Bencana alam bukanlah hal baru bagi masyarakat Indonesia. Sebagai negara yang terletak di kawasan cincin api, Indonesia kerap menghadapi gempa bumi, letusan gunung berapi, hingga tsunami. Tak terkecuali Kalimantan Selatan, yang baru-baru ini mencatat lebih dari 20 kali gempa bumi di berbagai wilayah sepanjang Desember 2024. Meski intensitasnya bervariasi, rentetan gempa ini menjadi pengingat bahwa risiko bencana tidak mengenal batas wilayah.
Bencana, di satu sisi, adalah ujian bagi manusia. Namun, di sisi lain, ia juga menjadi refleksi sejauh mana manusia mampu mengelola alam dan membangun sistem mitigasi yang baik. Dalam konteks ini, sistem kapitalisme yang mendominasi dunia saat ini seringkali terbukti gagal melindungi rakyat. Berbeda halnya dengan sistem Islam, yang memiliki paradigma penanganan bencana yang holistik dan berpihak sepenuhnya kepada manusia.
Paradigma Islam vs Kapitalisme dalam Mitigasi Bencana
Dalam sistem kapitalisme, kebijakan mitigasi bencana seringkali didorong oleh motif untung rugi. Regulasi mengenai tata ruang, standar bangunan, dan perlindungan lingkungan hidup kerap diabaikan jika dianggap merugikan investasi atau ekonomi jangka pendek. Akibatnya, pembangunan dilakukan tanpa memperhatikan risiko bencana, bahkan di wilayah-wilayah rawan seperti lereng curam, bantaran sungai, atau zona patahan.
Sebaliknya, Islam memandang mitigasi bencana sebagai bagian dari tanggung jawab negara terhadap rakyat. Dalam Islam, penguasa adalah pelayan rakyat yang wajib memastikan keselamatan mereka, termasuk dari ancaman bencana. Negara tidak hanya bertindak setelah bencana terjadi, tetapi juga mengantisipasi melalui perencanaan tata ruang yang baik, penyediaan infrastruktur berkualitas, dan pengelolaan lingkungan yang sesuai dengan syariat.
Langkah-Langkah Mitigasi dalam Islam
Islam menawarkan solusi yang komprehensif dalam menghadapi bencana, di antaranya:
Pertama, pengelolaan tata ruang berbasis syariat. Dalam sistem Islam, pembangunan dilakukan dengan memperhatikan prinsip kemaslahatan. Zona rawan bencana tidak boleh dijadikan kawasan pemukiman atau industri tanpa mitigasi yang memadai. Hal ini didasarkan pada kaidah syariat yang mengutamakan keselamatan jiwa manusia.
Kedua, penyediaan infrastruktur yang kuat dan aman. Negara Islam memastikan bahwa infrastruktur, termasuk bangunan umum, dirancang untuk tahan terhadap potensi bencana. Selain itu, fasilitas umum seperti jalur evakuasi dan tempat perlindungan disiapkan untuk meminimalkan korban jiwa.
Ketiga, pendidikan dan kesadaran masyarakat.
Islam memandang pentingnya edukasi masyarakat dalam menghadapi bencana. Negara bertugas memberikan pemahaman tentang langkah-langkah mitigasi, menjaga lingkungan, dan sikap yang benar saat menghadapi bencana.
Keempat, keberpihakan pada rakyat. Tidak seperti kapitalisme yang sering mengutamakan kepentingan korporasi, Islam memastikan setiap kebijakan sepenuhnya berpihak kepada rakyat. Anggaran negara difokuskan untuk melindungi rakyat, bukan untuk keuntungan segelintir pihak.
Kisah Khalifah Umar bin Khattab: Teladan dalam Menyikapi Gempa
Salah satu contoh nyata bagaimana pemimpin Islam menghadapi bencana dapat dilihat dari Khalifah Umar bin Khattab. Ketika Kota Madinah diguncang gempa, Umar menegur warganya dengan berkata:
“Wahai sekalian manusia, tidaklah gempa ini terjadi melainkan karena perbuatan kalian. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika peristiwa ini kembali terulang, niscaya aku tidak ingin tinggal bersama kalian lagi di tempat ini, untuk selama-lamanya.”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa Umar memahami bencana sebagai teguran Allah akibat kelalaian manusia. Ia mengingatkan masyarakat untuk bertobat, memperbaiki perilaku, dan kembali kepada jalan Allah. Umar juga menunjukkan ketegasannya sebagai pemimpin, yang tidak segan bertindak jika rakyatnya terus mengabaikan peringatan Allah.
Islam Sebagai Solusi Hakiki
Kisah Umar bin Khattab menjadi pelajaran penting tentang bagaimana seorang pemimpin dalam Islam menempatkan tanggung jawabnya di atas segalanya. Dalam naungan khilafah, mitigasi bencana tidak hanya berfokus pada infrastruktur atau tata ruang, tetapi juga pada aspek spiritual, yakni mendekatkan rakyat kepada Allah.
Selain itu, sistem Islam memanfaatkan seluruh sumber daya negara untuk kepentingan rakyat. Harta kekayaan negara, seperti hasil tambang dan zakat, digunakan untuk membangun infrastruktur, memberikan edukasi, dan memastikan kesiapan menghadapi bencana. Tidak ada tempat bagi kepentingan korporasi atau elite tertentu yang merugikan rakyat.
Bencana alam seharusnya menjadi momentum bagi umat untuk mengevaluasi sistem yang ada saat ini. Sistem kapitalisme yang berbasis materialisme terbukti gagal melindungi manusia dari ancaman bencana. Sebaliknya, Islam sebagai ideologi menawarkan solusi holistik yang tidak hanya melindungi manusia secara fisik, tetapi juga menguatkan spiritualitas mereka.
Sudah saatnya umat kembali kepada sistem Islam, yang menjadikan keselamatan rakyat sebagai prioritas utama. Dengan penerapan syariat secara menyeluruh, umat akan mendapatkan perlindungan, kedamaian, dan kesejahteraan, baik di dunia maupun di akhirat. Islam adalah solusi hakiki untuk menghadapi bencana dan segala problematika kehidupan.
Wallahu a’lam bishawab
COMMENTS