Kesetaraan Gender dalam Isu Sawit Berkelanjutan untuk Kepentingan Perempuan?


Oleh: Nurbayah Ummu Tsabitah,AMd
(Pemerhati Generasi)

Wakil Gubernur Kaltim H Hadi Mulyadi resmi membuka Sosialisasi dan Workshop Perlindungan Pekerja Perempuan Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan Timur di Ballroom Hotel Gran Senyiur Balikpapan, Kamis 8 September 2022.

Menurut Wagub Hadi Mulyadi, sangat penting melindungi pekerja perempuan di perkebunan kelapa sawit, terutama yang bekerja di perusahaan. 

Perlindungan terhadap pekerja perempuan pun sudah diatur dalam perundang-undangan agar perusahaan lebih memperhatikan pekerja perempuannya. kaltimprov.go.id

Serikat Petani Kelapa Sawit menyebutkan pada sisi hulu rantai pasok kelapa sawit, 86 persen dari siklus produksi melibatkan perempuan. Data ini menunjukkan keterlibatan perempuan dalam industri kelapa sawit sangatlah signifikan
Koalisi Buruh Sawit (KBS) menganggap bahwa masih ada ketimpangan dan ketidakadilan pada perempuan pekerja di industri kelapa sawit. 

Selain itu, mereka menyoroti besarnya kekuasaan perkebunan, lemahnya pengawasan negara, serta kebijakan ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada buruh sehingga semakin memosisikan buruh perkebunan sawit menjadi tidak berdaya.
 
Sekali lagi, korban utama dari sistem kerja eksploitatif di perkebunan sawit ini adalah kaum perempuan.

Masih dari Koalisi Buruh Sawit mencatat bahwa sebagian besar dari 18 juta buruh perkebunan sawit merupakan buruh prekariat atau dikenal dengan nama Buruh Harian Lepas (BHL) di mana sebagian besar BHL adalah perempuan. 

Sering kali perempuan yang bekerja di perkebunan sawit dianggap tidak ada, padahal proses produksi sangat dipengaruhi oleh keberadaan perempuan.

Perempuan mengerjakan 15 dari 16 jenis pekerjaan di perkebunan sawit, termasuk mengutip berondolan dan mengangkat buah ke TPH. Namun sebagian besar buruh perempuan bekerja tanpa mendapatkan hak-hak sebagai buruh, kepastian kerja, dokumentasi ikatan kerja, upah minim hingga perlindungan kesehatan memadai.

KBS mendapat temuan di lapangan bahwa kaum perempuan menjadi BHL dengan masa kerja lebih dari dua tahun, bahkan ada yang sampai belasan tahun. Buruh perempuan dipekerjakan untuk melakukan penyemprotan, pemupukan, pembersihan areal, mengutip berondolan, dan pekerjaan lainnya yang tidak dianggap sebagai pekerjaan inti di perkebunan sawit. 

Tercatat, praktik mempekerjakan perempuan tanpa hak-hak permanen terjadi di perkebunan sawit di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua. Warta Ekonomi.co.id

 *Profil Perempuan Sukses Berdaya Perspektif Gender* 

Inilah fakta yang terjadi atas dalih pemberdayaan melalui pekerjaan ini. Profil perempuan yang sukses menjadi didefinisikan sebagai sosok yang memiliki penghasilan sendiri dan mengejar karier daripada orang yang menjadikan panggilan utamanya sebagai ibu rumah tangga agar sukses menjadi pendamping suami dan membesarkan anak-anaknya. 

Akibatnya, nilai perempuan dihargai dari pekerjaan yang dibayar, yang mau tidak mau akhirnya merendahkan nilai peran perempuan dan keibuan mereka yang unik dan vital sebagai tiang negara yang menyertai kesuksesan suami dan mencetak generasi pemimpin masa depan. Mengurus rumah dan mengasuh anak ‘dianggap’ tidak lebih penting dibanding bekerja dan berkarier, menyia-nyiakan bakat perempuan dan menempatkan perempuan dalam posisi di bawah laki-laki. 

Konsekuensi dari tata nilai ini adalah terciptanya sebuah masyarakat yang menuntut perempuan ‘sukses dan berdaya’. Konsekuensinya bekerja dan berkarier bukan lagi sebagai pilihan saja bagi perempuan tapi berubah menjadi simbol keberhasilan bagi mereka. Ditambah lagi dengan tuntutan sosial ekonomi untuk memenuhi dan membantu keluarga.

