Bisakah “Berdamai” dengan Corona dalam Sistem Kapitalisme?

 
Kamis (7/5/20) pekan lalu, melalui media sosial resminya Presiden Joko Widodo meminta masyarakat utuk berdamai dengan corona hingga vaksin ditemukan. Kalimat tersebut menuai kontroversi. Bagaimana tidak, setelah berbagai pernyataan ‘perang’ dengan corona kini muncul diksi ‘berdamai’. Bahkan, ketua ARSSI (Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia), Dokter Eko S. Nugroho dalam laman kedaipena.com (11/5/20) menegaskan bahwa saat ini Indonesia tidak bisa berdamai dengan corona lantaran tenaga medis yang menjadi korban dan terinfeksi virus tersebut semakin banyak. “Kita tetap bermusuhan dengan Covid-19, tetapi dapat melakukan aktivitas dengan aman, dan kesadaran masyarakat tetap menjaga jarak serta menggunakan masker untuk mengutamakan keamanan dan menjaga kebersihan,” jelasnya dalam laman kedaipena.com. (11/5/20)  Tak hanya tim medis, masyarakat pun dibuat bingung.
Jadi, sebenarnya apa sih maksud yth. bapak Presiden tentang berdamai dengan Corona?
          Dalam hal ini, damai dengan corona yang dilontarkan orang nomor satu indonesia ini dijelaskan oleh Deputi bidang Protokol, Pers dan Media Sekretariat Presiden, Bey Machmudin mengatakan, pernyataan tersebut merupakan imbauan agar warga tak menyerah dengan Covid-19. “Yaa artinya jangan kita menyerah, hidup berdamai itu penyesuaian baru dalam kehidupan. Kesananya yang disebut the new normal tatanan kehidupan baru” ucapnya dalam okezone.com.(8/5/20) “Sekali lagi kita harus berdampingan dengan covid. Sekali lagi yang penting masyarakat produktif dan aman dari covid.” pernyataan resmi presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, jum’at 15 mei dalam tempo.co (16/5/20).
            Berdamai dengan covid, lebih dimaksudkan agar masyarakat tetap produktif namun aman dalam kondisi pandemi. Meski begitu, tentu semestinya semua jenis produktivitas yang dimaksudkan harus tetap dalam koridor bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan semuanya dari rumah. Sebagaimana dipahami bahwa virus tidak akan mampu menyebar dengan dirinya sendiri kecuali manusia yang bergerak dan sadar maupun tanpa sadar menyebarkan virus. Namun, hal ini tidaklah sebagaimana yang kita bayangkan, dalam wawancara terhadap presiden tentang tindak lanjut dari pernyataan berdamai dengan Corona ini, beliau menyatakan akan membuka kembali sektor-sektor perusahaan sedikit-demi-sedikit, tempo.co (16/5/20). Jadi seolah corona memang tetap ada namun perekonomian harus dijalankan. Ya, sesuai dengan sematannya, yakni berdamai. Semisal jika dikatakan berdamai dengan keadaan, maka berarti menerima keadaan yang dimaksudkan dan memulai segala aktivitas dengan kembali normal tanpa terbebani lagi dengan keadaan terebut. 
            Namun melihat secara solusi terbaik demi berakhirnya pandemi, ini tentu bukan pilihan yang tepat melainkan harus benar-benar menghentikan berbagai potensi penyebaran virus. Yakni mencegah pergerakan-pergerakan yang tidak begitu perlu, bahkan pergerakan-pergerakan manusia yang perlu sekalipun harus sedikit dikorbankan demi pandemi segera berahir. Memang, semua akan bertanya bagaimana untuk melanjutkan hidup jika demikian adanya? Disitulah peran besar negara yang sejatinya adalah pengurus urusan ummat.
Bagaimana negara berperan dalam mengatasi corona?
            Enam bulan sudah cororna bercokol di Indonesia, dan sejak awal hingga sekarang kebijakan-kebijakan pemerintah terlihat mencla-mencle, tidak serius dan terkesan tidak mementingkan rakyat. Jika mengikuti beritanya, terkesan plin-plan mulai dari  darurat sipil hingga PSBB, tawaran karantina ditolak untuk dijalankan dugaannya pemerintah lari dari tanggung jawab untuk penuhi kebutuhan rakyat karena tidak ada lagi uang. Karena dalam kebijakan karantina ada ketentuan bahwa kebutuhan dasar orang dan ternak dalam wilayah karantina ditanggung pemerintah.
            Terkesan rakyat bukan menjadi kepentingan utama padahal mengurus rakyat adalah kewajibannya. Memang, sangat sulit jika kita berbicara dalam persepsi dan peradaban kapitalisme, semua menjadi sulit. Sudahlah ekonomi seret ditambah pandemi, bagaimana negara akan membiayai rakyat. Hal ini sangat berbeda dengan Islam.
            Dalam Islam mulai dari hal kecil hingga hal besar semuanya punya aturan. Singkatnya, sistem ekonomi, sistem politik, sosial, dan lain-lain Islam punya. Dalam sistem ekonomi, negara memiliki beberapa sumber penghasilan yang akan mampu mengatasi berbagai persoalan ekonomi dalam pandemi, jika pun tidak akidah mereka adalah akidah Islam hingga sabar dan sukur akan selalu menjadi pilihan terhadap berbagai keadaan. Sabar disini adalah dalam mengupayakan penyelesaian yang terbaik. Dalam sistem politk Islam, seorang pemimpin adalah laksana pengembala, yang akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya). (HR. Bukhori dan Muslim). Mindset inilah yang membuat para khalifah begitu serius mengurusi urusan rakyatnya. Tidak akan ragu menerapkan lockdown sebagai solusi sebagaimana perintah syariat. “Jika kalian mendengar tentang wabah-wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu” (HR. Bukhari dan Muslim)
            Kembali, pernyataan berdamai dengan corona sebetulnya adalah indikasi kelemahan dari berbagai segi. Pertama, bahwa pemerintah tidak akan mampu membiayai kebutuhan-kebutuhan rakyat yang beberapa bulan terakhir banyak kehilangan pekerjaan. Hingga kini berusaha untuk membuat semua kembali bekerja meski dikatakan dengan tetap menjamin keamanan. Kedua, bahwa pemerintah berlepas tangan untuk menangani pandemi atau wabah. Kebijakan atau pernyataan ini ibarat membiarkan tenaga medis maju kemedan perang dan rakyat dilepaskan ke rimba belantara tanpa perlindungan.
            Pernyataan tersebut, dengan didukung oleh berbagai pernyataan-pernyatan lain sebelum itu cukup untuk menegaskan bahwa betapa inkonsistensi menjadi tepat untuk menggambarkan kebijakan-kebijakannya, terutama dalam usaha penanganan pandemi ini. Padahal, menyikapi permasalahan besar seperti ini harus dengan keseriusan, serius dalam menghayati permasalahan, serius dalam megupayakan solusi yang tepat serta serius dalam pengeksekusian solusi.  Sebagaimana telah banyak dibahas tentang bagaimana Islam begitu serius menangani wabah. Begitulah jika tidak mengambil ideologi langit sebagai pembimbing peradaban. Semua ketidak jelasan, kelemahan dalam menjalankan amanah hingga kelemahan dalam mengupayakan solusi pandemi adalah akibat dari penerapan ideologi jalan tengah yang tak kunjung mencerahkan, apa lagi kalau bukan ideologi kapitalisme yang sedang menuju keruntuhannya, in syaa Allah.

Post a Comment

Previous Post Next Post