SISTEM DEMOKRASI, MELINDUNGI PARA KORUPTOR


Oleh: Elya Saragih
Aktivis dakwah

Mimpi di siang bolong. Ungkapan tersebut tepat ditujukan pada harapan tuntasnya persoalan korupsi di negeri ini. Bagaimana tidak? Berharap bila korupsi akan terselesaikan di alam demokrasi ini hanyalah sebatas angan dan asa yang tak berkesudahan. Korupsi makin hari makin menggurita akibat  penerapan sistem demokrasi yang masih mencengkeram negeri ini. 

Dalam sistem demokrasi, penyelesaian korupsi tidak akan menuju sasaran yakni akar permasalahannya tidak tersentuh sedikit pun. Hanya sanksi tidak tegas yang tidak menyebabkan kapok para pelakunya. Bahkan koruptor yang sedang menjalankan hukuman justru ada yang mendapatkan remisi atau pengurangan masa tahanan. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut 23 koruptor mendapatkan remisi hingga akhirnya bebas bersyarat. ICW menilai pemberian remisi bagi koruptor menunjukkan kejahatan korupsi merupakan kejahatan biasa (detiknews.com, 7/9/2022).

Tak hanya itu, eks napi korupsi atau koruptor ternyata masih bisa mencalonkan diri menjadi calon anggota legislatif (caleg) di DPR maupun DPRD pada pemilu 2024 nanti. Hal dikarenakan ada regulasi yakni UU Pemilu tidak melarang eks koruptor untuk kembali menjadi caleg. Pada Pasal 240 ayat 1 huruf g, hanya mengatur seorang mantan napi yang hendak mendaftarkan diri, wajib mengungkapkan ke publik kalau dirinya pernah dipidana serta telah selesai menjalani hukumannya (beritasatu.com, 28/6/2022).

Remisi yang didapat oleh napi koruptor pun adalah remisi tersendiri, tidak sama dengan napi-napi lainnya. Sangat memungkinkan bagi napi koruptor untuk bebas dengan mudah. Fakta ini menunjukkan kejahatan korupsi dianggap sebagai kejahatan biasa oleh pemerintah. Selain itu, terkesan pula agar masyarakat menganggap korupsi adalah kejahatan biasa bahkan lebih ringan dari kejahatan lainnya.

Padahal, rakyat Indonesia, utamanya masyarakat bawah, sangat mengutuk perbuatan korupsi ini. Pasalnya, merekalah yang telah membuat rakyat miskin makin miskin. Sumber dari segala kesengsaraan yang dirasakan rakyat. Pemberian remisi tentu diluar akal sehat kita sebagai manusia. Karena korupsi sebenarnya merupakan kejahatan yang serius.

Salah satu napi yang bebas bersyarat adalah mantan jaksa, Pinangki Sirna Malasari yang baru dua tahun di penjara, padahal kasus korupsi yang menjeratnya tergolong besar. Pinangki sebelumnya divonis 10 tahun penjara oleh majelis hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Vonis tersebut kemudian disunat oleh Pengadilan Tinggi Jakarta menjadi 4 tahun penjara. Ia dipenjara karena terbukti menjadi makelar kasus bagi Djoko Tjandra, yang saat itu terjerat kasus korupsi, agar bisa lolos dari hukuman penjara dengan mengajukan PK. 

Sudah hal yang tidak mengejutkan di sistem demokrasi untuk ramah terhadap eks napi korupsi atau koruptor padahal jelas kejahatan yang dilakukan oleh para koruptor sangat berdampak bagi lingkungan sosial masyarakat terutama masyarakat kalangan bawah. Hal ini sungguh disayangkan, sebab hukum demokrasi sangat lemah untuk melindungi rakyat kalangan bawah dan memberikan tempat ternyaman untuk mereka rakyat kalangan atas yang memiliki kekuasaan.

Keluar dari penjara alih-alih bertaubat dan malu untuk menampakkan wajah kepada masyarakat, eks napi korupsi atau koruptor setelah keluar penjara malah haus akan jabatan seakan tidak malu dengan perbuatan mereka karena telah mencuri uang rakyat. Yang kita tahu rakyat bekerja mati-matian yang menikmati oknum yang tidak bertanggung jawab.

Dalam sistem sekuler, korupsi adalah problem sistemis namun solusi yang diambil bersifat parsial seperti ancaman pemecatan dan pemberian sanksi tanpa banyak menyentuh kritik demi perubahan sistem. Begitulah kapitalisme mengatur manusia dengan aturan buatan manusia. Berbeda dengan Islam yang standarisasinya dalam melakukan aktivitas amal adalah halal dan haram, firman Allah dalam surat Al Fajr ayat 14 yang artinya: 

“Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.” Juga dalam surat Al Hadid ayat 4, “Dia (Allah) bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

Islam akan membentuk Badan Pengawasan/ Pemeriksa Keuangan tujuannya untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak. Islam memberikan gaji yang cukup kepada pejabat/pegawainya. Ketakwaan individu menjadi dasar dalam pengangkatan pejabat/ pegawai negara, dan amanah yaitu wajib melaksanakan seluruh tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Penerapan aturan haramnya korupsi dan sanksi yang keras, bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Jadi, sangat jelas solusi problem korupsi adalah bukan hanya dari pemecatan secara tidak hormat saja. 

Tetapi kembali pada hukum Islam secara kaffah. Sanksi yang diterapkan tersebut sangat tegas, tidak ada pilih kasih bagi pejabat maupun orang yang dekat dengan penguasa. Pada masa kepimpinan Khalifah Umar bin Khattab pernah terjadi fenomena harta para pejabat bertambah. Khalifah Umar mengirim utusan untuk menemui pejabat tersebut. Dan Umar pun membagi harta mereka menjadi dua, separuh diberikan kepada negara, dan separuhnya diserahkan kepada mereka. 

Kenyataan inilah menunjukkan bahwa sistem Islam tidak ada toleransi dengan kejahatan korupsi. Kasus korupsi akan diusut tuntas dan pelakunya akan dikenakan sanksi tegas. Dengan sistem Islamlah keadilan dan kesejahteraan rakyat bisa terwujud. Sungguh sebuah sistem yang sangat kita harapkan. 

Wallahu a'lam. []

Post a Comment

Previous Post Next Post