Perempuan dengan sudut pandang gender dianggap berdaya bila berpenghasilan. Dan menurut sistem kapitalisme dan gender, dibutuhkan perlindungan di tempat kerja agar perempuan nyaman bekerja. Padahal dengan demikian, perempuan terus terpedaya dengan sistem rusak yang memperdaya mereka ini hingga abai dengan keluarga dan makin matre serta jauh dari Islam. 

Kebijakan melindungi perempuan di dunia kerja bukan solusi shahih yang mampu melindungi perempuan justru menjadikan perempuan terjebak beban ganda yang memberatkannya.
Kegagalan spektakuler Deklarasi Beijing dan puluhan konvensi lainnya dalam memenuhi hak-hak ekonomi perempuan tiada lain bersumber dari (1) pengadopsian ide sekuler kesetaraan gender yang kacamata kuda dan khayali sebagai pendekatan pemecahan masalah kaum perempuan dan (2) menutup mata dari hegemoni sistem dan ideologi Kapitalisme yang merupakan sumber bencana kemanusiaan dan telah melumpuhkan ekonomi negeri-negeri Muslim, menghasilkan kemiskinan massal, perampasan hak-hak dasar jutaan perempuan serta menggiring mereka pada jurang eksploitasi
Islam Memuliakan Perempuan.

Islam memiliki pandangan dan ketentuan khas tentang perempuan dan pemberdayaannya. Perberdayaan utama perempuan dalam Islam adalah optimalisasi sebagai penjaga peradaban dan pendidik generasi masa depan bukan sebagai angkatan kerja atau mesin ekonomi. 

Disebutkan dalam Muqaddimah Dustur Bab Nizhamul Ijtima’i bahwa “Hukum asal seorang perempuan dalam Islam adalah ibu anak-anaknya dan pengelola rumah suaminya. Ia adalah kehormatan yang harus dijaga”. 
Islam memelihara hubungan yang luhur dan mulia antar peran perempuan dan kualitas generasi. Islam menjamin fitrah peran keibuan tetap lestari di masyarakat. Islam pun memastikan terciptanya efektifitas penciptaan khairu ummah dengan dukungan sistem pendidikan dan sistem ekonomi dari peradaban Islam. Hukum-hukum inilah yang memastikan bangunan keluarga tetap utuh.
Meskipun demikian, Islam tentu tidak melarang perempuan bekerja. Allah Swt berfirman: “Katakanlah (wahai Muhammad), bekerjalah kalian! maka Alloh, Rasul-Nya, dan para mukminin akan melihat pekerjaanmu“. (TQS. At-Tauba : 105). Dalil ini mencakup untuk semua baik laki-laki maupun perempuan. 
Sebagaimana Islam juga mensyariatkan bisnis kepada semua hamba-Nya. Karenanya seluruh manusia diperintahkan atau diperbolehkan untuk berbisnis, berikhtiar dan bekerja, baik itu laki-laki maupun perempuan. Allah Swt berfirman: “Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang tidak benar, akan tetapi hendaklah kalian berdagang atas dasar saling rela di antara kalian”. (TQS An Nisa : 29)
Hanya saja, dalam bekerja untuk mencari nafkah adalah kewajiban bagi laki-laki. Sedangkan bagi perempuan, hukum bekerja adalah mubah.
Perempuan dalam bekerja harus memperhatikan hal-hal yang bisa menyebabkan masalah dan kemungkaran. Perempuan tidak boleh ikhtilat (bercampur-baur) dengan laki-laki tanpa udzur syar’i dan tidak menimbulkan fitnah. 
Pekerjaannya atau bisnisnya harus dalam keadaan tidak mendatangkan fitnah dan wajib mengenakan hijab syar’i. Jika perempuan itu seorang isteri maka wajib mendapatkan izin suami, tidak mengabaikan amanah utama di rumah sebagai ibu dan pengatur rumah.

 *Penutup* 

Penting bagi perempuan khususnya muslimah agar tidak terseret dan tersesat dalam ide kesetaraan yang merupakan strategi kapitalisme untuk memperdaya perempuan menjadi mesin pencetak cuan. Caranya dengan mengkaji Islam ideologis, berupaya memahami fakta yang terjadi di sekitar kehidupan kita dan menimbangnya dengan sudut pandang Islam. Taat syariat dalam menjalankan peran muslimah baik domestik dan publik. Meluruskan niat dan pemahaman agar semangat untuk beramal sholih dan beramal terbaik. Memahami dengan baik bahwa aturan Islam kaffah pelaksananya adalah negara. Dan itu akan memotivasi untuk dakwah segera mengganti sistem rusak dan beralih ke sistem Islam kaffah. In syaa Allah. Wallahu ‘alamu bi as-shawwab.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post