Kebijakan Mencegah Kekerasan Seksual, Solusikah?


Oleh Susci
 (Komunitas Sahabat Hijrah Balut-Sulteng)

Kementerian Agama (Kemenag) baru-baru ini mengeluarkan kebijakan PMA kepada instansi pendidikan. Hal ini tercantum dalam pasal 19 Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 tahun 2022 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan. (kemenag.go.id, 13/10/2022)

Dalam kebijakan PMA, Kemenag memberikan dua bentuk pergerakan yakni pencegahan dan penanganan. Adapun dalam pencegahan, kemenag meminta agar satuan pendidikan dapat memberikan sosialisasi, pembelajaran, penguatan tata kelola, penguatan budaya, dan lainnya sesuai dengan kebutuhan. Sementara untuk penanganan, meliputi pelaporan, perlindungan, pendampingan, penindakan, dan pemulihan korban. 

Kebijakan tersebut dibuat berangkat dari maraknya kekerasan seksual yang terjadi di instansi pendidikan. Secara statistik, pengakuan Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, tahun 2015-2021, kasus kekerasan seksual telah mencapai 67 kasus terhadap perempuan di lingkungan pendidikan. Kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan yakni kekerasan seksual 87,91 persen, psikis dan diskriminasi 8,8 persen. Lalu, kekerasan fisik 1,1 persen. Untuk perguruan tinggi menempati 35 kasus. (voaindonesia.com, 12/04/2022)

Dari kebijakan di atas, tampak negara begitu memperhatikan kekerasan seksual khususnya dikalangan pelajar. Pengaturan yang terstruktur dari pencegahan dan penganan, namun tak dapat dielakan  kebijakan tersebut hanya menjadi hitam diatas putih. Pasalnya, sosialisasi dan pembelajaran saja tak dapat membantu pencegahan. Faktanya, banyak tindak kekerasan seksual yang terus berulang.

Perilaku berulang kekerasan seksual tak bisa dilepaskan dari paradikma penerapan kapitalisme sekularisme, sistem yang menjauhkan agama dari kehidupan. Setidaknya ada beberapa faktor yang melatar belakangi terjadi kekerasan seksual yang hari ini diabaikan negara. Di antaranya, lemahnya ketaatan individu. Paham ini telah menancap kuat di dalam pemikiran masing-masing individu. Sehingga, menghadirkan individu yang jauh dari aturan Allah Swt. Pengelolaan naluri kasih sayang pun tak dapat dilakukan secara benar. Siapa pun bebas mengekspresikan hawa nafsunya. Impaknya, kekerasan seksual kian marak dan menyasar ke tengah-tengah pelajar. 

Begitu pula bagi pelaku yang mengalami kekerasan seksual. Sekularisme telah menjadikan mereka bebas dalam menampilkan diri. Membebaskan dari berpakaian, pergaulan, dan lain sebagainya, tanpa ada standar batasan dari negara. Alhasil, pelaku yang telah kehilangan ketaatan diri kepada Allah Swt. menjadi mudah melakukan perbuatan apa saja sekalipun menimbulkan murka-Nya.

Selain itu, kapitalisme sekularisme membuka lebar tontonan pornografi. Siapa saja dapat mengakses dengan mudah. Padahal, tontonan seperti ini akan mendidik penyaluran syahwat manusia dengan cara yang salah. Tak hanya itit,  pergaulan bebas tanpa adanya batasan antara laki-laki dan perempuan juga membuka celah kekerasan seksual terjadi.

Sanksi yang diberikan pun tak memberikan efek jera, seperti sekadar teguran penyitaan, penjabutan jabatan, maupun penjara. Itupun dapat dibeli, ditawar, dan diubah sesuai kebutuhan tertentu. Sehingga, kekerasan seksual akan terus terjadi tanpa adanya ketakutan yang memutus tindakan tersebut. 

Kekerasan Seksual dalam Islam

Beda halnya dengan Islam. Islam memiliki sumber peraturan yang benar dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual. Islam melakukan beberapa pencegahan di antaranya adalah membetuk akidah individu yang kokoh, menjadikan mereka senantiasa terikat dengan halal dan haram. Membentuk pribadi yang takut dan tunduk kepada syariat Allah Swt. Serta mengarahkan masyarakat khususnya para pelajar dalam menambah tsaqofah (pengetahuan) tentang syariat Islam. 

Kedua, membatasi interaksi antara laki-laki dan perempuan. Interaksi hanya dapat dilakukan apabila ada kepentingan syar'i seperti pendidikan, kesehatan, dan muamalah. Selain itu, pakaian laki-laki dan perempuan akan diatur sebagaimana mestinya. Aurat diwajibkan ditutup sesuai ketentuan syariat.

Ketiga, ketika terjadinya kekerasan seksual, maka sanksi yang diberikan bersifat zawajir (pencegahan) dan jawabir (penggugur dosa). Sanksi yang diberikan beragama macam tergantung pada bentuk pelecehan yang dilakukan. Sanksi yang paling berat adalah hukuman mati berupa rajam atau dilempari batu bagi yang sudah berkeluarga dan lajang akan dicambuk 100 kali dan diasingkan. Namun, hukuman tersebut akan diberikan apabila terbukti melakukan tindak kekerasan seksual. Pelakunya pun akan dihukum secara transparan kepada seluruh masyarakat, dengan ini masyarakat lain akan merasa takut dan tidak berani melakukan perilaku yang sama.

Oleh karena itu, hanya Islamlah yang memiliki solusi solutif dalam mencegah tindak kekerasan seksual khususnya dikalangan pelajar. Maka, sudah seharusnya umat menjadikan syariat sebagai pemutus segala urusan, bukan yang lain. Sebab, yang berhak membuat aturan dan menghukumi hanyalah Allah Swt.

Wallahualam bissawab

Post a Comment

Previous Post Next Post