BLT, Solusi yang Ilusi

Oleh : Wulandari Muhajir

Nyatanya pandemi covid-19 bukan hanya melibas banyak nyawa, tapi juga mampu mengambrukkan banyak kantor dan beberapa sektor, termasuk salah satunya sektor ekonomi. Hal tersebut mengakibatkan banyak pekerja swasta mengalami pemotongan upah hingga pemutusan hubungan kerja. 

Menanggapi persoalan demikian Pemerintahan Presiden Jokowi pun mengambil langkah dengan menyiapkan anggaran Rp 37,7 triliun untuk program bantuan subsidi upah. Bantuan tersebut akan disalurkan kepada para karyawan swasta dengan gaji di bawah Rp 5 juta.

Dilansir dari Kompas.com (11/07/2020) Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Erick Thohir mengatakan, program stimulus ini sedang difinalisasi agar bisa dijalankan oleh Kementerian Ketenagakerjaan pada September 2020.

"(Bantuan) akan langsung diberikan per dua bulan ke rekening masing-masing pekerja sehingga tidak akan terjadi penyalahgunaan,” ujar Erick.

Erick menambahkan, fokus bantuan pemerintah ini adalah 13,8 juta pekerja non-PNS dan BUMN yang aktif terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan dengan iuran di bawah Rp 150.000 per bulan atau setara dengan gaji di bawah Rp 5 juta per bulan.

Menurut Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah, penggunaan data BPJS Ketenagakerjaan sebagai dasar pemberian bantuan subsidi dinilai paling akurat dan lengkap. Agar bantuan diberikan tepat sasaran, Kemenaker juga membentuk tim koordinasi pelaksanaan yang didampingi secara langsung oleh kepolisian, kejaksaan agung, BPK, BPKP, dan KPK. 

Langkah solutif tapi Diskriminatif
Tentu saja program tersebut disambut hangat oleh beberapa masyarakat, mengingat banyak masyarakat yang kondisi keuangannya sangat terdampak serius. Namun banyak pula yang menilai  jika program tersebut diskriminatif. Hanya menyentuh lapisan tertentu. Bantuan tidak menyasar semua lapisan masyarakat yang sangat membutuhkan bantuan.

Sebut saja para honorer. Bahkan honorer K2 yg sudah mengabdi pada rakyat sepanjang 16 tahun lebih pun tidak terlirik. Padahal seantero Indonesia tentu tahu besaran gaji yang mereka dapatkan. Atau para pekerja yang ter-PHK. Di mana mereka tentu bukanlah anggota yang membayar iuran BPJS secara aktif. Jangankan membayar iuran, untuk kebutuhan sehari-hari pun jauh dari kata cukup. Pada akhirnya mereka hanya bisa gigit jari, tatkala pemerintah tengah semringah membagikan bantuan.

Parahnya, Menteri BUMN menyebutkan tujuan pemerintah menggelontorkan bantuan gaji tambahan ini adalah untuk mendorong konsumsi masyarakat di tengah pandemi Covid-19 "Hal ini penting untuk menggerakkan perekonomian dan mendorong pemulihan ekonomi,” kata Erick Thohir (Republika, 11/07/2020)

Pernyataan tersebut tentu semakin menguatkan betapa  kacaunya program tersebut. Kehadirannya bukan untuk menolong rakyat yang sangat membutuhkan uluran tangan pemerintah. Kehadiran program upah tersebut sekedar untuk mendongkrak ekonomi yang tengah menukik.

Namun, tidak mengherankan memang. Mengingat dalam sistem kapitalisme hubungan negara dan rakyat ibarat penjual dan pembeli. Pelayanan negara hanya berstandar pada keuntungan materi. Contohnya saja masalah kesehatan, yang merupakan kebutuhan pokok tiap individu masyarakat yang wajib dipenuhi oleh negara. 

Namun kenyataannya, pemerintah justru menarik iuran bagi masyarakat untuk pelayanan kesehatan. Pada akhirnya, masyarakat yang terkategori kelas bawah tidak mendapatkan pelayanan yang manusiawi. 

Bahkan disaat wabah pandemi saat ini empati negara tidak gentar sedikitpun. Kesehatan tetap menjadi 'barang mahal'. Akibatnya banyak nyawa melayang sia-sia. Tentu kita masih ingat seorang Ibu asal Makassar (Sul-Sel) yang kehilangan bayi dalam kandungannya lantaran tersandung masalah ekonomi.

Penerapan Islam adalah Solusi
Tidak bisa dipungkiri, dizaman sekarang, saat manusia hidup berdampingan dengan teknologi yang serba canggih, ada saja yang menganggap penerapan syariah islam secara kaffah adalah suatu yang  ilusi, kuno, kolot, dan sebutan tidak mengenakkan lainnya. Tatkala banyak ormas yang koar-koar bahwa islam adalah solusi atas permasalahan umat saat ini, tapi tetap saja ditelan mentah-mentah oleh rezim dan pengekornya. 

Mereka menganggap islam hanya terkait urusan seorang manusia dengan Tuhannya. Padahal itu keliru besar. Sebab islam adalah agama yang sempurna dan paripurna. Dalam islam terdapat aturan yang mengatur segala bentuk interaksi antar sesama manusia, seperti sistem sosial, ekonomi, politik dan lainnya. 

Aturan-aturan tersebut meniscayakan adanya negara yang akan melaksanakan dan menerapkan aturan-aturam tersebut kepada manusia. Islam memiliki sistem yang khas terkait masalah pemerintahan. Islam juga menuntut adanya kepala negara untuk menjalankan hukum syara kepada rakyatnya.

Dengan demikian negara yang menerapkan islam akan memposisikan diri sebagai raa'in bagi rakyat yang dipimpinnya. Seperti yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW : “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).

Berdasarkan hadis tersebut jelas bahwa para Khalifah, sebagai para pemimpin yang diserahi amanah untuk mengurus kemaslahatan rakyat. Yang kelak kepemimpinannya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT, apakah mereka telah mengurusnya dengan baik atau tidak.

Makna raa’in ini digambarkan oleh Umar bin Khaththab, ketika beliau memanggul sendiri sekarung gandum yang akan diberikan kepada seorang ibu dan anaknya yang kelaparan. Atau ketika beliau di tengah malam membangunkan istrinya untuk menolong seorang perempuan yang hendak melahirkan.

Begitu juga yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang berusaha keras memakmurkan rakyat dalam 2,5 tahun pemerintahannya sampai-sampai tidak didapati seorangpun yang berhak menerima zakat.

Jadi kehadiran pemimpin dalam sistem islam adalah untuk memakmurkan rakyat. Bukan sebaliknya, memeras rakyat dan memakmurkan diri dan golongannya, juga pemilik modal (kaum kapitalis). 

Semua itu jelas berbanding terbalik dengan negara kita saat ini yang masih kuat memegang erat sistem kapitalisme. Yang mana rakyat hanya menjadi pengganjal perekonomian, negara hadir hanya untuk menyuapi dan memfasilitasi para pemilik modal. Jadi tidak heran jika kebijakan yang diambil selalu berbelok pada pemilik modal. 

Bukankah anjloknya perekonomian sangat berpengaruh besar pada imperium bisnis mereka. Dan cara mempercepat pemulihan perekonomian adalah suatu keharusan, apapun resikonya. Termasuk jika harus menjadikan rakyat sebagai ganjalan.
WalLahu'alam bish shawab.
Previous Post Next Post