Kota Layak Anak (KLA)Jauh Dari Harapan


Oleh : Ummu Abiyu
Aktivis Muslimah Kaffah

Beberapa hari terakhir, isu kekerasan pada anak kembali mencuat.  Sebuah lembaga Save the Children melakukan pendampingan terhadap 32 kasus kekerasan pada anak dan 28 kasus kekerasan terhadap perempuan di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT). Hal ini telah mengingatkan kita pada salah satu proyek yang digadang-gadang mampu mensolusi masalah anak di negeri. Yakni proyek Kota Layak Anak.

Miris, Kota Layak Anak (KLA) makin banyak diangkat. Namun faktanya kekerasan terhadap anak tak kunjung turun. Malah makin beragam modus dan makin banyak korban. Baru-Baru ini terjadi penyekapan dan eksploitasi anak di bawah umur. NAT (15 tahun) sebagai korban disekap selama 1,5 tahun dipekerjakan sebagai pekerja seks komersia (PSK). Dijebak dengan alasan memiliki hutang sebesar 35 juta Rupiah.(beritasatu.com, 18/09/22).
Di Banda Aceh dalam sehari dua anak menjadi korban pencabulan tukang parkir.

Saat ini, Kota Layak Anak(KLA) dijadikan prioritas pembangunan daerah. Hal ini tentu juga sebagai jawaban atas kondisi kaum ibu yang hari ini dijadikan sebagai mesin kehidupan ekonomi. Menurut UNICEF, kota ramah anak adalah kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Kota yang diinginkan oleh anak-anak adalah kota yang dapat menghormati hak anak-anak.

Sungguh ironi, kasus eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur masih terjadi di negeri ini padahal pemerintah telah mengantisipasi kualitas anak melalui program Kota Layak Anak (KLA). Kota Layak Anak semakin banyak diangkat dan dijadikan prioritas pembangunan daerah sebagai suatu cara untuk memenuhi hak anak. Namun pada faktanya kekerasan terhadap anak tidak kunjung menurun malah makin beragam modus dan makin bertambah pula korbannya. Hal ini mengindikasikan kegagalan negara dalam melindungi anak dan kemandulan program KLA untuk memberi jaminan sistem lingkungan yang dibutuhkan anak.

Menurut Peraturan Menteri (Permen) PPPA 13/2011, KLA didefinisikan sebagai kabupaten atau kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha; yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program, dan kegiatan untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan anak. Adapun hak anak adalah mengacu pada konveksi hak anak yaitu hak sipil dan kebebasan, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, kesehatan dan kesejahteraan dasar, pendidikan dan pemanfaatan waktu luang, kegiatan budaya serta perlindungan kasus anak. Predikat KLA akan diraih jika memenuhi 31 cakupan indikator yang sudah ditetapkan. KLA dimaksudkan untuk memutus mata rantai kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak agar pada 2030 terwujud Indonesia Layak Anak (Idola).

Mengapa kekerasan terhadap anak masih saja terus mewabah? Padahal sudah banyak kota-kota yang mendapat predikat kota layak anak. Tahun 2022 saja, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) kembali menganugerahi Penghargaan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) kepada 320 kabupaten/kota. Penghargaan itu diberikan kepada 8 daerah di kategori Utama, 66 Nindya, 117 Madya, dan 121 Pratama. 

Namun kota layak anak ini hanya sekedar slogan saja, tidak benar-benar diwujudkan. Faktanya, kita melihat daerah-daerah hanya ingin meraih prestasi, kebanggaan, dan gengsi, tanpa melihat realita yang terjadi. Berfokus pada urusan administratif agar menang lomba dan mendapatkan penghargaan KLA. Bukan fokus untuk melindungi anak. Sedangkan upaya  perlindungan anak berbanding terbalik dengan penghargaannya. 

Mirisnya fakta diberbagai daerah peraih predikat KLA masih saja terjadi tindak kekerasan hingga eksploitasi terhadap anak. Hal ini membuktikan bahwa predikat KLA tidak mampu menjamin terwujudnya lingkungan anak, seolah jaminan perlindungan anak semata-mata di atas kertas sekedar syarat agar lolos mendapatkan predikat KLA. Terlihat jelas solusi yang diadopsi tidak mumpuni untuk mencegah kekerasan dan eksploitasi terhadap anak. Sungguh, sudah cukup banyak regulasi yang ditujukan untuk mewujudkan perlindungan anak. Perlindungan anak dari kekerasan merupakan bagian dari perlindungan khusus. Namun, masih banyak anak Indonesia mengalami kekerasan sepanjang hidupnya, termasuk kekerasan seksual.

Kenyataan pahit yang dialami anak Indonesia termasuk anak di belahan dunia, jelas bukan bersifat kasuistik semata. Melainkan ada pengaruh sistem tatanan kehidupan yang menaunginya. Hal ini bisa kita lihat dari rusaknya kondisi sosial hari ini, termasuk juga buruknya pelayanan kesehatan, pendidikan hingga abaikan para penguasa negeri untuk sekadar memastikan apakah anak Indonesia sudah terpenuhi seluruh haknya. Sistem tatanan kehidupan sekularistik yang menjauhkan aturan agama dari kehidupan menjadi sumber awal kerusakan tatanan kehidupan hari ini.

Pemerintah yang harusnya menjadi pilar paling kuat dalam melindungi dan memenuhi hak anak, kini hanya menjadi regulator bagi semakin kuatnya ‘bisnis’ kaum kapitalis. Berdalih KLA, pembangunan Kabupaten/Kota lebih didominasi memenuhi keinginan pemilik modal dalam penataan kota. Terlihat dari pembangunan fisik seperti alun-alun ramah anak, mall ramah anak dan tempat-tempat wisata yang dibalut dengan slogan ‘layak anak atau ramah anak’. Sikap pemerintah yang kapitalistik inilah yang hakikatnya menjadi alasan atas persoalan anak yang tak kunjung usai bahkan makin parah. 

