Politik Dinasti, Kritik Terhadap Demokrasi

Oleh : Beta Arin Setyo Utami, S. Pd.

Kata “demokrasi” bukan lagi menjadi hal yang awam bagi kita, apalagi di Indonesia. Demokrasi menjadi sistem andalan dalam pelaksanaan kebijakan di negeri ini. 

 Bahkan Indonesia mendapat peringkat ke- 4 sebagai negara terdemokratis di Asia Tenggara. Maka  segala hal yang berkaitan dengan pengaturan semua bidang kehidupan di Indonesia berporos pada sistem demokrasi. Jargon yang begitu popular ala demokrasi, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Apalagi jargon “suara rakyat, suara tuhan” juga menjadi jargon yang melekat pada sistem demokrasi. Konsekuensinya rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan mendapat kesempatan yang sama dalam di setiap aspek kehidupan. Misalnya dalam pemilu yang merupakan implementasi dari demokrasi dan sebagai ajang pesta rakyat untuk memilih peminpin yang dianggap ideal.  

Di Indonesia, ajang pemilu tahun ini terus melenggang dengan banyak media yang sudah mulai ramai akan pemberitaan calon-calon kepala daerah yang siap unjuk gigi dalam pertarungan ajang pesta rakyat ini. Sekalipun wabah atau virus covid-19 belum kunjung mereda di Indonesia, tetapi seakan tidak mempengaruhi pemilu kali ini. Kebetulan atau memang sudah bawaan adanya bahwa pemilu di negara-negra yang pekat sistem demokrasinya, tak terkecuali di Indonesia sarat akan politik dinasti yang melibatkan banyak politikus melalui keluarga sampai sanak saudara hingga kerabat ikut tampil dalam dunia politik. Sesuai yang disampaikan oleh akademisi UGM, Kuskrido Ambardi bahwa politik dinasti di Indonesia merupakan satu hal yang memang direncanakan untuk terjadi dan politik dinasti yang ada saat ini memang saling berkaitan dengan fenomena kartelisasi (oligarki) politik oleh partai-partai politik besar. Berikut deretan politik dinasti calon kepala daerah pada Pilkada tahun 2020 yang dihimpun AKURAT.CO seperti Gibran Rakabuming Raka (anak dari Presiden Jokowi) sebagai calon walikota Solo, Bobby Nasution (menantu Presiden Jokowi) akan maju di pilkada Medan, Siti Azizah (anak Wapres Ma’aruf Amin) sebagai calon walikota Tangsel, Rahayu Saraswati (keponakan Prabowo Subianto) sebagai calon walikota Tangsel dan Pilar Saga Ichsan (anak Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah) sebagai calon wakil walikota Tangsel. Masih banyak lagi nama-nama lainnya keluarga dan kerabat dari pejabat yang ikut meramaikan ajang pesta rakyat ini. Seperti anak Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Hanindhito Himawan Pramono (Pilkada Kediri), istri Bupati Banyuwangi Azwar Annas, Ipuk Fiestiandani (Pilkada Banyuwangi), dan adik Mentan Syahrul Yasin Limpo, Irman Yasin Limpo (Pilkada Makassar), Kompas.com. 

Dengan demikian bahwa politik oligarki yang dibangun oleh partai politik berkuasa dan politik dinasti yang dilakukan para elit politik adalah keniscayaan dalam demokrasi. Ditambah jika para calon masih kerabat dekat yang berkolega dengan elit politik yang berkuasa saat ini disinyalir bisa melahirkan politik kepentingan untuk memperluas pengaruh politik bahkan penyalagunaan wewenang. Senada yang disampaikan oleh pengamat politik dari Universitas Al-Azhar, Ujang Komarudin bahwa semisal presiden mencalonkan anak juga menantu di pilkada akan menimbulkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang, sebab Presiden memiliki semua sumber daya untuk bisa memenangkan calonnya mulai dari kekuasaan, jaringan, birokrasi, hukum, finansial dan lain-lain, kemungkinan itu (penyalahgunaan wewenang) bisa terjadi dan akan ada sekalipun akan disiasati akan tak sebegitu mencolok di hadapan publik. Karenanya politik dinasti adalah salah satu hasil mutlak atau bawaan yang tidak bisa dilepaskan dari sistem demokrasi. Terlebih adanya dukungan legal dari MK (Majelis Konstitusi) menyatakan bahwa MK membatalkan Pasal 7 huruf (r) UU No.8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang menerangkan syarat calon kepala daerah (gubernur, bupati, atau walikota) tak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana. Keputusan dan kebijakan MK tersebut menjadi kekuatan legal dalam menumbuhsuburkan dinasti politik dan oligarki di sistem demokrasi di Indonesia. 

Belum lagi, dana yang harus dikeluarkan untuk melenggang di dunia perpolitikan demokrasi masuk nominal yang sangat besar mulai dari pencalonan, kampanye dan biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan serentetan pemilu. Dikutip dari matamatapolitik.com (30/11/2019), bahwa anggaran partai politik yang diberikan oleh negara mencapai Rp 111 M per tahun. Jika calon tidak mampu dari segi biaya bahkan gajinya kelak jikapun jadi menjabat tidak akan mampu menutupi besarnya biaya tersebut. Maka cara yang sering ditempuh adalah bekerjasama dengan pengusaha untuk mendanai majunya sang calon. Penguasa yang dibiayai pengusaha, ketika menjabat akan membalas budi pengusaha. Inilah yang dikatakan politik kepentingan dan balas budi, atau perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha, sehingga rakyat tidak akan menjadi prioritas lagi setelah pemilu usai. Karena pejabat sudah disibukkan dengan kejar target balik modal dan balas budi. 

Demikianlah wajah demokrasi yang sesungguhnya, sangat berbeda jauh dengan sistem Islam dengan segala keagungannya dari Sang Pencipta juga Sang Pengatur, Allah SWT. Islam menggariskan pemimpin diraih dengan syarat yang ditentukan oleh syariat dan mendapat dukungan nyata umat dikarenakan ketakwaan dan kapasitasnya untuk menjalankan perintah syariat bukan dalam rangka mencari keuntungan juga kepentingan. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab, beliau mengharamkan nyala dari lilin ynag beliau gunkan untuk berkomunikasi mengenai kehidupan pribadinya. Dengan ini, Islam akan membentuk pemimpin dan sistem yang amanah, tidak mementingkan pribadi ataupun kelompok. Sebab, menjadi pemimpin adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. 
Wallahu a’lam bish-shawab.
Previous Post Next Post