Menyoal Kenaikan BPJS dan Konser Virtual

Penulis: Alfiyah Kharomah., STr Batra
Revowriter Jawa Tengah

Sungguh berat menjadi warga negara Indonesia di tengah wabah. Negara terkesan membiarkan rakyat melawan corona sendirian, bantuan negara tak tepat sasaran, merajalelanya kelaparan, ekonomi tak pernah menanjak malah mengalami penurunan. Di sisi lain tenaga medis dibiarkan bertarung tanpa APD standar, berperang di garda terdepan, tapi tak diberi senjata maupun perlindungan. Hingga akhirnya banyak dari pahlawan medis berguguran.

Rakyat babak belur menghadapi corona, masih juga dikejutkan dengan kenaikan BPJS. Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Sebelumnya Perpres serupa Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan telah dibatalkan Mahkamah Agung.

Perpres tersebut menjadi dasar hukum bagi pemerintah untuk kembali menaikan iuran BPJS. Sungguh sangat disayangkan, pemerintah yang harusnya menjadi pelindung kesehatan rakyat di tengah wabah, justru absen dari mengurusi kesehatan rakyat.

Tentu saja, kebijakan ini dinilai nihil empati, yang pada akhirnya menuai banyak protes dari masyarakat. Sudahlah kebijakan pemerintah soal pandemi yang karut marut berimbas kepada rakyat kecil dan tenaga medis, tak membuat angka pandemi turun, Pemerintah justru menaikan iuran BPJS.

Beberapa hari kemudian malah muncul konser virtual Berbagi Kasih Bersama Bimbo, Bersatu Lawan Corona yang digagas oleh Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI. Seolah ingin mengobati luka rakyat Indonesia yang babak belur terkena imbas corona, namun rupanya konser virtual tersebut justru melukai hati rakyat Indonesia. Apa yang dilakukan oleh jajaran para pejabat dalam konser tersebut, tak ubahnya seperti menggarami luka dan salah tempat.

Dislike yang diperoleh mencapai ribuan lebih banyak dari like yang hanya ratusan di konser virtual yang diposting oleh BNPB di akun Youtubenya per tanggal 23 Mei 2020 memberi bukti rakyat tersakiti oleh konser virtual tersebut.

Patut digarisbawahi, keputusan pemerintah kembali menaikan iuran BPJS di masa pandemi tidak hanya melanggar keputusan MA, tapi juga menegaskan ketidakpedulian terhadap kondisi rakyat. Bahkan tagar #IndonesiaTerserah yang viral adalah sikap masyarakat dan tenaga medis yang sudah jumud dengan kebijakan pemerintah yang dinilai mengambyarkan kerja keras mereka. 

Padahal, di tengah pandemi ini, rakyat justru membutuhkan layanan kesehatan gratis dan berkualitas. Namun, sebaliknya mereka dibebani dengan kenaikan iuran BPJS.

Menyoal kesehatan rakyat, kesehatan bukanlah komoditas yang diperjual belikan. Kesehatan adalah jaminan dari negara yang harus diperoleh secara gratis untuk semua warganya tanpa dibedakan kelasnya. Kesehatan adalah hak asasi yang harus diperoleh setiap manusia yang hidup di dunia. Sehingga negara bagaimana caranya harus memenuhinya tanpa membebani rakyatnya.

Ini bukan berarti rakyat egois terhadap negaranya. Karena tak mau membayar kkesehatannya. Kesehatan adalah aset bangsa, maka negara harus mengakomodir dana yang diperoleh dari APBN atau keuntungan mengelola kekayaan alam yang melimpah. Negara yang pernah dijuluki macan Asia ini bukan negara miskin SDA, Indonesia punya gunung emas, tembaga, nikel dan batu bara yang melimpah ruah. Indonesia punya gas alam yang menguap tanpa batas. Indonesia punya minyak yang mengalir tak henti di bawah bumi. Indonesia mempunyai potensi hutan dan laut yang luar biasa tak tertandingi.

Bila kita menengok sejarah dunia, bukan tidak pernah, bagaimana sejarah dunia mencatat kehebatan sebuah bangsa mengelola kesehataannya, bahkan diberikan secara gratis dan mewah. Tanpa memandang kaya atau papa. Kesehatan dalam mindset Islam telah membuktikannya. Berbagai fakta historis kebijakan di bidang kesehatan menunjukan taraf yang sungguh luar biasa. Hal itu pernah dijalankan oleh pemerintahan Islam sejak masa Rasul SAW. Pelayanan kesehatan gratis oleh negara yang dibiayai dari kas Baitul Mal. 

Contohnya, Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160 telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarahwan berkata bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun.

Di era Abbasiyah, perhatian di bidang kesehatan seperti ini tidak hanya terbatas di kota-kota besar. Perhatian itu bahkan di seluruh wilayah Islam, hingga sampai ke pelosok, bahkan di dalam penjara-penjara sekalipun. Pada masa itu, ada kebijakan rumah sakit keliling. Rumah sakit ini masuk dari desa ke desa.

Di era Ustmani, Sultan Muhammad Al Fatih menetapkan beberapa kebijakan untuk rumah sakit. Rumah sakit tidak boleh memungut bayaran sedikitpun dari pasien. Hal ini berlaku bagi siapa saja tanpa melihat latar belakang bangsa, etnis, strata sosial dam agama.
    
Kilau sejarah tentang sistem kesehatan sebuah bangsa tercatat dengan tinta emas.  Islam memberikan paradigma kesehatan yang manusiawi. Islam menempatkan kesehatan sebagai kebutuhan asasi masyarakat (community primary needs), disamping pendidikan dan keamanan. Sistem pelayanan kesehatan di dalam Islam menjadikan negara sebagai garda terdepan dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi warganya. Negara tidak boleh menyerahkan urusan ini kepada pihak swasta apalagi membebankannya kepada individu-individu semata. Meskipun boleh bagi pihak individu atau swasta menjalankan praktek pelayanan kesehatan, namun peranan mereka sebagai pendukung saja. Seperti dalam hadits Rasulullah SAW:
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Mindset kemanusiaan dan melayani ini yang harus dimiliki oleh pemangku kebijakan di Indonesia. Terutama kesehatan di masa pandemi ini. Sudah saatnya para pemangku kebijakan negara melirik kesehatan Islam yang telah berjaya berabad-abad lamanya karena mindset melayani dan empati yang besar terhadap rakyat, bukan malah bikin konser virtual berdana milyar, namun perolehan tak seberapa.
Wallahu ‘alam Bisshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post