Naiknya Biaya Haji, Kapitalisasi Ibadah?


Oleh:  Farah Sari, A. Md
(Aktivis Dakwah Islam) 

Munculnya wacana kenaikan biaya perjalanan haji oleh pemerintah, tentu mengejutkan kaum muslim.  Apalagi ditengah permasalahan ekonomi yang belum stabil pasca pandemi.  Kaum Muslim harus merogoh kocek lebih dalam dan meluaskan kesabaran agar bisa menjadi tamu Allah di tanah suci. 

Inilah buah dari pengaturan sistem kehidupan yang berpijak pada asas sekuler kapitaitalis. Pengelolaan penyelengaraan haji tidak dijalankan sesuai paradigma syariat islam.  Lalu bagaimana sistem islam mampu mengelola penyelenggaraan haji? 

Pemerintah melalui Kementerian Agama mengusulkan kenaikan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) yang harus dibayarkan oleh calon jemaah haji jadi sebesar Rp69 juta. Artinya, biaya haji tahun ini melonjak hampir dua kali lipat tahun lalu yang hanya sebesar Rp39,8 juta. Ongkos ini juga lebih tinggi dibandingkan 2018 sampai 2020 lalu yang ditetapkan hanya Rp35 juta. Yaqut beralasan kebijakan ini diambil untuk menjaga keberlangsungan dana nilai manfaat di masa depan.(CCNIndonesia, 20/01/23) 

Kebijakan ini sungguh kontras dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Arab Saudi. Pada saat yang sama Arab Saudi justru menurunkan biaya asuransi umrah dan haji tahun 2023 ini sebesar 73%.  (www.atlas-mag.net,13/01/23) 

Untuk kepentingan siapa biaya perjalanan haji dinaikkan? Siapa yang diuntungkan? Yang pasti bukan calon jamaah haji. 

Kenaikan biaya haji ini menimbulkan pertanyaan.  Tentang komitmen negara untuk memudahkan ibadah haji rakyatnya. Yang mayoritas beragama Islam. Bagi mereka haji adalah kewajiban dihadapan Allah Swt.  Yang harus ditunaikan demi meraih ridho Allah Swt. Bukankah seharusnya penguasa sebagai pihak yang bertanggung jawab mengurus rakyat,  akan melakukan segala hal yang memudahkan urusan rakyat? Termasuk meringankan biaya keberangkatan haji, jika hal ini mampu dilakukan.  Bukan malah menaikan biaya keberangkatan haji. Apalagi di tengah kesulitan ekonomi saat ini. Negara seharusnya memfasilitasi rakyatnya. 

Kenaikan biaya ini tentu meinimbulkan dugaan adanya kapitalisasi ibadah. Dimana negara mencari keuntungan dari dana haji yang disetor oleh rakyat. 

Penyelenggaraan haji saat ini menggunakan aturan kapitalis sekuler. Yang menjadi asasnya adalah materi, standar kebahagiaannya adalah materi. Sehingga pelayanan publik sering dikomersilkan, seperti pendidikan, kesehatan, bahkan penyelenggaraan ibadah haji.

Penyelenggaraan ibadah haji dalam pandangan kapitalisme adalah kran bisnis. Mulai dari bisnis transportasi, perhotelan, katering, sampai jasa perizinan, termasuk jasa pembimbingan, dan lainnya yang serba komersil. 

Sangat berbeda dengan penyelenggaraan haji dalam sistem Islam. Perhatian seorang khalifah sebagai kepala negara sangat besar terhadap jamaah haji. Mereka akan dilayani sebaik-baiknya sebagai tamu Allah tanpa ada unsur bisnis. Tidak akan mengambil keuntungan dari pelaksanaan ibadah haji. Semua dijalankan atas dasar kesadaran bahwa pemimpin adalah pihak yang mengurus rakyatnya.  Dan Dia akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah atas kepemimpinannya. 
Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengatur penyelenggaraan haji dalam pandangan islam.

Pertama, khalifah menunjuk pejabat khusus untuk memimpin dan mengelola pelaksanaan haji dengan sebaik-baiknya. Mereka adalah orang yang bertakwa dan memiliki kapasitas dalam menjalankan amanah tersebut. 

Kedua, jika diperlukan menetapkan biaya penyelenggaraan haji, maka disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan jamaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Makkah-Madinah, serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari sana.

Ketiga, Khalifah harus memperhatikan, kewajiban haji hanya berlaku sekali seumur hidup dan hanya berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Bagi calon jamaah yang belum pernah haji, sedangkan sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, maka mereka akan diprioritaskan. 

Keempat khalifah akan menghapus visa haji dan umrah. Karena di dalam sistem pemerintahan islam, kaum Muslim hakikatnya ada dalam satu kesatuan wilayah. Seluruh jamaah haji yang berasal dari berbagai penjuru dunia Islam bisa keluar masuk  tanpa visa. 

Kelima, khalifah akan membangun sarana dan prasarana untuk kelancaran dan kenyamanan para jamaah haji. 

Pada Masa Khilafah Utsmaniyah, Sultan ‘Abdul Hamid II membangun sarana transportasi massal dari Istanbul, Damaskus, hingga Madinah untuk mengangkut jamaah haji yang dikenal sebagai Hijaz railway.

Demikianlah gambaran kesempurnaan syariat islam dalam mengatur kehidupan manusia.  Termasuk menjamin penyelenggaraan ibadah haji rakyat agar mudah dalam pelaksanaannya. Termasuk ringan dalam pembiayaan.  Serta solusi untuk terbatasnya kuota haji saat ini. 

Bukankah hal ini yang didambakan seluruh kaum muslim?  Sehingga perlu berjuang untuk menghadirkan sistem pemerintahan yang mewujudkan hal tersebut.  Yaitu sistem pemerintahan islam.  Sistem yang berasal dari Allah Swt.

Post a Comment

Previous Post Next Post