Bahaya Moderasi Agama Berstandar Budaya


Oleh: Ummu Mush'ab
Aktivis Muslimah


Indonesia merupakan negeri kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau yang terhampar dari Sabang sampai Merauke, dengan berbagai sukubangsa, agama, budaya dan adat istiadat yang beragam pula. Potensi keberagaman ini, jika terjalin dengan baik akan menjadi kekuatan besar dari kekayaan budaya yang tak ternilai harganya sekaligus akan mewujudkan kerukunan.

Menurut Menag Yaqut Cholil Qoumas, yang akan bisa mewujudkan kerukunan salah satunya adalah moderasi beragama. Karena moderasi beragama akan memoderasi cara umat memahami dan mengamalkan agama. Setidaknya ada empat indikator seseorang dikatakan memiliki pemahamaan keagamaan yang moderasi, yaitu komitmen kebangsaan yang kuat, toleransi beragama, menghindari kekerasan, dan penghargaan terhadap budaya lokal. 

Dalam Simposium moderasi beragama, Menag mengatakan bahwa moderasi beragama berakar pada budaya lokal. Jadi, penghormatan terhadap budaya lokal merupakan indikator dari konsep ini. Konsepnya dapat diterapkan dalam konteks semua bangsa. Sebab, nilai-nilai moderasi bersifat universal. Anti kekerasan dan toleransi, misalnya, sangat dibutuhkan untuk melakukan resolusi konflik. Penguatan komitmen persatuan bangsa dan penghormatan terhadap tradisi suatu bangsa juga merupakan keharusan untuk membangun kerukunan. Ke depan, kearifan lokal provinsi-provinsi lain di Indonesia juga bisa terus dielaborasi untuk memperkuat konsep Moderasi Beragama (Kemenag.go.id). 

Dari pernyataan di atas, tampak nyata bahwa ada perhatian lebih terhadap budaya dan menilai bahwa budaya inilah yang akan mampu mempersatukan keberagamanan yang ada di negeri ini dan dapat menjaga terwujudnya kerukunan antar umat beragama. Benarkah demikian? 

Sebenarnya relasi Islam dan budaya itu jelas kaidahnya. Islam menjadi standar, sedangkan budaya adalah objek yang distandarisasi. Jadi kalau budaya lokal itu sesuai dengan Islam, kita tidak dilarang untuk mengambilnya. Misalnya, memakai iket yang menjadi penutup kepala khas laki-laki Sunda. Sebaliknya, jika budaya lokal itu tidak sesuai dengan Islam, maka tidak boleh kita amalkan. Misalnya, mengenakan kemben atau kebaya bagi perempuan Jawa. Jelas itu akan menampakkan aurat seorang Muslimah, hal ini tentu saja diharamkan. 

Jika dilihat, posisi budaya lokal oleh Menag dan para pengusung Moderasi Islam dijadikan standarnya. Inilah sesungguhnya kekeliruan yang nyata, fatal dan tidak bisa diterima, karena seharusnya ajaran Islam itu diposisikan sebagai furqân (pembeda antara hak dan batil) bagi budaya lokal. Namun, oleh penganut moderasi Islam, budaya lokal itu posisinya dibalik yakni dijadikan furqân (standar atau tolok ukur untuk menilai ajaran Islam) yang jelas merupakan penyimpangan. 

Inilah salah satu bahaya yang harus dipahami umat, atas nama moderasi agama keyakinan pada ajaran agama dan ketaatan pada syariatnya harus ditundukkan dengan budaya. Umat dipaksa membiarkan sesuatu yang bertentangan dengan agamanya. Begitu pun terhadap berbagai budaya dan gaya hidup barat, seperti fenomena Citayam Fashion Week (yang juga menjadi ajang eksisnya kaum LGBT). Fenomena (CFW benar-benar berhasil menarik perhatian dan viral di masyarakat. Pelakunya adalah para remaja yang terbiasa nongkrong di salah satu kawasan bisnis di Jakarta. 

Mereka melakukan peragaan busana di tempat umum seperti trotoar dan zebra cross. Meski memakai fasilitas umum dan mengganggu ketertiban, banyak yang menyebut aksi mereka sebagai kreativitas. Ada menteri yang menawarkan beasiswa pendidikan penuh untuk mereka. Ada juga menteri yang menawarkan area depan kantornya sebagai ajang fashion show. Padahal sebagian mereka tidak bersekolah. Tidak pulang ke rumah. Sering tidur di trotoar. Entah ingat shalat atau tidak. 

Ataupun fenomena para gus dan ning tampil bagaikan model fashion show untuk memeriahkan kick off 1 abad NU di Surabaya. Sikap ini berkebalikan ketika ada sejumlah remaja melakukan tilawah Al-Quran di beberapa tempat umum. Tidak ada pejabat yang mendukung apalagi memuji. Bukannya diapresiasi, malah tidak sedikit yang mencaci. 

Dengan paparan di atas, sudah seharusnya umat Islam waspada terhadap pernyataan beberapa pihak yang seolah-olah membela Islam dan menyatukan keberagaman, padahal justru yang terjadi adalah toleransi yang kebablasan dengan mengatasnamakan budaya, termasuk yang dinyatakan oleh Menag  yakni: "Moderasi Beragama berakar pada budaya lokal. Jadi, penghormatan terhadap budaya lokal merupakan indikator dari konsep ini.”

Dari pernyataan ini sudah cukup jelas memperlihatkan kepada kita bagaimana sang Menag memposisikan syariah. Sepintas lalu seolah tampak bahwa seseorang dinilai negatif ketika tidak menghargai budaya lokal dan sebaliknya dituntut untuk menghormati budaya lokal.  Padahal belum tentu budaya lokal itu sesuai dengan Islam, dan jika pun tidak bertentangan dengan Islam, maka tetap syariat Islam yang harus dijadikan pijakan atau standar bukan budaya.  

Umat Islam harus hati-hati dengan jebakan dari pernyataan semacam ini yang menuntut agar Islam bersikap inklusif atau menerima budaya luar, agar bisa merawat keberagaman. Sesungguhnya umat Islam sedang digiring sedikit demi sedikit menjauh dari syariah Islam dengan mengatasnamakan budaya lokal yang dibungkus rapi dalam kemasan moderasi Islam dan kerukunan umat beragama.[]



Post a Comment

Previous Post Next Post