Konversi LPG 3 Kg ke Kompor Listrik, Benarkah Untuk Rakyat?


Oleh Nining Sarimanah
Pemerhati Umat

Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Istilah ini rasanya sangat pas dengan kondisi perekonomian rakyat yang sudah babak belur dengan berbagai kebijakan pemerintah yang minim empati. Sebelumnya, rakyat dibuat tak berdaya dengan naiknya harga BBM bersubsidi yang berimbas pada kenaikan harga kebutuhan pokok yang signifikan, tarif transportasi, dan lainnya.  Kini, ada wacana konversi kompor elpiji 3 Kg ke kompor listrik dengan daya 1000 watt. Program ini tentu saja harus dipikirkan berulang kali karena akan menuntut perubahan daya listrik yang berakibat pada bertambahnya beban tarif listrik yang harus dibayar masyarakat setiap bulannya. Selama ini, daya listrik 450 VA dan 900 VA sebagian besar dinikmati masyarakat tak mampu.

Kompor listrik 1000 watt akan dibagikan secara gratis oleh PT. PLN di tiga kota yaitu Denpasar, Solo, dan salah satu kota di Sumatera, sebagai uji coba untuk melihat sejauh mana masyarakat menerima sekaligus mempelajari dari aspek keteknikannya. Misalnya berapa kapasitas daya tungku yang tepat. Menurut Direktur Utama PT. PLN Darmawan Prasodjo, ada keuntungan yang diperoleh baik bagi masyarakat maupun negara. Dimana masyarakat bisa berhemat sebesar Rp8000,00 per kilogram gas elpiji. Sementara bagi negara, APBN akan hemat sebesar Rp 330 miliar pertahun. Karena selama ini gas LPG 3 Kg diimpor, yang menjadikan anggaran subsidi energi membengkak. Sehingga diharapkan dengan program ini, adanya penghematan energi impor menjadi energi domestik sekaligus mengubah energi mahal ke energi murah yang bisa dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. (Kompas.com, 21/09/2022)

Sementara menurut Ekonom Centre of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira ada lima faktor yang harus menjadi perhatian pemerintah. Pertama, kompor listrik membutuhkan daya listrik yang relatif besar. Sementara, 450 VA termasuk kategori golongan pemakai subsidi terbanyak sehingga kurang cocok jika kompor listrik dimanfaatkan untuk kebutuhan harian seperti memasak. Di sisi lain, jika daya listriknya dinaikkan maka tarif listrik akan naik pula, tentu akan merugikan masyarakat miskin.

Kedua, adanya biaya transisi ke kompor listrik yang berpeluang menjadi beban baru. Sebab tidak semua kompor listrik dan alat masak khusus diberikan gratis kepada semua masyarakat karena pemerintah hanya menyasar 300 ribuan orang saja. Oleh karena itu, jika masyarakat miskin yang tidak mendapatkan kompor gratis diharuskan membeli kompor listrik tentu akan menambah beban hidup mereka.

Ketiga, pemerintah harus mempertimbangkan dalam penggunaan kompor listrik masyarakat membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi. Sebab, faktanya kelompok menengah ke atas lebih dulu mengenal kompor listrik ternyata mereka lebih nyaman menggunakan gas LPG dibandingkan kompor listrik. Dengan alasan proses memasak lebih cepat. Sehingga dikhawatirkan masyarakat akan kembali ke LPG dan uji coba penggunaan kompor listrik akan sia-sia. Dan faktor lainnya yang perlu diperhatikan oleh pemerintah jika program ini akan tetap diberlakukan. (cnnindonesia.com, 22/9/2022) 

Beban subsidi energi selalu menjadi alasan yang dibuat oleh penguasa agar kebijakannya dimaklumi oleh rakyat. Seolah kebijakannya akan berdampak positif baik rakyat maupun negara. Nyatanya tidak ada satupun kebijakan penguasa berbuah manis untuk rakyat. Misalnya UU Minerba, UU Cipta Kerja, Kebijakan Kenaikan BBM, dan lainya. Entah sampai kapan rakyat selalu menjadi objek kerakusan penguasa. Padahal, selama ini rakyat berada dalam kondisi kian mengkhawatirkan, jangankan untuk membayar kebutuhan sekolah, dalam memenuhi kebutuhan pokoknya pun bersusah payah.

