Rakyat Dilanda Krisis Dana Parpol Naik, Sungguh Ironis


Oleh Nur Fitriyah Asri
Penulis Opini Bela Islam

Ironis, pemerintah  mengusulkan kenaikan dana bantuan partai politik (parpol). Naik tiga kali lipat di saat rakyat menderita krisis, sungguh tidak etis. Wajar, jika memunculkan kontradiktif di publik.

Melalui Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, pemerintah mengusulkan kenaikan dana bantuan untuk partai politik dari Rp1.000 menjadi Rp3.000 per suara. Partai politik dimaksud adalah yang mendapatkan kursi pada Pemilu 2019.
Dengan bantuan dana dapat meningkatkan kemandirian keuangan partai.

Kenaikan dana tersebut hasil kesepakatan pada kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan melibatkan Partai Golkar, Gerindra, PDI-P, PKS, dan Nasdem telah disepakati sebesar Rp8.046.
Dengan rincian, untuk pusat Rp2.538 per suara, pengurus di provinsi Rp3.046 per suara, dan pengurus kabupaten/kota Rp3.807 per suara. Kemudian dikalikan 126 juta suara. Totalnya Rp320 miliar. Saat ini dana bantuan partai yang ada di Kemendagri sebesar Rp126 miliar. Jadi, penambahannya Rp200 miliar pada tahun depan yang ditanggung negara.

Syamsuddin Haris, Anggota Dewan Pengawas KPK  yang juga pernah menjabat sebagai Peneliti Utama Ilmu Politik di LIPI menjelaskan bahwa partai politik mendapat mandat konstitusi untuk menyeleksi pejabat publik melalui pemilu atau pilkada. Karena itu butuh bantuan subsidi yang memadai dari negara untuk meminimalisir  korupsi. Benarkah?

Anggota Himpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) Dr. Riyan M. Ag. menilai keberadaan parpol yang beragam saat ini tidak mencerminkan sebagai alat melayani rakyat, tetapi sebagai media untuk mencari keuntungan.

Ironisnya, di tengah kondisi krisis keuangan, utang negara menggunung, APBN devisit. Di sisi lain beban hidup rakyat sulit dampak dari kenaikan BBM. Ini membuat harga-harga naik, banyaknya PHK, tingginya angka pengangguran yang menyebabkan bertambahnya angka kemiskinan. Seharusnya pemerintah memprioritaskan terlebih dahulu apa yang menjadi kebutuhan rakyat. Bukan malah mengeluarkan dana yang sangat besar. Sungguh ini menyakiti hati rakyat, kata Riyan.
(di kanal You Tube Khilafah News, 17/9/2022)

Partai Politik Ibarat Perusahaan

Muncul pertanyaan,  apakah partai yang berdana besar akan memberi perhatian besar pada perbaikan nasib rakyat? Faktanya, partai bukan alat untuk melayani rakyat. Namun, untuk mencari keuntungan pribadi dan kelompoknya. Sejauh ini, parpol di Indonesia belum banyak memberikan kontribusi untuk kesejahteraan rakyat.

Contohnya, partai penguasa pemenang pemilu. Selama ini menutup mata dan telinga ketika rakyat menghadapi ekonomi yang sulit. Seperti naiknya BBM, padahal jargonnya membela wong cilik. Coba, apa yang diberikan partai pada rakyat? Boro-boro memperjuangkan nasib rakyat, rasa kepedulian dan empati pun telah hilang terkikis. Ironis bukan?

Partai politik ibarat perusahaan. Dimana kader partai yang menduduki jabatan publik baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif dijadikan mesin ATM bagi partai untuk menutupi biaya operasional partai. Pasalnya, para kandidat untuk menuju ke kursi jabatan harus mempunyai kendaraan politik, yaitu parpol dan ini butuh biaya politik yang mahal. Hal inilah yang sesungguhnya mendorong terjadinya korupsi.

Biaya Politik Mahal 

Bukan menjadi rahasia umum bahwa biaya politik sangat mahal. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata mengungkapkan dari hasil survei biaya untuk seorang bupati atau wali kota mencapai Rp20 - Rp30 miliar, dan biaya calon gubernur mencapai lebih dari Rp100 miliar. Padahal laporan kekayaan rata-rata kandidat hanya enam sampai tujuh miliar.
Sementara biaya capres menurut Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil bisa mencapai Rp8 triliun.

Begitu pula dengan para caleg harus punya dana besar. Dana tersebut tidak murni berasal dari kantong sendiri. Namun, bisa dari sponsor (para pemilik modal atau cukong/perusahaan). Apalagi UU membolehkan perusahaan bahkan perorangan dapat menyumbang. Di sinilah terjadinya dil-dil politik, korupsi politik, sebab tidak ada makan siang gratis.

Alhasil setelah orang-orang partai duduk di eksekutif (pemerintahan), legislatif (DPR), dan yudikatif (peradilan) akhirnya mengkhianati rakyat. Mereka hanya memikirkan bagaimana caranya balik modal sehingga melakukan korupsi dan kongkalikong dalam membuat UU yang memihak pada pemilik modal, contohnya UU Omnibus Law, UU Penanaman modal, UU Migas, UU Minerba, dan lain-lain, terakhir UU naiknya BBM yang direstui oleh DPR. Sungguh UU yang dibuat menzalimi rakyat.

