Cahaya Dalam Gelap

Oleh : Yuli Mariyam

Suasana rumah itu seakan mati, ada tiga nyawa di sana tapi tak ada komunikasi antara satu dengan yang lain. Mak Ar masih menahan isakan tangisnya setelah menjerit beberapa saat yang lalu, meski tangannya tetap mengerjakan pekerjaan rumah dan menyiapkan dagangannya untuk anak-anak taman pendidikan alquran di sebelah rumahnya.

 Mak Ar, janda dengan tiga anak yatim yang kini telah sama-sama dewasa, anak pertamanya telah menikah dan tinggal di luar kota, meski awalnya tak menyetujui sulungnya  menikah dengan janda beranak dua itu, namun apalah daya rasa cinta itu tak dapat di beli di toko manapun, iapun merelakan anaknya tinggal nun jauh disana, meski kepulangannyapun tak bisa di harapkan tiap tahunnya. Dan kini hanya tinggal dia dan kedua anaknya.
  
Air mata itu tak terbendung lagi kala laki-laki yang menagih uang pada anak  keduanya datang, jantungnya bagai dihantam palu gadam ketika mendengar nominal yg harus dibayar anaknya

" Lima juta?" Mak Ar terbelalak sambil mulutnya terbuka.

Angka yang sangat besar baginya, setelah beberapa kali tagihan yang sama datang di dua pekan yang lalu. Dua juta, belum lagi cicilan-cicilan yang harus di bayar tiap bulan, seperti kemarin saat seorang perempuan mengatakan Arul menunggak pembayaran cicilan Hp yang setiap bulannya tujuh ratus ribu, bulan ini adalah bulan ke tiga dan masih ada tiga bulan lagi, harga yang cukup mahal untuk sebuah Hp, sedang menurut perempuan itu pembayaran bulan kemarin hanya di beri empat ratus ribu dan saat ini nomor teleponnya telah di blokir oleh Arul, rupanya itu dilakukan untuk menghindari kejaran tagihan yang dilakukan lewat pesan singkat.

" Memang hutangnya ada berapa?" Tanya Mak Ar pada pemuda itu.

" Awalnya dia pinjam dua juta, belum tuntas cicilannya di bulan berikutnya tiga juta jadi total lima juta rupiah" Ujar pemuda itu.
" Bukankah bulan yang lalu saya sudah mencicil dua juta?" Mak Ar mengingat sembari 
mengeritkan dahinya, menurutnya hitungan ini seakan tak masuk akal.

"Itu cuma bunganya" Pemuda itu kembali menjawab dengan menyunggingkan senyum sinis.

"Kok banyak?" Tanya Arul yang duduk di hadapannya.

"Itu sudah ada di perjanjian" Pemuda itu menjawab dengan entengnya.

Mak Ar baru menyadari jika Arul ternyata telah meminjam uang kepada rentenir. Sebenarnya Arul bukanlah pemuda yang kekurangan, meski yatim tapi sejak kecil tapi ia selalu mendapat santunan dari banyak yayasan yatim piatu, keluarga besar ibunya juga sangat menyayanginya, tak ada beda antara anak mereka sendiri ataupun Arul yang notabenenya berstatus keponakan.

 Sepeninggal suaminya yang terkena Leokimia, Mak Ar harus mencari nafkah sendiri, mengerjakan tugas rumah sendiri, menyekolahkan ke tiga putranya sampai lulus sekolah teknik menengah setingkat menengah atas  agar mendapat bekal untuk bekerja, putra pertamanya sudah membuktikan itu dan membantu ibunya menyekolahkan dua adiknya, namun setelah Arul lulus sekolah rupanya pergaulan membuatnya terkontaminasi kebiasaan buruk teman-temannya, Judi menghabiskan uang gajinya yang ia kumpulkan dengan keringatnya sendiri, iming-iming lipat ganda uang dari meja perjudian online membuat dia pontang-panting menutupi gaya hidupnya, dari meminjam uang ke saudara, teman, menggadaikan barang -barang miliknya seperti Hp bahkan sepeda motor yang masih belum lunas cicilannya, surat-surat berharga sampai meminjam uang pada rentenir.

"Gini saja nak ya, lain kali tolong kalau Arul meminjam lagi, jangan di beri, dia ini belum bisa bertanggung jawab atas perbuatannya, pakaian saja masih harus saya yang cuci,  tolong jangan lihat dia yang pinjam tapi lihatlah ibuk ini, uang apa yang akan ibuk pakai untuk menutup pinjaman itu, apa lagi itu berbunga?" Mak Ar memohon dengan mendatarkan suaranya, hatinya tak henti-hentinya beristighfar memohon ampunan dan kesabaran kepada pemilik jiwanya.

