Solusi Hakiki Atasi Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak




Oleh  Ernawati, A.Md.
  (Anggota Forum Muslimah kota Banjarbaru)

Adanya pejabat di Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Kalimantan Selatan, yang menjadi tersangka kasus KDRT, menambah panjang daftar kasus kekerasan perempuan dan anak di Banua. 

Dalam kunjungan kerja Komisi IV DPRD Prov Kalsel ke  Dinas Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (DPPA) Kabupaten Tabalong, H. Rusmadi, selaku Kepala Dinas (Kadis) PPA, menyampaikan bahwa di tahun 2020 ada total 22 kasus, dan di tahun 2021 ada total 35 kasus. Pada tahun 2020, didominasi kasus perebutan hak asuh anak, penelantaran, pencabulan dan bullying. Sedangkan di tahun 2021,  masih didominasi kasus perebutan hak asuh anak, pencurian dan pencabulan.

Sementara itu, Kadis PPA kota Banjarmasin, Iwan Fitriady juga menyampaikan hal yang senada. Terhitung hingga awal Desember 2021 sudah ada 83 kasus yang dilaporkan ke pihak DPPA, sedang di tahun 2020 lalu terdata 77 kasus. Demikian juga Data SIMFONI PPA Kalsel, mencatat 273 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di tahun 2020 lalu, sedangkan di tahun 2021, ada 252 kasus. 

Walaupun ada penurunan dari tahun sebelumnya, namun  angka ini menunjukkan masih banyaknya kasus seperti ini. Terlebih adanya pandemi juga memberi andil. Penurunan angka pun lebih diduga karena masih ada rasa takut dari korban untuk melapor, atau juga karena menganggap kasus ini adalah aib sehingga tidak dilaporkan. Demikian keterangan yang disampaikan oleh Husnul Hatimah selaku Kepala Dinas PPA Provinsi Kalsel. (Banjarmasinpost, 4/12/2021)

Maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, baik di tingkat lokal maupun nasional, semakin menguatkan indikasi perlunya solusi yang komprehensif atas persoalan ini. Adanya UU RI No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dianggap belum cukup untuk mengatasi masalah ini.

 Demikian juga untuk di Kalsel, ada Perda Kalsel No 11 tahun 2018 tentang PPPA. Kemudian, RUU TPKS yang masih belum disahkan DPR RI, digadang gadang dapat menjadi jalan penyelesaian atas meningkatnya kekerasan terhadap perempuan dan anak. 

Banyak kalangan, terlebih pegiat gender, yang mendorong untuk segera disahkan rancangan undang-undang tersebut. Bahkan Presiden Jokowi di kanal youtube Sekretariat Presiden (4/1/2022), mendorong percepatan pembahasan RUU TPKS, dengan memerintahkan Menteri Hukum dan HAM serta Menteri PPPA untuk segera berkoordinasi, konsultasi dengan DPR RI. 

Presiden juga meminta Gugus Tugas Pemerintah yang menangani RUU TPKS untuk segera menyiapkan Daftar Inventarisasi Masalah terhadap draf RUU yang sedang dipersiapkan oleh DPR RI, sehingga  proses pembahasan bersama bisa lebih cepat masuk ke pokok-pokok substansi untuk memberikan kepastian hukum serta menjadi perlindungan bagi korban kekerasan seksual. (Kompas, 5/1/2022)  

Sayangnya, apa yang menjadi pemicu terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak, tidak disorot secara seksama. Sistem kehidupan sekuler yang mengedepankan nilai-nilai liberal, hedonis, oportunis, telah menumbuhsuburkan perilaku yang amoral dan bebas nilai agama. Inilah faktor utama yang menjadi sebab munculnya beragam masalah. Termasuk adanya kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta kasus KDRT.

KDRT misalnya, terjadi karena minimnya pemahaman mereka terhadap filosofi berumah tangga. Adanya pihak yang mengabaikan atau tidak menjalankan hak dan kewajiban suami isteri dalam rumah tangga. Sehingga berpengaruh pada keharmonisan hubungan suami isteri. Atau bisa juga karena faktor ekonomi dan kesulitan hidup yang memang  jamak dialami rakyat dalam kehidupan hari ini. Yang akhirnya juga akan berpengaruh pada ketidakharmonisan hubungan suami isteri. Ditambah pula ketika menghadapi persoalan rumah tangga, tidak merujuk pada ketentuan-ketentuan agama. 

Contoh lain, adalah maraknya kasus kekerasan seksual pada anak. Baik terjadi di dalam rumah ataupun di luar rumah. Bahkan ada yang terjadi di lembaga pendidikan yang notabene adalah wadah untuk membentuk karakter anak menjadi berkepribadian luhur. Pelakunya kadang adalah orang-orang dekat, yang beraktifitas bersama anak-anak tersebut.

 Hal ini menjadi bukti bahwa rasa aman tidak dapat dijamin oleh negara. Kalaupun ada perundangan yang mengatur terkait masalah tersebut, hanyalah berupa tindakan kuratif atas pelanggaran yang dilakukan. Itupun terkadang tidak menghadirkan rasa keadilan bagi pelaku dan korban. Sementara tindakan preventif yang harusnya dilakukan oleh negara, justeru tidak ada. Bahkan sangat memungkinkan dalam sistem sekuler kapitalis bermunculan pelaku-pelaku kriminal atau menyimpang tersebut.

Oleh karena itu, memandang persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak, tidak bisa dipisahkan dengan persoalan lainnya. Maka solusinya pun demikian. Dengan mendesakkan pengesahan RUU TPKS, sangat mungkin akan memunculkan persoalan baru. 

Pandangan Islam tentang Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

Dalam Islam, perempuan merupakan kehormatan yang wajib dijaga. Maka syariat Islam terkait dengan perempuan, semuanya dibangun atas prinsip ini. Peran utama perempuan adalah ummu wa rabb al-bait (sebagai ibu dan pengatur rumah tangga). Peran ini adalah salah satu yang akan menjamin pemeliharaan terhadap anak.

 Oleh karena itu, Islam membedakan hak dan kewajiban untuk laki-laki dan perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Negara pun akan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang memberikan jaminan terlaksananya peran laki-laki dan perempuan tersebut secara optimal. Termasuk negara akan menjamin adanya edukasi yang berkesinambungan bagi laki-laki dan perempuan terkait hak dan kewajiban dalam rumah tangga. Sehingga meminimalisir terjadinya pelanggaran terhadap hak dan kewajiban masing-masing. 

Sebagai contoh, Islam menetapkan kewajiban mencari nafkah untuk laki-laki (suami ataupun anak laki-laki). Maka negara akan menjamin terbukanya lapangan kerja yang luas untuk para laki-laki, sehingga dapat memenuhi kewajibannya. Bahkan akan memberikan sanksi kepada laki-laki yang mengabaikan kewajibannya ini. 

Allah Swt. berfirman :
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya" (TQS ath-Thalaq : 7)
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu" (TQS al-Baqarah : 233)

Demikian juga, Rasulullah saw. telah berpesan kepada laki-laki tentang urusan perempuan.
Diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda :
“Orang yang paling baik diantara kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya. Dan aku adalah orang yang paling baik dari kalian terhadap keluargaku.” (HR al-Hakim dan Ibn Hibban dari jalur ‘Aisyah ra)

Oleh karena itu, Islam sangat menentang adanya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Maka sudah seharusnya, umat merujuk solusinya kepada Islam dan seperangkat aturannya yang  mampu menjamin0pp terlaksananya tindakan preventif dan kuratif sekaligus.  

Wallahu a'lam bisshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post