Gagalnya berbagai regulasi yang diadopsi di negara ini sejatinya menunjukkan bahwa persoalan mendasar kekerasan terhadap anak bukan pada kurangnya regulasi, melainkan solusi-solusi yang diadopsi berdasarkan nilai-nilai sekuler Barat yang jauh dari aturan agama. Sekularisme tidak menumbuhkan rasa takut, orientasi kehidupan hanya pada materi dan pemenuhan hawa nafsu yang membutakan mata dan hati. 

Permasalahan tindak kekerasan terhadap anak bukanlah permasalahan daerah semata. Ini merupakan permasalahan sistemis yang merupakan efek dari penerapan sistem demokrasi yang berbasis sekuler. Di mana sistem ini merupakan sistem pemerintahan dari ideologi kapitalisme yang menjadikan pemisahan agama dengan kehidupan sebagai landasan berpikirnya. Sehingga semua aturan kehidupan di tengah-tengah masyarakat dibuat berdasarkan akal manusia yang serba terbatas dan lemah.

Akibatnya, aturan yang diterapkan akan menimbulkan pertentangan, perselisihan, pertingkaian bahkan menimbulkan kesengsaraan hidup manusia. Akidah sekuler, juga menjadikan standar perbuatan seseorang hanya untuk mengejar keuntungan materi semata. Sehingga anak, dalam kacamata kapitalis merupakan aset yang dapat dijadikan untuk mencari keuntungan. Oleh karena itu, ekploitasi terhadap anak baik dalam faktor ekonomi, sosial ataupun yang lainnya selalu terjadi di setiap negara pengemban ideologi kapitalisme 

Maka dari itu selama tata kehidupan masih berlandaskan pada kebebasan akal manusia sebagaimana pada sistem sekuler kapitalisme, korban-korban eksploitasi anak terus bemunculan dengan beragam modus. Kekerasan terhadap anak bahkan kekerasan seksual tidak lagi dianggap sebagai perbuatan tercela dan keji. Sungguh, penambahan regulasi tanpa memperbaiki akar masalah tidak akan memberikan arti. Masyarakat membutuhkan solusi menyeluruh untuk menyelesaikan persoalan anak secara tuntas dan solusi itu ada pada Islam

Islam memandang bahwa anak adalah amanah yang harus dijaga. Selain itu anak adalah calon pemimpin masa depan, aset bangsa yang sangat berharga. Maka sudah seharusnya anak dapat tumbuh dan berkembang optimal agar menjadi generasi penerus yang mumpuni. Dalam hal ini Islam memiliki serangkaian aturan dan sistem yang mampu menyelesaikan persoalan anak dan memenuhi kebutuhan akan rasa amannya. Islam juga satu-satunya agama yang tak hanya mengatur ritual atau aspek ruhiyah. Selain itu Islam merupakan akidah siyasih yaitu akidah yang memancarkan seperangkat aturan untuk setiap aspek kehidupan. Penerapan aturan Islam ini terbebankan pada negara

Dalam kacamata Islam, anak merupakan amanah yang harus dijaga dan dididik sesuai dengan fitrah penciptaan manusia. Yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT, "Dan tidaklah aku ciptakan manusia dan jin kecuali untuk beribadah kepada-Ku" (QS. Adz Dzariyat : 56). Oleh karena itu, anak harus di didik sesuai dengan aqidah Islam agar menjadi Muslim yang memiliki kepribadian Islam. Yaitu memiliki pola pikir dan pola sikap Islam.

Islam menyerahkan amanah pendidikan anak tidak hanya kepada keluarga. Namun juga kepada masyarakat dan negara. Dalam lingkungan masyarakat, Islam mewajibkan seluruh Muslim untuk melakukan amar makruf nahi mungkar. Harus ada kontrol di lingkungan masyarakat serta menciptakan suasana keimanan dan kondisi yang baik. Terlebih lagi di lingkungan negara. Negara wajib menjamin semua warga negara untuk mendapatkan hak syar'i manusia. Hal ini meliputi jaminan akan terjaganya akidah, akal, jiwa, harta, kehormatan, dan keamanan. Negara juga harus menerapkan semua sistem berdasarkan syariat Islam.

Melalui tegaknya pemerintahan Islam, semua hak-hak anak jelas akan dipenuhi. Bukan sekadar retorika belaka, atau hanya dibahas dalam forum-forum nasional dan internasional tanpa adanya realita. Islam hadir sebagai solusi dalam menjamin nasib anak di dunia dan juga akhiratnya. Islam memandang anak sebagai bagian dari masyarakat juga harus mendapatkan hak-haknya secara utuh dan benar sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya. Maka, jaminan Islam terhadap anak dimulai dari jaminan hidup baik saat berada dalam rahim ibunya hingga dia lahir ke dunia. Termasuk di dalamnya, jaminan pendidikan, keamanan, kesehatan, dan kehidupan sosial yang jauh dari kekerasan, baik fisik maupun seksual

Jaminan Islam ini merupakan wujud dari jaminan Allah SWT yang bersifat pasti atas semua makhluknya, terutama manusia. Melalui penerapan syariah Islam yang sempurna atas dasar keimanan kepada Allah SWT, pemerintahan Islam mampu mewujudkan perlindungan terhadap anak.  Maka, tegaknya Islam dalam Institusi Khilafah Islamiah merupakan perkara darurat untuk mengeluarkan anak dari kenyataan pahit yang mereka alami hari ini. Wallahu a’lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post