Pada dasarnya parpol inilah yang mendorong lahirnya koruptor dan UU yang menyengsarakan rakyat. Korupsi sudah menggurita di semua lini, tercatat ada 300 anggota parlemen, 20 gubernur, 140 bupati/wali kota, dan 30 menteri dari berbagai partai politik yang ditangkap KPK. (Kompas.com, 30/6/2022)

Sikap partai politik yang membebankan biaya kampanye kepada calegnya ditambah kian mahalnya ongkos kampanye. Tentu dalam perekrutan anggota, partai lebih mengutamakan orang-orang berduit. Jadi, wajar jika lahir pemerintahan korporasi, yakni kebijakan penguasa dipengaruhi oleh pemilik modal. Lihat saja, 318 orang anggota DPR pebisnis artinya lebih dari 50 persen adalah pengusaha. Demikian juga para pejabatnya, bahkan sebagian menguasai pertambangan dan lahan sawit di tanah air ini.

Pantaskah Parpol Mendapatkan Dana Bantuan? 

Slogan "dari rakyat-oleh rakyat- untuk rakyat" dalam sistem demokrasi sekuler adalah utopis, hanya mimpi. Slogan yang berasal dari Yunani bukan dari Islam untuk mengelabui rakyat. Di kala pemilu rakyat dibutuhkan, setelah terpilih rakyat dilupakan. Katanya, kedaulatan di tangan rakyat, ini sebuah pembohongan. 

Pasalnya, sistem demokrasi sekuler meletakkan rakyat sebagai sumber hukum yang diwakili oleh segelintir orang yang mengatasnamakan wakil rakyat (DPR). Karena itu, sumber hukumnya tidak merujuk pada Allah Swt. Namun, bersumber pada akal manusia yang terbatas dengan asas manfaat. Sebab, sistem ini menafikan agama, sehingga keputusan dan kesepakatan yang diambil berdasarkan suara terbanyak bukan halal dan haram. Ini sangat berbahaya, apalagi adanya koalisi dan kolaborasi. Sebuah keniscayaan jika yang diuntungkan adalah golongannya, bukan rakyat. Inilah bentuk pengkhiatan pada rakyat.

Jelas hal tersebut, bertentangan dengan Islam, karena hak membuat hukum adalah Allah. Sebagaimana firman-Nya: 
"Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah." (QS. An'am [6]: 57)

Partai Politik dalam Islam

Umat sekarang ini tidak bisa membedakan mana partai Islam dan mana yang bukan. Karena faktanya ada yang mengaku partai Islam, padahal aktivitasnya berambisi mengejar kekuasaan dan justru mencampakkan Islam.

Menurut Abdul Qadim Zallum, Partai Islam adalah yang berdiri di atas dasar akidah Islam. Mengadopsi berbagai ide, hukum, dan solusi yang islami. Metode perjuangannya adalah mengikuti metode perjuangan Rasulullah saw.

Oleh sebab itu, partai Islam adalah yang berasaskan akidah Islam dan hanya beranggotakan orang-orang muslim saja. Dengan demikian ikatan anggota partai adalah ikatan ukhuwah islamiah yang berpangkal pada kesamaan akidah.

Hukum mendirikan partai politik Islam adalah wajib, dalilnya firman Allah:
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan (Islam), menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar." (QS. Ali Imran [3]: 104)

Mengapa partai politik Islam hanya beranggotakan umat Islam saja? Karena terdapat dalil yang menegaskan bahwa amar makruf nahi mungkar adalah ciri khas umat Islam (QS. Ali Imran ayat 110 dan QS. at-Taubah ayat 71). Jadi, hanya umat Islam saja yang bisa mengemban amar makruf nahi mungkar. Sedangkan nonmuslim tidak mungkin bisa, karena bagaimana mungkin dapat mendakwahkan wajibnya salat, puasa, zakat, dan lainnya, padahal mereka tidak mempercayainya.

Adapun misi partai politik Islam adalah melakukan aktivitas politik Islam, yakni melakukan koreksi atau pengawasan kepada penguasa (muhasabah al hukam). Sebab, Islam mewajibkan pemimpin untuk menerapkan syariat secara kafah. Mengingat pemimpin bukan malaikat maka kesalahan bisa saja terjadi, inilah pentingnya parpol. Namun, cara mengoreksi kepada penguasa tidak boleh menggunakan kekerasan, misalnya dengan mengangkat senjata.

Semua aktivitas yang dilakukan partai politik Islam wajib menggunakan cara-cara Islam. Tidak dibenarkan menghalalkan segala cara, seperti suap menyuap. Tidak boleh menarik partisipan dengan cara yang melanggar syariah, misalnya konser dangdut, juga tidak boleh berkoalisi dengan partai-partai yang tidak berideologi Islam.

Alhasil, partai Islam wajib terikat dengan hukum syarak, yakni halal dan haram. Jika ada partai Islam yang tidak peduli dengan halal dan haram, berarti dia partai sekuler yang harus dijauhi oleh umat Islam. Sebab, mendukung partai sekuler yang memisahkan agama dengan kehidupan hukumnya haram.

Saatnya umat Islam cerdas dalam memilih partai politik untuk menyuarakan aspirasinya demi kebaikan di dunia dan di akhirat. Hanya partai politik Islam yang dapat mengedukasi dan menjaga umat, serta memuhasabahi penguasa. Dengan demikian, partai politik Islam menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan tegaknya kembali khilafah. Sebab, hanya khilafah sistem yang dapat menyejahterakan rakyat baik muslim maupun nonmuslim.

Wallahualam bissawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post