Menyoal Remisi dalam Sistem Sanksi


Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty 
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), remisi adalah pengurangan hukuman yang diberikan kepada orang yang terhukum.  Adapun menurut Permenkumham RI Nomor 3 Tahun 2018, remisi adalah pengurangan menjalani masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak yang memenuhi syarat yang ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.


Terkait remisi, sejarah menyebutkan bahwa ini bermula pada masa Hindia Belanda.  Di mana remisi diberikan kepada narapidana tertentu secara subjektif dalam rangka merayakan hari ulang tahun Ratu Belanda 10 Agustus 1935. Berdasarkan Keppres No. 174/1999, ada tiga jenis remisi yaitu Remisi Umum, Remisi Khusus, dan Remisi Tambahan. Selain pada hari besar keagamaan dan HUT RI, remisi juga diberikan pada narapidana yang dianggap berjasa pada negara atau membantu kegiatan lapas.


Di negeri Indonesia, remisi menjadi spesial momen bagi para narapidana. Semua narapidana dari berbagai kasus, termasuk korupsi, bisa mendapatkan remisi pada momen tertentu seperti hari besar keagamaan (Idulfitri bagi yang muslim) dan HUT RI. Dasar hukum remisi adalah UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 14 ayat (1) yang menyatakan bahwa remisi adalah hak narapidana.


Masa lebaran menjadi salah satu momen untuk terealisasinya remisi. Seperti yang terjadi di Jawa Barat, sebanyak 16.336 narapidana di sana mendapat remisi khusus Idulfitri 1445 H dari Kemenkumham. Sebanyak 128 orang di antaranya langsung bebas. Juga yang terjadi di Sulsel, sebanyak 5.931 warga binaan di sejumlah lapas dan rutan mendapatkan remisi khusus Idulfitri tahun ini. Bahkan, 14 orang di antaranya langsung bebas. (CNN Indonesia, 11/4/2024).


Remisi Tidak Membuat Jera


Menyusuri sejarah awal mula remisi, menggambarkan bahwa remisi berada dalam ranah sistem sanksi yang tidak membuat jera. Hal ini karena sistem sanksi yang ada merupakan sistem pidana yang bermasalah.  Realitanya, sistem pidana  warisan hukum Belanda dengan kitab UU Hukum Pidana (KUHP) dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvS) yang kemudian dinaturalisasi menjadi UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, adalah hukum buatan manusia. Dengan sifatnya sebagai hukum buatan manusia, maka sistem pidana yang ada dalam pelaksanaan sanksi hukum menjadi tidak baku, mudah berubah, dan mudah disalahgunakan. Walaupun KUHP sudah mengalami perubahan berdasarkan UU 1/2023 tentang KUHP. Namun, perubahan ini tidak mengubah hakikat bahwa KUHP merupakan buatan manusia. Hingga hukum pun tetap bisa dibeli.


Dengan uang,  kebebasan bisa dibeli. Masa hukuman bisa berkurang berkali-kali dalam setahun sehingga lebih pendek dari yang diputuskan oleh pengadilan. Alih-alih narapidana menjadi jera, remisi pada momen tertentu melenggangkan pelaku kejahatan terbebas dari putusan. Salah satunya adalah remisi bagi narapidana koruptor.  Narapidana korupsi leluasa mendapat remisi berkali-kali dalam setahun, seperti yang dialami Setya  Novanto. Padahal nominal kerugian negara pada tiap kasus korupsi makin besar,  yang terbaru menyentuh angka Rp271 triliun. 


Fantastis super tragis. Begitu  leluasanya para  koruptur beraksi.  Tanpa rasa takut terhadap ancaman hukuman yang akan dia terima, mereka terus berbuat. Berbagai kemewahan di lapas, bahkan  traveling  bisa dilakukan (contoh yang terjadi pada Gayus Tambunan terpidana kasus ,korupsi, perkara suap, memberi keterangan palsu, dan mafia pajak tahun  2011).


Demikianlah,  ketika menggunakan sistem pidana buatan manusia para pelaku kejahatan mendapatkan hukuman yang ringan, tidak ada efek jera, kejahatan pun terus merajalela. Remisi menjadi bentuk realisasi hukum tak berdaya guna untuk menyadarkan manusia.


Paradigma Sistem Sanksi dalam Islam


Dalam sistem Islam ada tiga pilar penegakan hukum.  Pertama,  ketakwaan individu sehingga tercegah dari perilaku kejahatan. Kedua, amar makruf nahi mungkar oleh masyarakat sehingga setiap ada kejahatan akan cepat terdeteksi dan pelakunya diingatkan untuk tobat. Ketiga,  serta pemberlakuan sistem sanksi yang adil dan tegas oleh negara. Dengan pilar-pilar tersebut paradigma sistem sanksi ditegakkan.


Paradigma sistem sanksi dalam Islam melahirkan mekanisme pencegah dan pemberantas tindak kejahatan sehingga tingkat kejahatan sangat rendah. Syariat Islam yang menjadi kunci dalam melindungi masyarakat dari kejahatan diterapkan secara tegas. Sehingga dalam penanganan kejahatan, Islam memiliki sistem sanksi yang khas, tegas, dan menjerakan. 


Setiap kejahatan akan diberi sanksi yang tegas, baik berupa hudud, jinayah, takzir, maupun mukhalafat. Penjara tidak menjadi satu-satunya jenis hukuman. Kalaupun hukumannya, penjara, tidak ada pengurangan hukuman dari masa yang sudah hakim putuskan. Remisi tidak menjadi pilihan untuk kado istimewa bagi para pelaku kejahatan.


Tanpa remisi, paradigma sistem sanksi dalam Islam merealisasikan  fungsi  jawabir (menebus dosa di dunia sehingga tidak diazab di akhirat) dan zawajir (pencegahan agar tidak ada tindak kejahatan serupa). Tanpa remisi hukum ditegakkan seadil-adilnya sesuai hukum syarak. Dengan tegaknya hukum dalam Islam rasa aman niscaya terpenuhi.


Wallaahu a'laam bisshawaab.

Post a Comment

Previous Post Next Post