Demokrasi Biang Keladi Prostitusi

Penulis : Ammylia Rostikasari, S.S.
(Komunitas Penulis Bela Islam)

Terkuak lagi kasus prostitusi online yang melibatkan selebriti di negeri ini. VA dan AF yang tertangkap basah di kamar hotel berbeda di Surabaya, tengah meladeni syahwat bejat lelaki hidung belang.

Bicara prostitusi di negeri ini seolah tak ada habisnya. Berharap zina menghilang, yang terjadi justru makin berkembang. Bahkan sampai berbasis digital. Pemasarannya bukan lagi off line, kini marak di zona on line.

Yang lebih mencengangkan lagi, sebuah situs yang memantau aktivitas pasar gelap dunia, Havocscope, merilis negara-negara yang memiliki pendapatan tertinggi di dunia prostitusi. Parahnya, maraknya praktik prostitusi di Tanah Air menempatkan Indonesia berada di urutan ke-12.

Havocscope mencatat total perputaran uang dari bisnis prostitusi di dunia, mencapai US$ 186 miliar atau bila dihitung dengan kurs saat ini mencapai Rp2.697 triliun (kurs: Rp14.500/dolar AS) (detik.finance, 7/1/2019).
Indonesia merupakan negara yang menganut 4 kebebasan, yaitu kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan berpendapat ( freedom of speech), kebebasan berperilaku (freedom of act) dan kebebasan kepemilikan (freedom of ownership). Paham ini merupakan pilar dari sistem demokrasi. Sebuah sistem yang dihasilkan semata dari logika manusia.

Adapun prostitusi yang tak lain adalah zina yang dikomersialkan, eksistensinya semakin masif dan inovatif karena ditunjang dengan adanya paham kebebasan tersebut, terutama payung kebebasan berperilaku.

Bahkan pelaku yang menjajakan jasa asusilanya tidaklah dianggap sebagai sebuah tindak kriminal, begitu pun dengan penikmat syahwatnya. Karena negara yang mendewakan paham kebebasan ini mengadopsi bahwa zina merupakan ruang privat. Tak ada sanksi untuk penjajak dan penikmatnya. Yang dijerat hukum adalah mucikarinya.

Dalam klinik hukum berjudul “Pasal untuk Menjerat Pemakai Jasa PSK”, dijelaskan dalam ketentu-an Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengguna PSK maupun PSK itu sendiri. Ketentuan KUHP hanya dapat digunakan untuk menjerat penyedia PSK/germo/muncikari berdasarkan ketentuan Pasal 296 jo. Pasal 506 KUHP:

Pasal 296
Barang siapa yang mata pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah (hukumonline.com/7/1/2019).
Fakta tersebut sangatlah kontras dengan pandangan Islam. Yang memandang bahwa zina sebagai perbuatan yang mengundang dosa besar dan murka Sang Pencipta. Jangankan berbuat zina, mendekatinya saja tidak dibolehkan.

“Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (T.Q.S. Al-Isra: 32).

Karena zina adakah perbuatan kriminal dalam pandangan Islam, pelakunya dikenakan sanksi tegas. Bagi yang belum menikah (ghayr muhshon) dijilid 100 kali dan bagi yang telah menikah (muhshon) dikenai rajam (lihat Q.S. An Nur: 2-4).

Ketegasan hukuman dalam Islam tentu saja ajak manjur meredam tindak perzinaan, tak seperti demokrasi yang nyata menjadi biang keladi bahkan cenderung memfasilitasi prostitusi dengan paham kebebasannya.

Selain itu, Indonesia pun menjadikan prostitusi sebagai lahan basah penghasil pundi-pundi. Kentalnya kapitalisasi telah membuat supply and demand  (permintaan dan penawaran) sebagai ruh dalam perbisnisan kotor ini.

Tak hirau apakah maslahat atau mudharat, yang utama adalah lembaran rupiah yang didapat. Semua rela dijalani meski harus mengorbankan kehormatan diri.

Masihkah kita akan bertahan dengan demokrasi yang telah nyata menjadi biang keladi dari setiap problematik umat yang terjadi, termasuk prostitusi?

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? “(Al-Maidah:50)
Wallahu’alam bishowab

Previous Post Next Post