Oleh: Jelvina Rizka
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda berbagai sektor industri di Indonesia semakin menyoroti ketimpangan dan kegagalan sistem ekonomi kapitalisme dalam menjamin kesejahteraan buruh. Salah satu kasus terkini adalah protes yang dilancarkan oleh buruh terkait kebijakan impor mobil listrik yang dianggap memicu badai PHK di industri otomotif dalam negeri. Seiring dengan masuknya mobil listrik impor, sejumlah pabrik merampingkan operasionalnya, yang berujung pada pemangkasan tenaga kerja. Buruh mengeluhkan bahwa alih-alih memprioritaskan pengembangan industri dalam negeri, kebijakan ini justru memperparah kondisi ekonomi mereka. Kebijakan impor tanpa strategi komprehensif dinilai mengancam stabilitas lapangan pekerjaan dan kesejahteraan buruh, memunculkan seruan agar pemerintah mengkaji ulang kebijakan tersebut guna melindungi pekerja lokal.
Dilansir dari metrotvnews.com – Kalangan buruh dari sejumlah organisasi seperti federasi Logam Elektronik Mesin Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (LEM SPSI) bersama Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) menggelar seminar ketenagakerjaan dengan tema Dampak Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai di Bekasi, Jawa Barat, Kamis 19 September 2024. Para pekerja menilai bahwa kehadiran kendaraan bermotor listrik ini akan menjadi kerikil muncul PHK massal terjadi. Hal ini disebabkan akan adanya sejumlah komponen di industri otomotif akan mati akibat kendaraan listrik bertenaga baterei hadir, seperti komponen motor bakar yaitu busi, minyak pelumas dan lainnya.
Ketua Umum FSP LEM SPSI, Arif Minardi meminta kepada pemerintah agar kebijakan impor kendaraan listrik di kaji ulang, karena dianggap platform kendaraan listrik belum memenuhi standar. “Belum lagi keamanan. Kita tahu mobil listrik juga berbahaya kalau dibuat serampangan,” jelas Arif Minardi. Kelompok buruh berharap kebijakan impor kendaraan listrik yang dianggap ugal-ugalan akan dikaji ulang oleh pemerintahan periode Prabowo-Gibran.
Kasus impor mobil listrik yang memicu PHK massal mencerminkan salah satu kelemahan kapitalisme: ketergantungan pada efisiensi pasar tanpa memperhitungkan dampak sosial jangka panjang. Kebijakan ini berorientasi pada keuntungan ekonomi dengan memanfaatkan teknologi baru, namun abai terhadap kesiapan industri dan tenaga kerja lokal. Mobil listrik impor, yang relatif lebih murah dan efisien, menekan daya saing produk dalam negeri yang belum siap beradaptasi dengan perubahan teknologi tersebut. Akibatnya, perusahaan lebih memilih untuk merampingkan operasional daripada berinvestasi dalam pengembangan kemampuan tenaga kerja. Dalam konteks ini, buruh menjadi korban dari persaingan global yang tidak seimbang, karena kapitalisme sering kali menempatkan keuntungan di atas kesejahteraan sosial. Jika pemerintah tidak segera mengkaji ulang kebijakan ini dan mengintegrasikan perlindungan terhadap industri lokal serta buruh, ketimpangan ekonomi akan semakin lebar, dan kesejahteraan masyarakat yang dijanjikan sistem kapitalisme akan semakin sulit tercapai.
Dalam perspektif Islam, kondisi ideal terkait problematika pemutusan hubungan kerja akibat kebijakan impor mobil listrik seharusnya berlandaskan pada prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan bersama. Dalam Islam, ekonomi bukan hanya sekadar mencari keuntungan materi, tetapi juga harus memperhatikan hak dan kebutuhan semua anggota masyarakat, terutama yang lemah dan terpinggirkan. Sebagai contoh, dalam konteks ini, kebijakan impor harus mempertimbangkan dampaknya terhadap industri lokal dan buruh. Selain itu, sistem ekonomi Islam mendorong pengembangan industri dalam negeri melalui investasi dan inovasi, bukan hanya mengandalkan barang impor. Dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan berkeadilan, sistem ekonomi diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja yang stabil, menjaga kesejahteraan buruh, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif, sesuai dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar dalam ajaran Islam.
Tingkat kompleksitas permasalahan pemutusan hubungan kerja akibat kebijakan impor mobil listrik menunjukkan bagaimana sistem kapitalisme sering kali mengabaikan tanggung jawab negara dalam melindungi kepentingan masyarakat. Dalam sistem ini, fokus utama sering kali terletak pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek dan akumulasi keuntungan bagi investor, tanpa mempertimbangkan dampak sosial yang lebih luas. Ketika negara mengizinkan kebijakan impor tanpa memperhatikan kesiapan industri domestik, ia secara tidak langsung berkontribusi pada meningkatnya pengangguran dan ketidakstabilan sosial. Selain itu, ketergantungan pada pasar global dapat memperparah situasi, mengingat fluktuasi ekonomi dunia yang tidak dapat diprediksi. Ketidakadilan ini diperburuk oleh kurangnya kebijakan yang mendukung transformasi industri, seperti pelatihan tenaga kerja dan insentif bagi perusahaan untuk berinovasi. Akibatnya, buruh tidak hanya kehilangan pekerjaan, tetapi juga kehilangan harapan akan masa depan yang lebih baik. Kegagalan sistem kapitalisme dalam konteks ini menuntut adanya refleksi kritis mengenai peran negara sebagai pengatur yang harus mengutamakan kesejahteraan masyarakat di atas kepentingan pasar, agar tidak terjebak dalam siklus ketidakadilan yang berkelanjutan.
Pemutusan hubungan kerja akibat kebijakan impor yang tidak berpihak pada industri lokal, menegaskan perlunya sistem pemerintahan yang lebih komprehensif dan adil, seperti khilafah. Khilafah, sebagai sistem pemerintahan Islam, dirancang untuk menjamin kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh umat. Dalam kerangka khilafah, negara memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam melindungi hak-hak buruh dan industri lokal, serta memastikan bahwa kebijakan ekonomi tidak hanya menguntungkan segelintir orang, tetapi juga menciptakan peluang dan perlindungan bagi semua lapisan masyarakat. Khilafah dapat menyediakan landasan yang kuat untuk pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan sosial, mengatasi berbagai ketimpangan yang diakibatkan oleh sistem kapitalisme saat ini. Melalui khilafah, diharapkan masyarakat dapat merasakan keadilan, kesetaraan, dan kemakmuran yang hakiki, sehingga semua individu dapat berkontribusi dalam pembangunan dan menikmati hasilnya secara adil.
Islam menawarkan solusi yang berfokus pada keadilan sosial dan tanggung jawab kolektif. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah pemerintah menerapkan kebijakan ekonomi yang berpihak pada industri lokal dengan memberikan dukungan kepada perusahaan untuk berinvestasi dalam inovasi dan peningkatan kualitas produk. Dalam hal ini, Islam mendorong pelatihan dan pendidikan bagi buruh agar mereka memiliki keterampilan yang relevan dengan perkembangan industri, sejalan dengan firman Allah dalam Surah Al-Mujadila ayat 11: “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” Selain itu, negara juga dapat mengimplementasikan kebijakan perlindungan sosial, seperti jaminan penghasilan bagi buruh yang terkena PHK, demi menjaga kesejahteraan mereka. Hal ini sejalan dengan prinsip keadilan (adl) dalam Islam, yang menuntut setiap individu dan institusi untuk bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat.
Wallahu ‘Alam Bissawab
COMMENTS