Menjadi Pemuda Prestatif Pejuang Islam




Oleh  Afra Rahmah, M.Pd.
 (Pemerhati Generasi)

"Hidup lah sebagaimana semaumu, tetapi ingat, bahwa engkau akan mati. Dan cintai lah siapa yang engkau sukai, namun ingat, engkau akan berpisah dengannya. Dan berbuat lah seperti yang engkau kehendaki,
namun ingat, engkau pasti akan menerima balasannya nanti."
(Imam Ghazali)

Nasihat Imam Ghazali di atas rasanya pas betul jika dilemparkan kepada generasi muda yang tengah terbuai dengan udara kebebasan hari ini. Bebas berpikir, bebas berbicara, bebas bertindak, bergaya ‘semau gue’ demi menunjukkan eksistensi dirinya. Tak heran jika pemikiran-pemikiran ‘nyleneh’ menabrak norma agama dan susila laku di kalangan kaum muda. Sebutlah  semisal ide ‘child free’, ‘jatah mantan’, perilaku elgebete, atau bahkan yang berkisar seputar keyakinan, seperti  ‘agama tentatif’ pun muncul di kalangan muda. Kalaupun mereka bukan menjadi pelaku langsung, namun sikap permissif terhadap perilaku tersebut justru mengemuka. Bukan malah jijik atau menjauhi.

Sungguh mengerikan jika ini menimpa mayoritas generasi muda kita. Indonesia  sendiri saat ini mendapatkan berkah dengan jumlah penduduk 200 juta jiwa lebih. Lebih dari 60 persen jumlah penduduk tersebut didominasi usia produktif (15–64 tahun), terutama kalangan pemuda (milenial dan gen Z). 

Hal ini diperkuat oleh hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Agustus 2021. Disebutkan, pada tahun kedua pandemi, kontribusi tertinggi angkatan kerja nasional adalah milenial (24–39 tahun) sebesar 37,37 persen, dan gen X (40–55 tahun) sebesar 34,52 persen. Namun keberkahan tersebut bisa berbalik menjadi ancaman jika prosentase besar tersebut justru diasuh dalam sistem liberalisme.

Pemuda, termasuk didalamnya remaja merupakan sumberdaya strategis bagi suatu bangsa.  Di tangan mereka lah masa depan suatu bangsa digantungkan.  Maka proses pembentukan pemuda yang tangguh harus dilakukan jika suatu bangsa ingin tetap mempertahankan eksistensinya. 

Waspada Racun Sekularisme-Liberal

“God is a Watchmaker”. Slogan ini cukup dikenal dalam sistem kapitalisme. Slogan yang lahir  dari sebuah kesepakatan  (jalan tengah) tentang keberadaan Tuhan dan keterlibatannya di muka bumi. Tuhan itu ada. Sepakat. Namun Dia didudukkan layaknya seorang pembuat jam. Yang dibutuhkan saat di awal penciptaan, namun selanjutnya jam akan bergerak sendiri tanpa campur tangan Tuhan. Tuhan hanya dibutuhkan di awal  bertugas menciptakan. Selanjutnya manusia, alam  dan kehidupan digerakkan dan diatur oleh kecerdasan akal manusia. Tak butuh aturan Tuhan. Manusia bebas berkehendak. Manusia bebas membuat aturan untuk dirinya dan kehidupannya. Inilah ide liberalisme.

Inti dari paham sekularisme menurut Al-‘Allamah as-Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani (1953) adalah pemisahan agama dari kehidupan (fashlud-din ‘anil-hayah). Juga bisa disebut dengan istilah memisahkan agama dari negara (fashlud-din ‘anid-dawlah).  Sekularisme mengharuskan negara netral dari agama; tidak boleh memihak agama apapun dan harus melindungi kebebasan. 

Seorang Muslim ideologis, yang meyakini hanya Islam agama yang benar, akan berusaha untuk mewujudkan penerapannya dalam kehidupan. Untuk membuatnya sekuler, yaitu bisa menerima pemisahan agama dari kehidupan, ia harus dilepaskan dari keyakinan akan kebenaran agamanya, dan menerima kebenaran dari sistem yang lain. 

Maka proses sekularisasi dijalankan dengan menanamkan paham-paham yang menolak pengaturan agama seperti nasionalisme dan demokrasi, serta memunculkan ketakutan terhadap ajaran Islam kafah.
 
Dengan pemikiran sekularisme inilah, para pemuda diajarkan untuk meninggalkan syariat sebagai pegangan dalam berkiprah di tengah umat.  Agama dipandang sebagai sesuatu yang tabu untuk dibahas di luar masjid.  Mereka lebih tertarik untuk membahas bagaimana mewujudkan demokrasi, bagaimana perkembangan iptek, modernisasi dan globalisasi. Dengan pemikiran sekuler ini pula, Islam hanya diambil esensinya. 

Hasilnya bisa kita lihat saat ini, ketika sebagian pemuda Muslim mulai terkikis agamanya, merasa lebih bangga menjadi pejuang demokrasi daripada pejuang Islam. Merasa lebih modern dengan berpakaian ala Barat, berbahasa Inggris alih-alih bahasa Arab, lebih suka nongkrong di kafe daripada di masjid, dan yang ironis, merasa rendah diri dengan keislamannya. Bahkan beberapa dari mereka bila ditanya agamanya, menjawab Islam tentatif : saat ini Islam tapi boleh jadi besok sudah berganti agama lain.

Pemuda/pemudi Islam  yang prestatif adalah saat mereka yang  menjadi pejuang Islam, penolong agama Allah untuk Izzul Islam wal Muslimin. Senantiasa mendakwakan dan memperjuangkan tegaknya khilafah, karena hanya dengan tegaknya khilafah kemuliaan Islam dan kaum muslimin bisa diraih. Al-Qur’an dan sunah senantiasa menjadi pegangan mereka dalam kehidupan, hal ini sejalan dengan pesan Sang Nabi saw., bahwa “Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah tali Allah yang kokoh, dialah cahaya yang nyata, ia juga obat yang bermanfaat, pencegah dosa bagi siapapun yang berpegang teguh kepadanya, dan kemenangan bagi siapa saja yang mengikutinya” (HR Hakim ).

Wallahu a'lam bishawwab 

Post a Comment

Previous Post Next Post