"Kalau sekarang kami belum punya, nanti hari jumat kalau Arul gajian, sampean kesini, kami akan lunasi" tegas Mak Ar diikuti kepergian semua dari teras rumah itu.
 Kamis sore, Aril anak bungsu Mak Ar yang juga adiknya Arul berwajah geram sambil memandangi layar Hpnya, beberapa story Wa berisi ejekan dan juga ancaman yang di tujukan untuk kakaknya di tulis oleh pemuda rentenir itu.

[ Mau laporkan saya ke polisi? Ayo saya turuti kemauanmu,
 jangankan ke polsek, polda juga saya jabani.
Orang kere saja kok bergaya
Dimana ada ceritanya, anakan dari hutang di hitung cicilan 
Kalau tidak bisa bayar ya sini kembalikan induk hutangnya semua
Tidak usah banyak gaya, lihat ibumu yang menangis itu
Sok mau melaporkan ke polisi, kere...kere 
Kalau tetap tidak bisa, saya angkut nanti motornya]

 Rupanya Arul tak terima dengan jeratan hutang itu, hingga mengancam akan mepaporkan kepolisi. Aril semakin mengeratkan kepalan tangannya, ia paham bahwa motor yang di maksud di story itu adalah miliknya, pemberian kakak sulungnya yang beberapa minggu ini di pakai Arul, sedang motor Arul masih belum tahu dimana keberadaannya kecuali Arul sendiri.

 Sebulan yang lalu Arul memang bercerita ke Mak Ar kalau sehabis ia pergi dengan teman-temannya, mobil sewaan yang di pakai mengalami kerusakan sehingga motor Arul dipakai jaminan selama perbaikan, Mak Ar pun mengeluarkan uang pemberian Grandma, ibunya yang saat itu tanahnya laku terjual, untuk menebus dengan harga lima juta rupiah lagi, namun sampai kinipun motor Arul masih tak kunjung pulang.

 Jumatpun datang, saatnya Arul gajian, namun sebanyak apa gajiannya sehingga berjanji untuk menutupi hutangnya, benar-benar tak sebanding, siang itu Grandma dan saudari-saudari Mak Ar berkumpul dan membahas, inti dari pertemuan itu adalah bagaimana hutang itu tertutup dan tidak ada lagi hutang beranak. Kesepakatanpun diambil, kalung Grandma harus digadaikan untuk mendapat uang cepat dan karena ini adalah hari jumat, tidak bisa menjualnya, lagi pula toko perhiasan tutup sedang uang harus ada malam ini, namun ini belumlah berakhir, motor masih entah dimana, kalung masih di pegadaian meski mereka tahu sedikitnya riba yang di bayarkan bagai dosa ibu yang berzina dengan anaknya sendiri, begitu juga dengan cicilan Hp yang belum lunas, bagai kegelapan dunia dan isinya.

 Kini Arillah satu-satunya harapan Mak Ar, selain dari menunggu Arul kembali kejalan yang benar, di sepertiga malam terakhir ini Mak Ar masih bersimpuh dengan deraian air matanya memohon kepada pemilik jiwa, tetiba Aril mendekati seusainya berdoa.

"Ibuk..." wajahnya menyunggingkan senyum.

"Apa.." Mak Ar memandang wajah putra bungsunya dengan seksama.

"Ini, aku punya sedikit uang, barangkali ibuk pingin beli cincin" Aril menyodorkan uang dua ratus ribuan, Aril masih berumur dua puluh tahunan dan belum paham harga perhiasan, tapi ia ingin sekali membahagiakan ibunya meski dengan gajinya yang perminggu sekitar empat ratus ribuan, ia bisa memberi uang belanja dari setengah gajinya kepada ibunda tercintanya.

"Simpanlah untukmu, untuk keperluanmu" Mak Ar tak sanggup berkata lagi, air matanya meleleh karena bahagia.

"Ndak buk, ini buat ibuk, aku sudah ada, lagian butuhku cuma makan dan minum itu sudah ibuk sediakan dirumah" senyumnya mengembang di bawah mata yang berkaca-kaca.

Sujud syukur Mak Ar kali ini atas nikmat yang diberikan Tuhannya. Kita tak pernah tahu cahaya yang mana yang akan bersinar di kegelapan.

Tamat.

Post a Comment

Previous Post Next Post