Harga Mie Instan Naik, Tanda Ketahanan Pangan Belum Baik


Oleh: Esti Budiarti
Aktivis Muslimah


Harga mie instan diperkirakan akan mengalami kenaikan hingga 3 kali lipat dalam waktu dekat. Hal ini dipicu oleh perang antara Ukraina dengan Rusia, sehingga 180 juta ton gandum tak bisa keluar dari Ukraina. Demikian pernyataan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo seperti dilansir dari kompas.tv (14/8/2022).

Lain lagi dengan Aptindo (Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia) yang mengatakan bahwa kenaikan tertinggi hanya jenis gandum berprotein rendah yang biasa digunakan pada biskuit. Sehingga tidak akan berdampak secara signifikan pada mie instan.

Sementara itu Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) Franky Welirang blak-blakan menjelaskan bahwa harga gandum sudah mengalami kenaikan hingga 68% sejak 2021, dan naik kembali 18% setelah pecah perang Rusia-Ukraina. Franky pun menjelaskan dari satu bungkus mi instan ukuran 65 gram mengandung beragam komponen bukan 100% tepung terigu, sehingga kenaikan harga mie instan tidak akan berlebihan seperti yang diberitakan (cnbc.indonesia.com, 12/8/2022).

Indonesia sendiri adalah negara kedua pengkonsumsi mie instan terbesar di dunia setelah Tiongkok, dengan rata-rata konsumsi 3,63 bungkus per orang untuk setiap bulan pada 2020. Dengan demikian, mie instan dapat dikatakan sebagai produk yang sering dikonsumsi oleh orang Indonesia. Umumnya mie instan dikonsumsi oleh golongan sosial ekonomi menengah ke bawah. Sehingga kenaikan harga mie instan akan sangat mempengaruhi hajat rakyat. Tak heran jika isu kenaikan ini memunculkan beragam komentar negatif dari masyarakat. 

Terlepas dari beragamnya komentar tentang isu kenaikan harga mie instan hingga 3 kali lipat, faktanya Indonesia masih mengimpor gandum sebagai bahan baku tepung terigu. Padahal konsumsi tepung terigu di Indonesia sangat tinggi. Bahkan, mengutip Badan Pusat Statistik (BPS), Kamis (11/8/2022), impor gandum dan meslin Indonesia mencapai 4,359 juta ton di sepanjang Januari-Mei 2022. Dan selama ini, Indonesia mengimpor gandum terbanyak dari Australia. 

Sayangnya, gandum bukanlah satu-satunya komoditas impor Indonesia. Hingga saat ini Indonesia masih harus mengimpor sejumlah komoditas pangan. Pasalnya, produksi lokal masih lebih rendah dari total kebutuhan nasional. BPS Indonesia pun mencatat pada periode Januari-Juni 2022 Indonesia masih mengimpor komoditas pangan seperti kedelai, beras, gula, kopi, jagung, gandum, cabai, hingga bawang.  

Tentu hal ini sangat kontradiktif karena baru-baru ini pemerintah menerima penghargaan dari International Rice Research Institute sebagai pengakuan atas sistem pertanian-pangan yang tangguh dan swasembada beras 2019 sampai 2021 melalui penggunaan teknologi inovasi padi. Sementara faktanya tidaklah demikian.

Karena suatu negara dapat dikatakan swasembada pangan jika sebuah negara mampu mengadakan sendiri kebutuhan pangan bagi masyarakat. Namun disayangkan fokus pemerintah selama ini masih pada kebutuhan pangan pokok seperti beras. Sementara kebutuhan pangan lainnya belum menjadi prioritas. Sehingga untuk pemenuhan kebutuhan pangan lain, Indonesia masih sangat bergantung pada impor.

Bahkan, menurut FAO bahwa suatu negara dikatakan swasembada jika produksinya mencapai 90 persen dari kebutuhan nasional. Dengan begini, target ketahanan pangan nasional yang digembor-gemborkan oleh pemerintah hanya akan menjadi retorika semata.

Miss management menjadi sumber masalah utama belum tercapainya ketahanan pangan nasional. Tidak adanya data valid dan pemetaan atas petani dan ladang-ladang dari varian pangan menjadi salah satu masalahnya. Sehingga acapkali pemerintah melakukan aktivitas impor pada saat masa panen dengan harga komoditas impor lebih murah. Hal ini tentu akan membuat kerugian pada petani yang pada akhirnya akan enggan untuk berproduksi.

Kurangnya support dari pemerintah terhadap pemenuhan elemen-elemen penunjang pertanian menjadikan komoditas pangan lokal memiliki harga yang lebih tinggi. Harga pupuk yang belum mampu dikontrol, kurangnya edukasi terhadap petani cara bercocok tanam yang efisien dan efektif dapat menjadi contoh. Target ketahanan pangan hakiki tentu harus dicapai demi memenuhi kebutuhan rakyat. Perbaikan-perbaikan harus dilakukan oleh pemerintah, karena harga mie instan naik, tanda ketahanan pangan belum baik.

Kita dapat berkaca dari Daulah Islam. Pada era kejayaan Islam, abad ke 8 hingga 13 M, Islam telah berhasil melakukan transformasi fundamental di sektor pertanian yang kini dikenal sebagai Revolusi Hijau abad pertengahan atau Revolusi Pertanian Muslim. Revolusi Hijau memiliki tiga elemen utama penunjang pertanian yakni; sistem pola tanam yang mutakhir, teknik pembangunan irigasi yang tinggi, serta munculnya beragam varietas tanaman yang disertai dengan katalog berdasarkan musim, tipe tanah, dan jumlah air yang dibutuhkan.

Pada masa itu, para sarjana dan petani Muslim mengembangkan inovasi di bidang pertanian. Mereka mengembangkan sistem rotasi tanam dengan cara modern, seperti mempelajari karakteristik tanaman serta tanah. Dibangun pula jaringan irigasi yang luas dan intensif untuk mengairi ladang, terutama untuk varietas tanaman adopsi yang membutuhkan banyak air seperti tebu, kapas dan pisang. Bahkan pada masa itu para sarjana pertanian Islam juga mampu menyusun sejumlah ensiklopedia pertanian dan ilmu tumbuh-tumbuhan atau botani. Sehingga tidak mengherankan jika petani mampu panen tiga hingga empat kali dalam setahun pada masa itu. 

Pada era keemasan Islam, penguasa juga memberikan insentif bagi para pemilik lahan serta para petani penggarapnya. Dinasti Islam pada masa itu mengakui kepemilikan pribadi dan hasil panen dibagi dengan para penggarapnya. Setiap kesepakatan dalam pertanian, industri, perdagangan dan ketenagakerjaan harus disertai dengan kontrak. Kedua belah pihak harus memegang kontrak itu. Daulah mengakui kesamaan hak antara penggarap dan pemilik tanah, sementara Eropa masih menerapkan sistem budak di pertanian dan perkebunan. 

Demikianlah Daulah Islam telah berhasil mencapai ketahanan pangan secara hakiki melalui Revolusi Hijaunya hingga memungkinkan beragam tanaman berikut teknik bercocok tanamnya menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam. Dan bukanlah hal yang tabu jika kita mengambil hikmah atasnya.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post