Kenyamanan Semu Akibat Sistem

Oleh : Nurdila Farha 
Pelajar

Alkisah, suatu sore seorang pemuda yang terjebak macet di jalan tol tiba-tiba membuka pintu mobilnya sambil menenteng sebuah tongkat baseball. Dengan penuh emosi si pemuda memukul hancur seekor bekicot sambil berteriak, "Aku sudah menahan diri cukup lama. Dari pintu masuk tol kamu terus mengikutiku dan sekarang kamu masih berani menyalip mobilku. Sungguh-sungguh tak tahu diri!”

Begitulah gambaran sederhana yang dapat mewakili rasa kecewa serta kekesalan warga masyarakat akiba fenomena kemacetan yang terus dialami masyarakat, baik terjadi saat liburan sekolah maupun liburan hari raya. Kejadiannya terus berulang tapi minim solusi.

Dirlantas Polda Jabar, Kombes Eddy Djunaedi beserta jajarannya meninjau jalur timur Cileunyi sampai Nagreg, Kabupaten Bandung, Garut hingga Tasikmalaya, Senin (16/12/2019). Menurut Eddy, jalur yang akan dilalui oleh para pemudik atau wisatawan, seperti di jalur Cileunyi- Nagreg dan tempat wisata semua sudah siap. “Mudah-mudahan dengan koordinasi dan komunikasi dengan baik, bersama instansi terkait, semua jalur bisa dilalui sesuai yang diharapkan penggunaan jalan," ujar Eddy, di sela peninjauan jalur di Lingkar Cileunyi, Kabupaten Bandung. Menurut Eddy, pihaknya juga akan menggelar operasi lilin untuk menghadapi libur panjang natal dan tahun baru, guna memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat (https://cirebon.tribunnews.com/2019/12/16).

Kemacetan di jalan raya bukan hal yang baru. Berbagai upaya telah dilakukkan pemerintah terkait, tapi alih-alih terurai malah semakin rumit. Dilansir dari pikiranrakyat.com, Asian Development Bank pernah menyebut Bandung sebagai kota termacet se-Indonesia. Hal itu bukan isapan jempol dan dapat dibuktikan dengan melihat situasi jalanan Kota Bandung saat libur panjang. Dosen dan pakar transportasi Institut Teknologi Bandung Sony Wibowo mengatakan, kemacetan yang semakin menjadi adalah imbas dari kebijakan publik Pemkot Bandung yang belum jelas.

“Selama ini belum ada kejelasan pemerintah untuk membatasi kendaraan pribadi melintas di jalan. Padahal, itu jadi salah satu cara mengurangi kemacetan,” katanya.

Sony mengatakan, pemerintah sepatutnya memperbaiki sarana transportasi massal, mulai dari perbaikan fisik kendaraan, penentuan rute yang tepat sasaran, hingga mengerti apa yang jadi masalah sopir.

“Entah kenapa, pemerintah belum memperbaiki moda transportasi massal. Padahal jelas, salah satu penyebab kemacetan di Bandung karena masifnya pemakaian kendaraan pribadi,” ujarnya.

Program angkot wisata yang disebut Sony Wibowo itu datang dari ide masyarakat. Namun, program tersebut berjalan hanya seumur jagung. Sebab, pemerintah tak serius mendukungnya. Sony Wibowo menekankan agar lahan parkir di Kota Bandung wajib diperluas karena banyaknya tempat makan dan bersantai seperti di Jalan Braga.

Jika ditelisik, kemacetan paling tidak disebabkan oleh empat hal : Pertama, volume kendaraan yang melebihi kapasitas jalan. Akibatnya jalan raya dijubeli jutaan mobil dan motor yang mengakibatkan kemacetan. Kasus di Jakarta misalnya, daya tampung jalan hanya 7,8 juta unit tapi kendaraan yang bertebaran sekitar 17 juta unit. Belum lagi tambahan ribuan kendaraan baru per hari. Menurut data Polda Metro Jaya, rata-rata penambahan kendaraan baru sekitar 6.000 unit per hari (12% per tahun), sebaliknya penambahan ruas jalan baru hanya sekitar 68 km per tahun (0,01%).

Kedua, buruknya layanan transportasi publik. Mulai dari tarif yang mahal, armada yang tidak layak dan sering kecelakaan, rute yang tidak representatif sampai ancaman kriminalitas yang mengintai para pengguna. Marak kita dengar kasus pelecehan seksual, pencopetan, bahkan penodongan dan penyanderaan.

