Ancaman Pandemi Gelombang 4 : Sibuk Kontestasi Politik, Abai Kesehatan Publik

Oleh : Helmy Agnya

Rupanya Covid-19 yang tengah melanda dunia tak kunjung usai. Dari mulai gelombang pertama hingga yang saat ini diberitakan virus gelombang BA.4 dan BA.5 pun tengah dikhawatirkan di sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk di Indonesia.

Para ahli bahkan memprediksi, bahwa kasus Covid-19 di tanah air bisa menembus 20 ribu sehari dan memicu gelombang keempat.

Gelombang pertama Covid-19 di Indonesia terjadi saat awal-awal kasus Covid-19 ditemukan di Wuhan dan masuk ke Indonesia pada Maret 2020. Lalu gelombang kedua, terjadi pada saat varian Delta Juni 2021. Gelombang ketiga terjadi pada Januari 2022 ketika varian Omicron muncul. Dan subvarian BA.4 dan BA.5 diyakini bakal menimbulkan gelombang baru Covid-19.

Beberapa pakar juga mengatakan, bahwa Indonesia tengah berada di ambang gelombang keempat corona. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin juga memprediksi bahwa kasus Covid-19 akan mencapai puncaknya pada Juli 2022. Angka kasus harian positif Covid-19 bisa mencapai 25.000 per hari. (Katadata, 23/06/2022).

Semestinya kondisi negeri tersebut menjadi peringatan keras bagi pemangku kebijakan. Untuk menyadari, bahwa itu semua disebabkan kelalaian mereka dalam menangani wabah.

Namun sayang, tampaknya penguasa tak fokus mengupayakan permasalahan pandemi yang kian masih menghantui. Mendekati 2024 justru, sejumlah elite politik sibuk kontestasi politik, abai kesehatan publik demi mengamankan kursi kekuasaan. Sibuk merancang janji-janji baru yang sebenarnya sudah ratusan kali diingkari. Menghadiri acara-acara yang berbaur islami. Bahkan memaksakan diri berpenampilan islami, demi terlihat menarik agar rakyat jatuh hati.

Reshuffle kabinet beberapa waktu lalu, yang tadinya menyimpan harapan perbaikan nasib rakyat, ternyata jauh dari harapan rakyat. Reshuffle justru menjadi kendaraan yang dianggap efektif untuk mengakomodasi kepentingan politik penguasa petahana. Juga dalam rangka menguatkan koalisi pemerintahan agar calon kepala negara berikutnya bisa terpilih dari parpol yang saat ini tengah berkuasa.

Akibatnya, mereka kian abai terhadap problem kesehatan publik. Gelombang Omicron yang masih melanda sejak awal 2022 hingga kini menjelang gelombang keempat, kemudian penderitaan yang dirasakan rakyat belum kemudian berhenti disitu. Rakyat justru masih dibebankan dengan berbagai problem yang lain seperti polemik minyak goreng, tsunami PHK, wabah PMK pada hewan ternak mereka, serta kenaikan harga bahan-bahan kebutuhan pokok pangan dll. Berkebalikan dengan itu, APBN surplus dan pertumbuhan ekonomi. penguasa justru, dengan leluasa mengatakan bahwa perekonomian negeri ini sedang baik-baik saja.

Sungguh miris, wajah buruk sistem demokrasi kapitalisme. Sudah seharusnya rakyat menyadari bahwa sistem demokrasi kapitalisme tidak akan mampu menjadi perisai bagi kehidupan rakyatnya. Namun, yang sebaliknya sistem demokrasi kapitalisme malah menambah daftar panjang kesengsaraan bagi rakyat.

Kebijakan individualistis yang memihak kepentingan pihak tertentu rasanya sudah cukup membuat benak umat sesak dan mencekik. Segala problematika masyarakat sangat kemudian nyata, terlihat jelas sekali tidak menjadi fokus utama pemerintah dalam mencarikan solusi, selain hanya kekuasaan dan cuan, cuan saja. Na’udzu billahi!

Maka jelas lah di sini bahwa yang mampu kemudian menanggulangi wabah pandemi secara menyeluruh hanya bisa dilakukan berdasarkan sistem yang menerapkan sebuah hukum yang sesuai fitrah manusia, yang tahu apa yang dibutuhkan oleh manusia, yaitu Allah Swt. pemilik kehidupan ini. Hukum yang benar-benar menjadi payung pelindung bagi kehidupan umat manusia yang berlandaskan Al-Quran dan Sunnah kemudian diterapkan dalam sebuah institusi besar bernama Khilafah Islamiyyah.

Islam memberikan jaminan kehidupan yang nyaman, aman dan tenteram. Apalagi ketika kemudian terjadinya musibah wabah tersebut, mengupayakan serta memfokuskan dalam menanggulangi pandemi berdasarkan hukum Islam dengan sangat terperinci, yakni sejak karantina wilayah dan pasien penderita wabah. Selama masa tertentu karantina, kebutuhan pokok rakyat disubsidi dan didistribusikan oleh petugas yang disediakan penguasa, bukan semata-mata dengan aksi gerakan sukarela maupun relawan dari kalangan masyarakat sendiri. Pasien yang dikarantina tersebab sakitnya akan dirawat dan diobati dengan sebaik-baiknya hingga sehat secara tuntas.

Sebab mereka menyadari sebagai pemangku kebijakan, tidak lain tugasnya adalah melayani rakyat, serta melindungi rakyatnya. Bukan menggunakan kekuasaannya untuk menindas rakyat. Kepimpinannya menjadikan ia merasa takut, kelak apa yang menjadi amanahnya sebagai pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban. Dalam kepemimpinannya pun dengan sadar dan ikhlas karena mengamalkan sabda Rasulullah saw,

“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad)

Namun, tentu saja segala kebijakan dalam penanggulangan pandemi ini hanya kemudian bisa teratasi dengan sebuah aturan yang berasal dari sang pemilik alam semesta ini. Yang diterapkanya melalu negara Islam Khilafah secara kafah.

WallahuAlam Bishawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post