomi, bahkan tidak hanya itu terbukalah pintu keberkahan dari Allah SWT. Oleh karena itu, sebagai seorang muslim sudah seharusnya kita perjuangkan penerapan Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah. yang merupakan induk dari seluruh kewajiban. Sehingga keran impor akan benar-benar berhenti jika stok pangan melimpah didalam negeri. Wallahu a’lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post