Akar Masalah

Sistem kaptalisme tidak mengenal pembagian kepemilikan baik individu, umum, dan negara. Siapapun dia, ketika memiliki modal besar maka diberikan kebebasan untuk menguasai apapun jenisnya termasuk SDA. Oleh karena itu, sistem ini menghantarkan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Sampai kapan pun sistem ini tidak akan mampu mewujudkan kesejahteraan bagi umat manusia. Sementara penguasa dalam sistem ini hanya sebagai regulator dan fasilator bagi para kapital. 

Sumber daya alam yang merupakan milik umat dikuasai bahkan diperjualbelikan negara kepada pihak swasta. Melalui kebijakannya tidak secuil pun SDA tersisa untuk rakyat, semua diliberalisasi baik dari hulu hingga hilir. Hanya keuntungan yang menjadi prioritasnya, sehingga tidak mengherankan segala kebutuhan rakyat yang merupakan tanggung jawab negara dianggap beban yang harus dihilangkan. Padahal negara wajib melayani dan mengurusi kepentingan rakyatnya dengan menjamin dan memenuhi kebutuhan yang menjadi tanggungannya. Terlebih kekayaan alam Indonesia sejatinya milik umat dan tugas negara adalah mengelolanya dengan sebaik mungkin agar seluruh lapisan masyarakat mampu merasakan manfaatnya dan menikmatinya.

Pandangan Islam

Islam sebagai agama sempurna dengan seperangkat aturan yang menyeluruh mampu mengatasi berbagai pesoalan yang dihadapi manusia, termasuk soal pelistrikan. Dalam Islam, listrik adalah salah satu energi yang sangat dibutuhkan oleh seluruh lapisan masyarakat selain karena sebagian besar aktivitas manusia berkaitan erat dengan pemanfaatan energi listrik. Terlebih, listrik adalah salah satu SDA yang haram untuk dikuasai oleh negara maupun swasta. Sehingga, negara tidak boleh mengambil tanpa izin milik umum ini demi mendapatkan keuntungan atau bahkan mempermudah jalan bagi orang kafir untuk menguasai hajat hidup orang banyak yang berakibat membahayakan bagi keberlangsungan negara dan kehidupan rakyat. Sebab, jika hal itu terjadi bisa dibayangkan, pihak swasta bahkan negara penjajah mampu menyetir bangsa ini untuk kepentingan mereka. Negara pun bisa jadi bangkrut sebagaimana yang dialami Srilangka. Dampak yang paling mengerikan adalah kehidupan masyarakat terganggu yang menghantarkan pada kesengsaraan tak bertepi.

Oleh karena itu, kepemilikan umum salah satunya listrik harus dikembalikan pada umat sebagai pemilik sah atas izin syarak. Sehingga terwujudlah masyarakat yang makmur dan sejahtera.

Sabda Rasulullah saw.

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ

Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api. (HR. Abu Dawud dan Ahmad

Negara dalam Islam hanya diberikan hak untuk mengelolanya dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan harga murah bahkan gratis. Sangat jelas keberadaan penguasa dalam Islam adalah melayani kebutuhan rakyatnya. Tidak ada istilah jual beli pada rakyat demi mendapatkan keuntungan, sementara kepentingan rakyat dikorban.

Sabda Rasulullah saw.

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. al-Bukhari)

Dengan demikian, hanya dengan Islam segala persoalan hidup manusia mampu diatasi. Sebaliknya, selama sistem kapitalisme masih bercokol di negeri ini, maka bukan tidak mungkin kemakmuran dan kesejahteraan hanyalah mimpi di siang bolong yang tidak akan pernah dirasakan masyarakat secara umum. 

Wallahu 'alam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post