Ketiga, banyaknya infrastruktur jalan yang rusak dan perbaikan yang tambal sulam. Di Jawa Barat saja yang notabene episentrum industri Nasional, menurut kepala dinas Bina Marga M Guntoro, Kerusakan jalan mencapai 40%. Mari bayangkan berapa persen kerusakan jalan di kawasan Indonesia Timur dan di daerah pelosok? bisa jadi 90%. Jalur Pantai Utara (pantura) yang menjadi nadi infrastruktur jalan Pulau Jawa, merupakan potret praktik tambal sulam infrastruktur negeri ini. Sudah begitu, dalam banyak kasus, anggaran perbaikan disunat hampir 40%. Celakanya lagi perbaikan berlangsung saban tahun menjelang lebaran. Dengan metode tambal sulam, tidak mengherankan jika umur jalan tidak bertahan lama.

Keempat, budaya tertib lalu lintas yang rendah dikalangan pengendara. Tidak adanya edukasi masif dan sistemis tentang tata cara berlalu lintas yang baik dan benar kepada masyarakat mengakibatkan rendahnya kepatuhan akan aturan. Akibatnya bisa ditebak, lalu lintas jalan menjadi semeraut dan rawan kecelakaan.

Secara teoritis merancang solusi kemacetan tidaklah sulit. Mengacu pada pemetaan penyebab kemacetan di atas, jika memiliki kemauan (political will), pemerintah harusnya bisa dengan mudah mengurai kemacetan, antara lain dengan: membatasi produksi dan distribusi kendaraan pribadi; menghapus praktik kredit-leasing kendaraan yang batil dan ribawi;  memperbanyak kuantitas dan kualitas transportasi umum;  membenahi infrastruktur secara masif, merata dan tanpa utang; serta edukasi dan asistensi kepada masyarakat tentang budaya tertib berlalu lintas.

Pertanyaanya, maukah pemerintah kita? Dengan pandangan (filosofi) politik pemerintah yang sekuler dan liberal, tawaran solusi di atas hampir mustahil terlaksana.

Faktanya pemerintah kita meminimalkan keterlibatanya dalam pengurusan sektor publik, sebaliknya menyerahkan tanggung jawab kepada swasta untuk membangun dan mengelola transportasi. Bus umum, jalan tol, kereta cepat, monorel, MRT, pesawat dan lain-lain dikuasai swasta.

Faktanya kementerian Pekerjaan Umum (PU) di pusat maupun Dinas PU di daerah, yang harusnya membangun dan memelihara jalan, malah dipenuhi "tikus" pemakan aspal. Sebagai gambaran, sepanjang 2016 setidaknya ada 157 pejabat PU yang tersangkut korupsi baik di pusat maupun di daerah.

Islam sangat memperhatikan kepentingan masyarakat seperti halnya penyedia fasilitas umum dan rasa keamanan dan kenyamanan bagi semua pihak. Kebijakan yang lebih spektakuler ditunjukkan penguasa negara era Khilafah Islam dulu. Khalifah sebagai representasi penguasa negara mengeluarkan dua pendekatan kebijakan sistem transportasi.

Pertama, kebijakan langsung dengan strategi perencanaan pemerataan pembangunan dan penataan infrastruktur.
Kedua, kebijakan tidak langsung dengan strategi pembinaan dan pengembangan SDM dan teknologi.

Saat Baghdad dijadikan ibukota negara, kekhilafahan Abassiyah menjadikan setiap bagian kota hanya untuk sejumlah penduduk tertentu. Bagian kota tersebut dilengkapi dengan prasarana publik yang dibutuhkan warga, seperti masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan.

Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah tidak ketinggalan. Dengan kebijakan perencanaan kota seperti itu, sebagian besar warga tak perlu berurbanisasi untuk memenuhi kebutuhannya, menuntut ilmu atau bekerja karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar dan memiliki kualitas yang standar.

Pembangunan yang merata dan ketersediaan lapangan kerja di setiap wilayah akan menghindari konsentrasi warga negara pada satu wilayah tertentu, serta dapat mengatasi urbanisasi dari desa ke kota yang berlebihan.

Khilafah sangat memperhatikan pembangunan jalan dan sarana pendukungya. Khalifah Umar bin Khattab ra misalnya sampai pernah berkata, “Seandainya ada kambing yang terperosok lubang di Hadramaut (Iran), maka aku bertanggung jawab terhadapnya.“
Selain jalan raya, Khilafah juga membangun jalur kereta api (railway). Khalifah Abdul Hamid II pada 1900 mencanangkan proyek Hijaz Railway. Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul, ibukota Khilafah hingga Mekkah, melewati Damaskus, Jerusalem dan Madinah. Di Damaskus, jalur ini terhubung dengan Baghdad Railway yang rencananya sampai ke Timur menghubungkan seluruh negeri Islam lain.

Demikianlah perbedaan ri’ayah su’unil ummah di era kapitalis saat ini dan era kegemilangan Islam. Berharap mendapatkan kenyamanan tanpa aturan Islam seakan mimpi di siang bolong. Bersifat parsial dan tidak solutif.
Wallahu a’lam bi ash-Shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post