Penghina Islam Kembali Berulang



Oleh Desi Anggraini
(Pendidik Palembang )

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat menganalisis kasus ciuitan Eko Kuntadhi di media sosial Twitter yang mengolok-olok ceramah Ustadzah Imaz Fatimatuz Zahra atau akrab disapa Ning Imaz. Ketua LBH Pelita Umat, Chandra Purna Irawan, menilai Eko Kuntadhi sebenarnya berpotensi pelanggaran sejumlah pasal dalam kasus itu. 

Dalam konteks penodaan agama ini, MUI telah mengeluarkan fatwa soal Kriteria Penodaan Agama. Hal ini Dijelaskan dalam fatwa hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ke-7 yang digelar pada 9 November 2021 di Jakarta. 

MUI menjelaskan kriteria dan batasan tindakan yang termasuk dalam kategori perbuatan penodaan dan penistaan agama Islam adalah perbuatan menghina, menghujat, melecehkan dan bentuk-bentuk perbuatan lain yang merendahkan Allah Swt., Nabi Muhammad saw. , Kitab Suci Al-Qur'an, ibadah mahdlah seperti salat, puasa, zakat, dan haji.

Selain itu, Chandra menyatakan tindakan Eko Kuntadhi tergolong menghina dan merendahkan kredibilitas Ning Imaz yang memiliki kafa'ah (otoritas) untuk menjelaskan tafsir Al-Qur'an berdasarkan keilmuan yang dimiliki. Padahal untuk menjelaskan tafsir Al-Qur'an Ning Imaz memiliki sanad ilmu yang kredibel. Bahkan, Chandra menyebut Eko dapat dijerat pasal pencemaran dengan UU ITE karena menyampaikan pencemaran itu melalui sarana twitter sehingga, tindakan Eko dapat dinilai memenuhi unsur delik pasal 27 ayat (3) UU Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. ( Republik.co.id,17/09/2022)

Eko Kuntadhi terindikasi dan berpotensi melecehkan tafsir ayat Al-Qur'an sehingga Eko dianggap sama saja melecehkan Al-Qur'an. Sebab apa yang disampaikan Ning Imaz ini sejalan dengan pandangan para mufasir, salah satunya, Imam Ibnu Katsir (701-774 H). 

Melanggar pasal penodaan agama, Eko Kuntadhi tergolong menghina dan merendahkan dan melanggar kehormatan pribadi. Dengan ini, Eko dapat dijerat pasal pencemaran dengan UU ITE. 

Kamis, 15 September 2022, Eko Kuntadhi mengakui kesalahan telah mengina Ning Imaz dan menyampaikan permohonan maaf kepada Ning Imaz yang diwakili suaminya Gus Rifqil Muslim di Ponpes Lirboyo, Kediri.

Berkaca dari kasus penodaan agama yang sebelumnya terjadi, negara cenderung pasif dan pihak berwenang juga tidak gerak cepat mengatasi masalah penodaan agama. Coba bandingkan jika ada pelaporan mengenai pasal ujaran kebencian dan penghinaan pada para pendukung penguasa, reaksinya berbeda. Itulah yang dinilai masyarakat bahwa hukum saat ini tidak berpihak pada kepentingan umat Islam.

Hal semacam ini bila tidak ada proses hukum atasnya maka ini mengindikasikan makin besarnya sokongan rezim dan sistem demokrasi terhadap penghina Islam.

Rasulullah saw. bersabda,

اْلإِسْلاَÙ…ُ ÙŠَعْÙ„ُÙˆْ Ùˆَلاَ ÙŠُعْÙ„َÙ‰

Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya” (HR Ad-Daruquthni, III/181 no. 3564).

Berhati-hatilah, jangan sampai seorang Muslim mengolok-olok ayat-ayat Allah atau melecehkan syariat Islam. Allah Swt. berfirman, “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah, ‘Mengapa kepada Allah dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak perlu kamu meminta maaf, karena kamu telah kafir setelah beriman. Jika Kami memaafkan sebagian dari kamu (karena telah tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang (selalu) berbuat dosa” (TQS At-Taubah [9]: 65—66).

Jika pertanyaannya mengapa penistaan terhadap syariat Islam kembali terulang? Jawabannya adalah karena akibat penerapan sistem demokrasi yang menjamin kebebasan tanpa memandang halal-haram.

Sekularisme atau memisahkan aturan agama dari kehidupan adalah landasan bagi sistem politik demokrasi. Demokrasi membuka lebar ruang kebebasan, yakni kebebasan berpendapat, berekspresi, berkepemilikan, dan berkeyakinan.

Benar, hari ini adalah saat dimana keimanan seorang Muslim diuji. Ketika ada penghinaan terhadap syariat Islam, apakah mereka akan mendiamkannya? Atau mereka berusaha bersuara lantang membela kebenaran dengan berdakwah? 

Rasulullah saw. bersabda, “Jika di antara kamu melihat kemungkaran, ubahlah dengan tanganmu; dan jika kamu tidak cukup kuat untuk melakukannya, gunakanlah lisan; namun jika kamu masih tidak cukup kuat, ingkarilah dengan hatimu karena itu adalah selemah-lemahnya iman” (HR Muslim). 

Walhasil, keberadaan kekuasaan institusi Islam yang melaksanakan syariat Islam dalam naungan khilafah akan mudah menghilangkan segala bentuk kemungkaran. Jawaban untuk pertanyaan bagaimana agar penghinaan terhadap Islam tidak lagi terjadi adalah dengan cara menerapkan syariat Islam kafah. Karena dengan Islam, pelaku penghinaan benar-benar ditindak dengan ketentuan hukum Allah. Bukan hanya sekadar memohon maaf dan dimaafkan.

Ketegasan Islam terhadap penista agama bisa kita lihat dari sikap Khalifah Abdul Hamid saat merespons pelecehan kepada Rasulullah saw. Saat itu, beliau memanggil duta besar Prancis meminta penjelasan atas niat Prancis yang akan menggelar teater yang melecehkan Nabi saw.. Beliau berkata pada duta Perancis begini, “Akulah Khalifah umat Islam Abdul Hamid! Aku akan menghancurkan dunia di sekitarmu jika kamu tidak menghentikan pertunjukan tersebut!” Itulah sikap pemimpin kaum Muslimin

Tegas dan berwibawa. Umat akan terus terhina karena tidak ada yang menjaga agama ini dengan lantang dan berani. Hanya dengan tegaknya syariat Islam secara kafah, agama ini terlindungi. Maka dari itu, seruan penegakan syariat Islam harus terus disuarakan. Agar umat memahami bahwa satu-satunya pilihan hidup terbaik saat ini dan seterusnya adalah diterapkannya syariat Islam di segala aspek kehidupan

Lantas, haruskah kita umat Islam diam saja? Atau mengupayakan agar kasus serupa tidak lagi terjadi dengan terus mengkaji Islam kafah dan menyampaikannya ke tengah-tengah umat?
Dengan demikian, sistem Islam yang dinantikan akan segera
 terwujud.

 Wallahu a'lam bishawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post